Pelampiasan

18 5 0
                                    

"Gue merasa ada yang disembunyikan sama Damar."

"Lo bisa tahu gitu darimana?" Olive membalas.

"Tadi kan gue ke perpus bareng Nindya dan Aryo. Terus sewaktu balik Damar langsung introgasi gue dan penasaran banget apa yang dilakuin Aryo sama gue, apa dia ngomong sesuatu ke gue. Padahal gue juga kesana nggak lama-lama banget kok," jelas Tara. Tara masih tak bisa melupakan kejadian tadi. Hingga saat ini ia membicarakan masalah ini pada Olive.

"Gue setuju sama lo, Tar. Dia merahasiakan sesuatu. Ini pasti ada hubungannya sama status pacaran kalian."

"Maksudnya?" Tara kebingungan.

"Ya, gimana enggak sih, Tar? Gue merasa aneh. Kalian kan baru pacaran 1 bulan, coba lo inget saat dia nembak lo. Siangnya dia baru putus sama Rasti, kan," Olive mencoba mengungkapkan argumennya selama ini. "Jujur, sebenarnya gue mau ngomong ini sama lo. Tapi lo selalu nggak punya waktu buat gue. Lo selalu menghabiskan waktu sama Damar. Maaf gue bilang kaya gini sama lo."

"Iya." Tara menundukkan kepalanya.

"Lo mungkin cuma pelampiasan."

"Pelampiasan gimana?"

"Ya gitu. Dia selama ini cuma menjadikan kamu selingan saat nggak ada Rasti. Gue tahu ini pasti menohok banget ke elo. Tapi gimana lagi? Gue juga pengen kebaikan selalu sama elo. Gue merasa hubungan kalian ini udah banyak cacatnya. Padahal usianya baru seumur jagung." Tara mulai mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan Olive.

Aku selama ini memang salah. Aku terlalu cinta. Bisa saja, perkataan Olive benar. Tapi aku nggak boleh terlalu cepat memutuskan, hubungan ini kan sudah lama sekali aku inginkan terjadi.

"Tar?" panggil Aryo. "Kebetulan kita ketemu disini."

"Kenapa?" tanya Tara.

"Kamu harus tahu sesuatu." Alis Tara mengernyit. "Selama ini kamu udah salah memilih Damar. Kamu harus jauhin dia."

"Tapi kenapa?"

"Dia nggak baik buat kamu."

"Ha?" Tara masih linglung.

"Dia selama ini cuma menjadikan kamu pelampiasan. Aku harap kamu mengerti. Aku duluan, ya." Tara benar-benar tidak mengerti apa maksud Aryo mengungkap semua itu. Benarkah? Benarkah apa yang dikatakan Aryo dan Olive?

"Damar." Tara mencoba untuk mengungkapkan semua ini.

"Selama ini, kamu cinta aku?"

"Pasti lah," jawab Damar. Damar sudah tak bisa berkutik lagi. Ia benar-benar takut sesuatu yang selama ini ia takutkan benar-benar terjadi.

"Aku ragu."

"Gimana bisa ragu? Selama ini aku kurang perhatian sama kamu?" Damar menggenggam kedua tangan Tara.

Tara menitikkan air matanya perlahan. "Selama ini aku nggak tahu perasaanmu benar-benar ada atau nggak. Aku takut kamu hanya merasa kasihan karena cinta aku yang terbilang lama, Damar."

Entah kenapa Damar mulai ketakutan. Damar benar-benar kelu. Mungkin selama ini apa yang dikatakan Tara memang benar. Cintanya tak pernah untuk Tara. Mau belajar sekuat dan sekeras apapun, ia rasa cintanya tetap untuk Rasti dan takkan pernah berubah. Entah darimana niatan jahat untuk membalas cinta Tara timbul pada diri Damar, ia sama sekali tak mau segalanya jadi serumit ini. Tak semudah menyatakan dengan gamblang padahal dalam hati tak segamblang itu, lalu ketika keadaan sudah aman bisa dengan mudah memutuskan hubungan.

Damar tak pernah berpikir sejauh itu. Pikirannya hanya sampai yang dekat-dekat saja. Tanpa tahu bagaimana perasaan Tara pada akhirnya. Ia sadar betul saat ini, perasaan tak bisa dibohongi. Hidup juga tak semudah itu diakhiri. Ia telah memilih jalan yang salah. Ia memilih jalan yang benar-benar menyesatkan. Kini perasaan Tara menjadi taruhannya.

"Kenapa kamu diam? Apa kamu sudah berhasil mencintai aku? Apa proses belajarmu berhasil?" Tara mempertanyakan dengan air mata yang semakin deras mengucur dari pelupuk matanya.

"Aku nggak tahu."

"Kenapa bisa nggak tahu?" Tara meninggikan nada suaranya. "Apa benar firasatku selama ini? Aku bisa sadar kalau kamu nggak pernah mencintai aku, Damar. Aku tahu. Kamu juga lama kelamaan nggak bisa bohong tentang perasaan kamu sendiri. Selamanya aku nggak bisa menjadi kriteria wanita yang kamu inginkan. Cantik, gaul, modis, semuanya nggak ada pada diri aku. Jadi aku mohon banget sama kamu, yakinkan diri kamu sendiri. Cintakah kamu?"

Tara meninggalkan Damar sambil mengusap bekas air mata di pipinya.

"Tar, kamu mau kemana?" Aryo mencegat Tara yang sedang berjalan menuju halte sambil menunduk.

"Mau ke halte."

"Habis itu? Pulang?"

"Mau ke toko buku, mau beli buku rumus," jawab Tara cepat.

"Ayo bareng, aku juga mau beli novel kesana," ajak Aryo dengan sunggingan senyum di bibirnya. Tara hanya mengangguk pelan.

Mereka berdua duduk di halte bersama beberapa murid yang kebetulan juga sedang menunggu bus.

"Tar, maafin aku." Aryo memulai pembicaraan setelah duduk di bangku bus tepat berada di sebelah Tara.

"Maaf buat apa?"

"Kamu pasti jadi lesu gini gara-gara aku ngomongin tentang Damar."

"Nggak, kamu ada benernya juga." Tara memfokuskan matanya pada Aryo yang sudah mengamatinya namun tak ia gubris.

"Bener?" Aryo mengernyitkan alisnya. "Bener apanya?"

"Dia aja masih bingung sama perasaannya sendiri. Dia bingung bagaimana rasa cintanya sama aku. Bukannya ini cukup membuktikan dia masih mencintai Rasti ketimbang aku?" Mata gadis itu memerah seketika.

"Tar, dia mungkin masih belajar."

"Belajar buat apa lagi, sih?"

"Semua butuh proses, kan." Aryo meyakinkan Tara.

Selalu ada proses, Tar. Aku percaya itu, makanya sampai sekarang aku masih percaya kelak kamu akan cinta aku meski aku tahu kamu sangat mencintai orang lain, batin Aryo.

"Udah dapet buku rumusnya?" tanya Aryo.

"Udah nih. Kamu udah dapet novel yang kamu cari?" Aryo mengangguk cepat. Ia sudah membawa dua buku biografi di tangan kanannya.

"Katanya kamu beli novel, ini kan nonfiksi."

"Niatnya novel, ternyata maunya beli ini. Hehe." Aryo terkekeh pelan.

"Aryo, aku kadang berharap yang nemenin aku itu Damar. Tapi rasanya semuanya udah nggak mungkin lagi." Lagi-lagi Damar, wajah Aryo terlihat biasa saja namun hatinya justru tak mampu tahan merutuki nama Damar.

"Nggak mungkin? Kamu mau putus?"

"Nggak tahu. Aku sekarang jadi bingung sama perasaanku sendiri. Termasuk sama keyakinan aku sama dia lagi. Susah mengembalikan kepercayaan, Yo." Tara mulai berjalan menuju kasir.

"Iya, aku paham," jawab Aryo singkat.

"Mau makan nggak? Atau langsung pulang?" tawar Aryo setelah baru saja keluar dari toko buku.

"Iya, boleh." Mereka akhirnya makan di sebuah restoran cepat saji tak jauh dari toko buku. Keduanya pun pulang bersama dengan bus umum.

"Kamu nggak naik motor, Yo?" tanya Tara.

"Nggak, aku masih 15 tahun. Aku emang bisa naik motor, tapi aku nggak berani ke jalan raya. Belum punya SIM juga, kan. Aku nggak mau orang yang aku boncengin nanti ketilang bareng sama aku. Kan nggak asik," jelas Aryo panjang lebar.

******
Terimakasih readnya! Terus vomment dan read trs, tunggu kelanjutan ceritanya!

Reaching Cloud Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang