Seseorang gadis duduk di depan sebuah gundukan tanah yang sudah banyak ditumbuhi rumput liar, dengan senang hati pula gadis itu mulai mencabuti rerumputan yang sudah mulai memanjang. Tanpa tangisan, seperti janjinya kepada dia yang sudah pergi dari dunia ini.
"Maafkan aku, aku masih terlalu sering untuk menangis. Aku masih menjadi wanita yang lemah. Tidak sepertimu yang selalu kuat. Maafkan aku juga karena aku pernah berpikir, kalau aku menyesal melakukan itu. Hidupku hancur setelah kamu pergi. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Aku takut." Ucap gadis itu sambil mengusap batu nisan di hadapannya. "Bunda dan Ayah sudah pergi, mungkin kamu sudah bertemu mereka di duniamu. Ah iya, aku masih menyimpan hadiah darimu sewaktu aku berulang tahun ke-14. Masih sering aku pakai, kok, kamu tenang aja. Bahkan saat ini aku sedang memakainya, untukmu." Tanpa disadari, Ia berhasil menjatuhkan setetes air mata. "Aku pergi dulu ya, aku ingin mengunjungi rumah Bunda dan Ayah." Gadis itu berdiri sambil membersihkan tanah yang menempel di celananya. Satu lagi, dengan senyuman yang paling indah dan tulus, ia mengusap batu nisan itu lagi, "Kapan-kapan aku akan datang lagi, tunggu aku ya. Jangan kangen aku hehe. Kalau kamu kangen, kamu tinggal intip saja aku dari atas, pasti terlihat, kok." Setelah memberikan doa, gadis itu pergi.
Beberapa menit kemudian, Ia sampai di tempat pemakaman yang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Ia menyusuri setiap gundukan tanah, menuju makam yang sudah sangat ia hafal dimana letaknya.
"Assalamualaikum, Bun. Kabar aku baik, Bun. Jangan khawatir. Mungkin ini memang salahku yang paling besar. Aku mohon maaf, Bun. Dia sudah pergi menyusul Bunda. Semoga kalian sudah bertemu disana, aku jadi ingin menyusul kalian deh rasanya. Eh tidak deh, aku masih ingin melanjutkan cita-citaku, masih ingin melaksanakan janji ku. Demi Bunda dan dia." Gadis itu melirik batu nisan yang berada di sebelah kirinya. "Assalamualaikum Ayah. Aku kangen sama Ayah. Sudah berapa lama, Yah, kita tidak berjumpa? Aku rindu dengan masa-masa kita dulu. Aku rindu, Yah. Jangan salahkan aku kalau sampai sekarang aku masih berlatih untuk bermain sepak bola. Aku ingin menjadi seperti Ayah. Percaya atau enggak, Ayah adalah cinta pertamaku. Kalau aku sudah pandai bermain sepak bola, kita main berdua yuk, Yah, seperti rencana kita dulu. I am sorry for everything, Dad." Gadis itu sudah berjanji kepada kedua orang tuanya untuk tidak menangis saat dirinya datang untuk menjenguk mereka di rumah yang baru. Bahkan, selamanya akan tinggal di tempat itu.
"Susah ya, Yah, Bun, untuk menjadi seseorang yang kuat. Aku masih sering menangis. Oh iya, Yah, Bun, aku sudah punya teman baru, namanya Ken." Raut wajah itu terlihat begitu senang ketika wajah Ken terlintas di kepalanya. "Tapi, aku takut suatu saat dia pergi menginggalkanku. Apalagi dia adalah--" Ucapannya terhenti ketika bahunya merasakan sentuhan yang hangat.
"Ashlyn?"
"Loh, kok bisa ada disini, Ken?" Alis Ashlyn mengerut.
"Iya, lagi berkunjung ke rumah Kakek gue. Lo sendiri kenapa ada disini?" Ashlyn melihat ke arah batu nisan di sebelah kanan dan kirinya, "Sama. Gue juga lagi berkunjung ke rumah Bunda dan Ayah gue." Mata Ken terbelak.
"L..lo?"
"Iya, gue yatim piatu." Jawab Ashlyn dengan senyum.
***
Selesai pulang dari makam, Ken mengajak Ashlyn untuk pergi mengunjungi taman. Mereka berjalan mengelilingi taman bunga yang indah. Dengan lelucon yang Ken ucapkan tentunya. Ashlyn sesekal tertawa jika lelucon itu memang benar-benar lucu, bukan lelucon garing seperti kerupuk.
Sampai akhirnya Ashlyn melihat kedai eskrim berada tak jauh dari tempatnya, ia meminta Ken untuk menemaninya membeli es krim.

KAMU SEDANG MEMBACA
SCRIOSTA
Fiksi Remaja"Ash.." panggil seseorang dengan nada lembut, menenangkan. "Jangan pernah dateng di hadapan gue, disaat gue lagi terpuruk kayak gini. Gue nggak akan pernah mau terlihat lemah dimata orang lain, termasuk lo. Gue sudah terbiasa dengan kehancuran dan k...