Show your talent

12 1 0
                                    

Tanggal 17 Agustus telah tiba. Kini saatnya Tara beserta teman-temannya mengikuti pentas seni yang telah mereka rencanakan beberapa bulan sebelumnya. Bukan main-main, mereka tak hanya membawak satu atau dua lagu. Mereka akan mengisi acara kosong, yang berarti sekitar lima lagu akan mereka bawakan. Terlebih, mereka akan berada di atas panggung sampai acara selesai.

Tara sengaja datang agak pagi agar bisa dirias lebih cepat. Beberapa teman yang lain juga sudah datang dengan tujuan yang sama dengan Tara.

Setelah selesai di rias, ia menuju ke belakang panggung untuk kembali mempersiapkan alat-alat berupa biola beserta kabel-kabel penghubungnya.

"Semangat, ya. Aku tungguin kamu dari belakang panggung." Kedatangan Damar sangat mengejutkan Tara.
"Kok kamu bisa disini? Kamu udah dapet izin dari Bu Neta?"
"Ngapain harus izin? Lagian aku juga partisipan disini, karena yang anak sastra juga dapet kesempatan tampil. Apalagi orator ganteng kaya aku."
"Bisa aja kamu!"
"Yaudah, semangat! Acaranya mau dimulai."
"Kamu juga semangat ya, semoga lancar!"

Tara telah menaiki panggung bersama teman-temannya yang juga akan memainkan musik klasik. Berbagai musik klasik mereka tampilkan, dari yang terfavorit sampai yang mereka aransemen sendiri sampai menjadi sebuah tatanan indah.

"Bagus banget, Tar," puji Damar setelah acara selesai.
"Pidatomu juga bagus. Aku suka."
"Kamu bisa aja, Tar." Damar meluncurkan tatapan penuh cinta pada Tara yang berhasil membuat banyak orang terbawa perasaan melihatnya.

"Aku punya puisi."
"Puisi? Sejak kapan kamu pintar buat puisi, Mar?"
"Sejak aku sadar kalau kamu itu sempurna."
"Sempurna? Nggak ada manusia yang sempurna, Damar."
"Menurutku, kamu lebih dari kata sempurna. Karena orang lain yang bisa beranggapan kalau kamu nggak sempurna, cuma melihat kamu dari kekurangan. Aku menilai kamu seutuhnya, mempertimbangkan lebih banyak kelebihan daripada kekurangan."
"Emang apa kelebihanku?" Tara tertawa kecil.
"Kamu mencintaiku. Dan..."
"Apa?"
"Kamu sabar."

Tak seperti biasanya, Damar memilih mengajak Tara pergi ke toko buku terlebih dahulu dengan menaiki bus. Alasannya? Biar bisa menggantikan kesalahannya kemarin saat sedang marahan dengan Tara. Damar memang sudah merencanakan ini bahkan sebelum Tara mengetahuinya. Rencana manis kadang memang dibutuhkan supaya hubungan jadi lebih manis kan?

"Kenapa harus diganti? Aku nggak papa kok."
"Kenapa? Nggak suka barengan sama aku?"
"Bukan, tapi aku nggak tahu mau beli buku apa." Tara mengernyitkan dahinya. Ia bingung dengan sikap manis Damar belakangan ini. Mungkin memang ia sedang ingin memperbaiki kesalahannya kemarin.
"Jadi, kamu temenin aku beli buku."
"Buat apa? Sejak kapan kamu suka sama buku?"
"Seorang orator itu harus punya wawasan yang luas."
"Sekarang kalau jadi orator harus banyak ge er dulu ya?" Mereka berdua tertawa pelan melihat  kondisi bus yang sedang berdesakan.

Tanpa disadari, hujan turun sangat deras. Membasahi tiap jengkal benda-benda yang sedang berhenti atau bahkan mengelilingi bumi. Menahan setiap orang yang memilih untuk tidak basah kalau pulang ke rumah. Termasuk Tara dan Damar. Mereka masih berada di depan toko buku setelah selesai membayar di kasir. Mereka saling beradu tatapan.

"Nggak papa hujan, asal tetap bertahan sama kamu." Tara tak menjawab. Hanya kembali menatap ragu.
"Kamu mau aku bicara sama hujan?"
"Iya, aku penasaran. Kamu mau bilang apa sama hujan."
"Mau ketemu siapapun, aku berani bilang kalau aku sayang kamu, Tar."
"Termasuk di hadapan orang tuaku? Berani bilang gamblang?"
"Mungkin butuh persiapan." Tara tersenyum simpul.

"Kamu nggak kedinginan?" Damar memberi isyarat untuk memakaikan jaket di tubuh Tara.
"Nggak usah, Mar."
"Kenapa?"
"Ngerepotin."
"Nggak ada kata repot. Apalagi buat mencintai kamu, kan?"
"Udah ah, kamu ngegombal terus!" gerutu Tara. Menurut Damar, wajahnya semakin it kalau lagi ngambek seperti ini. Makanya Damar suka melihat Tara tersanjung.

Setelah turun di halte dekat rumah Tara, Damar bukannya tetap duduk sambil menunggu bus beranjak ke halte selanjutnya, yang tentunya akan lebih dekat ke rumahnya, Damar malah justru mengikuti Tara sampai rumah.

"Kok kamu ngikut, Mar?"
"Kenapa lagi sih? Nggak boleh?" Damar memasukkan tangannya pada saku celananya. Kemudian berjalan menghadang laju Tara.
"Ya nggak papa." Tara menunduk canggung.

Setelah sampai di depan rumah Tara, ternyata motor Damar sudah terparkir sempurna di teras.

"Kok bisa?"
"Tadi aku kesini dulu. Terus jalan ke halte, berangkat ke sekolah."
"Kok aku bisa nggak tahu?"
"Siapa suruh berangkat pagi-pagi?" Tara kembali tersenyum manis ke arah Damar.
"Yaudah sana pulang."
"Kok kamu ngusir?"
"Jangan banyak tanya!! Mamamu pasti nyariin!" Tara mencubit pipi Damar yang cemberut.

Damar tidak pulang ke rumah. Ia masih menepati janjinya yang baru tadi sore ia buat untuk bertemu dengan ketiga temannya, Niko, Randy, dan Vian.

"Hei! Lo habis dari mana? Telat setengah jam woi!" Niko bersuara dengan keras karena kafe saat itu sedang mendedangkan musik yang berdentum keras.
"Nganterin Tara."
"Segitunya? Lo beneran jatuh cinta ya bro?" Randy memastikan kembali."
"Iya," jawab Damar singkat:
"Padahal juga nggak cantik," gumam Randy.
"Gue ngga nyari yang cantik. Denger!" Damar langsung pergi dari ketiga temannya itu sebelum dicegah oleh Vian.

"Lo jadi emosian gini kalo bahas soal Tara."
"Gue nggak suka kalau mereka semua menghina orang yang paling gue sayang saat ini."
"Haha! Kocak lo, Mar. Perempuan jaman sekarang nggak usah terlalu dicintai gitu lah. Entar keliatan busuknya juga, kok." Vian kembali duduk di kursi seperti sebelumnya.
"Tara beda, Yan. Nggak kaya cewe elo yang bejibun itu. Udah, gue mau balik." Kali ini kepergian Damar sudah tak mampu dicegah lagi.

"Kenapa sih tu bocah?" Randy memegangi kepalanya.
"Lagi dimabuk cinta. Biasalah." Vian merangkul pundak Randy dan Niko.
"Tapi dia nggak pernah sebeda itu. Dia sebelumnya cuma mau manfaatin tuh cewek kampung. Kenapa sekarang jadi gini yak?"
"Kita harus bongkar," usul Niko.
"Bongkar gimana?"
"Kasih tahu Tara."
"Woits! Jangan gila lu Nik! Kita bisa mati dicincang Damar."
"Ah serah dah!"

***
"Gimana kemarin? Sudah bahagia kan? Impianmu sudah terwujud, bisa pergi ke toko buku bareng Damar." Aryo memulai percakapan sebelum jam pertama dimulai. Damar belum datang, jadi ini kesempatan besar buat Aryo untuk mendekati Tara.

"Jadi kamu yang bilang ke Damar?"
"Iya. Supaya kamu bahagia."
"Maksudnya?"
"Apapun kulakukan asal kamu bisa bahagia."

Brak!!

Damar menggebrak meja di depan Tara dan Aryo dengan keras. Wajahnya memerah.
"Lu ngapain deketin pacar gue?" Damar mengepalkan tangannya.
"Gue cuma mau kasih tahu kalau ajakan lo kemarin ide gue."
"Ah, basi!" Damar langsung menarik tangan Tara keluar kelas dan mengajaknya duduk di koridor.

"Jangan dekat-dekat dia!" larang Damar.
"Kenapa? Dia niat baik kok tadi."
"Bisa berhenti tanya kenapa??"
Tara mengernyit. "Kamu kenapa bisa seposesif ini sih?"
"Aku pernah bilang sama kamu kalau aku nggak mau kehilangan kamu kan."
"Iya. Tapi aku juga nggak akan hilang cuma dengan deket-deket sama Aryo."
"Nggak, kamu pasti bakalan hilang. Dan aku nggak mau itu terjadi!"
"Terserah kamu, Mar."

Tara berlari ke taman belakang sekolah. Sedikit demi sedikit air matanya menetes. Ia bingung akan semua perilaku Damar. Menyenangkan, aneh, bahkan bisa membuat sedih seperti saat ini.

"Tar, aku harap ini terakhir kali aku bikin kamu nangis." Damar menyusul Tara ke taman belakang.
"Aku harap ini juga jadi yang terakhir biar kamu nggak mudah berubah."
"Aku berubah?"
"Aku males jelasinnya, Damar!"
"Kamu nggak butuh jelasin. Aku udah paham. Lama kelamaan kamu akan tahu sendiri."
"Tahu apa?" Damar meninggalkan Tara dengan tatapan menunduk.
"Damar?! Apa ada hal yang harus aku tahu?" Tara menahan tangan Damar untuk tak segera beranjak.

***
Keep reading! Keep vomment!

Reaching Cloud Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang