Sweet Things about Damar

25 5 2
                                    

"Aduh sumpah gue lupa ada PR matematika! Mana susah banget lagi!" Damar menyesali kepergiannya malam minggu kemarin. Seninnya, ia harus memutar otak cepat berhubung sebentar lagi Pak Narto, Guru Matematikanya yang ketus datang dan mendiskusikan PR.

"Damar," panggil Tara yang disertai tolehan kepalanya. "Contek punyaku aja," imbuhnya ramah.

"Ha? Beneran?" Damar membelalakkan matanya. Tara mengangguk tanpa ragu. Damar langsung buru-buru mencontek jawaban Tara. Setelah selesai mencontek, Pak Narto langsung memberikan tanda-tanda kedatangannya di kelas.

"Selamat pagi, Anak-anak."

"Selamat pagi, Pak!" koor seluruh murid.

"Ayo kumpulkan tugas kemarin di meja saya," perintah Pak Narto sambil membenarkan kacamatanya.

Saat istirahat, Damar sengaja pergi lebih cepat dari biasanya dan berlalu ke kantin. Ia membeli dua buah es krim coklat berlapis choco chip.

"Nih, Tar, buat kamu." Damar menyerahkan salah satu es krim pada Tara.

"Seriusan buat aku?" Konsentrasi Tara yang tengah membaca buku novel fantasi itu langsung berubah. Ia ragu-ragu menerima es krim itu. "Ini buat apa?" tanyanya kemudian.

"Iya. Sebagai ungkapan terimakasih karena udah bantuin ngerjain tugas."

"Oh, itu. Nggak usah repot-repot, kali. Aku ikhlas, kok." Tara membuka bungkus es krim itu dan memakannya.

"Lah, katanya ikhlas. Itu es krimnya tetep dimakan." Damar tertawa cekikikan dan disambut lagi dengan reaksi yang sama dari Tara.

"Eh tunggu, itu di bibir kamu." Damar langsung menggerakkan tangannya menuju ujung bibir Tara yang belepotan dengan es krim. Tentu saja itu membuat lidah gadis berambut panjang itu kelu dan merasa tubuhnya kaku. Bibirnya membisu, matanya terbelalak, namun itu semua tetap membuatnya kelihatan manis.

"Belepotan." Damar jadi malu sendiri setelah dibalas dengan senyuman Tara yang ia lanjutkan dengan menunduk malu.

"TARA?!!! Lo khianatin gue, ya?!" Rasti tiba-tiba datang dan mengajukan kalimat-kalimat penuh amarah di depan mata Tara.

"Maksud kamu apa, Ras?" Tara terlihat lembut dengan alis yang dikerutkan.

"Nggak usah banyak bacot deh!!" Sejurus kemudian, sebuah tamparan mendarat keras di pipi kiri Tara. Mendapatkan perlakuan fisik dari Rasti, Tara langsung masuk ke kelas dan menangis sesenggukan.

"RASTI, KAMU APAAN SIH?!!" Damar benar-benar tak bisa lagi menahan emosinya pada Rasti.

"Oh, gitu, ya! Sekarang belain aja tuh cewek! Kamu udah mulai emosian sama aku!" Rasti tak mau kalah. Pertengkaran keduanya berlangsung seru di depan kelas 10B IPA tanpa ada yang mencoba melerai. Beberapa anak bahkan melihat dari kejauhan dengan rasa penasaran.

"Kamu yang mulai kasar! Aku juga bisa marah sama kamu kalau kamu mulai adu fisik sama perempuan lain. Yang pasti harus kamu tahu, aku sama Tara nggak ada apa-apa, Ras. Aku cinta kamu. Dan kalau kamu cinta juga sama aku, kamu nggak akan mungkin nuduh Tara yang enggak-enggak. Kamu pasti akan percaya sama aku, Ras!" ujar Damar panjang lebar.

"Tapi yang aku lihat itu tergambar secara jelas, Damar! Kamu mesra-mesraan sama cewek kampungan itu. Kamu kasih dia es krim terus makan bareng! Maksud kamu apa? Dasar buaya!" seru Rasti dengan nada yang lebih keras dari Damar.

"Bahkan setelah aku kasih kamu penjelasan, kamu tetep marah-marah sama aku. Kamu tetet nggak mau percaya sama aku. Aku pikir hubungan tanpa ada rasa percaya juga nggak bakalan jalan, Ras." Damar melenguh lelah. Nada bicaranya lesu dan pandangnya menunduk.

"Maksud kamu soal hubungan nggak akan jalan? Kamu mau kita putus?" Air mata menetes dari mata hazel milik Rasti. Damar hanya membalas dengan anggukan. Kemudian, Damar hanya melengos pergi dari hadapan Rasti menuju kelas.

"Dia mutusin gue," tangis Rasti di bahu salah satu teman sekelasnya yang kemudian mendatangi lokasi pertengkaran mantan pasangan kekasih itu setelah mendengar ribut-ribut. Teman Rasti itupun hanya membalas dengan elusan di rambut Rasti yang lebat.

"Tar, kamu ada yang luka?" tanya Damar khawatir saat melihat Tara yang masih menunduk lesu sambil mengusap satu demi satu tetesan air mata di pipinya.

"Enggak, aku nggak papa," jawab Tara. "Kamu udah jelasin ke Rasti kalau kita nggak ada apa-apa kan?" tambah gadis itu.

"Aku putus sama dia." Damar menjawab dengan singkat.

"Kamu putus?" Tara mendadak terkejut. "Nggak, nggak boleh. Kamu nggak boleh putus. Kamh harus balikan sama dia." Tara beranjak dari kursi dan mencoba keluar kelas dan mengejar Rasti sebelum tangannya tercegat oleh tarikan pelan dari Damar.

"Nggak usah. Sebelumnya kamu udah berupaya demi kelangsungan hubungan kita. Tapi kan, ada hal yang nggak bisa dipaksain untuk terus bersama kan?" Damar tersenyum miris. Ia kelihatan sangat parau, namun ia tetap menahan kesedihan dalam hatinya.

Sepulang sekolah keadaan Damar tak jauh berbeda. Ia tetap kelihatan lebih pendiam dari biasanya. Bahkan Niko dan Randy pun tak bisa menghiburnya.

Kali itu, Tara sedang berjalan pelan menuju gerbang sekolah. Ia menanti di halte bus depan sekolahnya.

"Tar, pulang bareng aku aja," tawar Damar tiba-tiba. Ia dalam keadaan memakai helm dan menduduki jok motornya.

"Emang kamu tahu rumah Tara dimana?" sahut Olive tiba-tiba. Ia memang sudah terbiasa menunggu bus bersama sejak di SMP.

"Nanti dia bisa kasih tahu aku, kok. Iya, kan, Tar?" Damar memastikan. Kekata itu hanya dibalas dengan anggukan pelan dari Tara.

"Take care, ya, Tar!" kata Olive setelah Tara menaiki jok motor Damar.

"Tenang aja, kali. Gue juga nggak bakal apa-apain dia." Damar langsung melengos pergi tanpa menghiraukan Olive lagi.

"Rumah aku lurus terus." Tara mencoba memandu Damar.

"Aku nggak mau ajak kamu pulang," sahut Damar tiba-tiba.

"Maksudnya? Kamu mau culik aku? Please, jangan! Kamu tega?!" Tara mendadak panik. Damar tersenyum simpul.

"Nggak, lah. Tenang aja. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat dulu."

"Kemana?"

"Ke hati aku." Tara hanya tertawa pelan mendengar rayuan Damar.

"Mar, kamu ngajak aku kesini buat apa?" tanya Tara setelah mereka tiba di sebuah taman. Suasana langit sudah meredup dan lampu taman sudah dinyalakan.

"Aku pikir tempat ini adalah tempat yang paling indah, Tar."

"Kenapa?" Tara mulai penasaran.

"Tempat jadian kami berdua." Gadis itu mengerutkan alisnya. "Aku dan Rasti."

Deg!

Sejenak Tara berpikir. Ia memang tak seharusnya melayang. Ia harus sadar bahwa Damar masih dibawah pengaruh rasa yang kalut.

"Aku yakin kamu masih kepikiran Rasti, Mar. Maafin aku. Ini karena aku. Coba aja waktu itu aku nggak ngeliatin kamu diam-diam atau bahkan rela memberi kamu contekan gratis yang kemudia kamu tetap bersikukuh buat membayarnya dengan es krim coklat. Semua nggak akan jadi kaya gini." Tara meringkuh dan duduk lesu pada sebuah bangku.

"Ini bukan salah kamu. Keadaan yang salah. Toh, kalau kamu mau itu semua nggak pernah terjadi. Tetap nggak bisa, kan. Waktu berlalu sangat cepat," jelas Damar yang menyusul duduk di sebelah Tara.

"Kamu kenapa nggak marah sama aku?" Tara mulai meragukan dan mengarahkan pandangannya ke arah Damar.

"Karena aku tahu kamu suka aku."

***

-solo, 5 maret 2018

Reaching Cloud Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang