PART 10 [HOLDING ME]

611 29 3
                                    

Author's POV

Masih hari yang sama, Erissa keluar dari kelas dan mendapati rintik hujan yang perlahan menetes dari atap kelasnya. Dia segera merogoh ranselnya, mencari payung yang biasa dibawa. Tapi nihil. Payung yang dicari tidak ada ditemukan. Dia mendengus kesal.

Erissa menengadah dan memasang ranselnya kembali, melihat awan gelap di langit yang menurunkan hujan. Kapan hujan akan berhenti? Dia sangat kelelahan hari ini, ditambah dengan tragedi di kantin tadi siang. Dia merasa menjadi makhluk paling memalukan hari ini.

"Huft..." gumamnya. Dia meoleh ke samping. Teman-temannya juga sedang berdiri menunggu hujan berhenti.

Kepalanya berbalik lagi ke depan. Ada beberapa motor nekat menerjang hujan, ada juga beberapa temannya memakai payung mereka. Yah! Andai saja dia membawa payung, pasti dari tadi dia sudah berada dalam perjalanan pulang.

Erissa menyenderkan punggungnya di dinding dekat jendela kelas. Kedua tangannya bersedekap di depan perut. Hawa semakin terasa dingin. Bodohnya, dia tidak membawa jaket juga.

Dari kejauhan, Stevan berjalan mendekati Erissa yang masih berdiri menyenderkan punggung. Dia tersenyum melihat perempuan yang akhir-akhir ini membuat hatinya bergetar tanpa sebab. Erissa tidak menyadari dirinya sedang diperhatikan dari kejauhan oleh seorang laki-laki idola kampus, tetap sibuk memikirkan kapan hujan akan berhenti. Kalau orang-orang bilang, Erissa termasuk salah satu perempuan beruntung karena kenal dekat dengan laki-laki sebaik Stevan. Tapi entah mengapa Erissa masih biasa saja setiap berada di dekat Stevan, tidak seperti apa yang digambarkan teman-temannya. Ya, masih biasa saja.

"Erissa." Stevan mendekatkan mulutnya di telinga Erissa ketika sampai tepat di sampingnya.

Bahu Erissa bergerak kaget karena geli dan sedari tadi dia sedang menundukkan kepala sehingga tak menyadari Stevan telah berada di sebelahnya.

Erissa menghelai nafas. Menatap Stevan penuh kesal. Sedangkan Stevan malah cengengesan melihat ekspresi sebal 'adik'nya.

"Kebiasaan!" Eriss mencubit keras perut Stevan.

"AAAKK! Sakit!" teriak Stevan dan mengelus perutnya yang panas bekas cubitan Erissa. Orang-orang di sekitar menengok kearah mereka berdua. Sebagian perempuan, seperti biasa, tertawa penuh girang melihat Stevan ada di dekat mereka. Sebagian orang menatap sebal pada Erisa karena rasa iri mereka. Dekat dengan orang terkenal memang banyak resikonya.

"SSSSTT!!" Erissa melayangkan pukulan ringan di lengan Stevan.

"Sakit, Sa!" protes Stevan berbisik.

"Tidak perlu teriak!!" Erissa tidak mau kalah.

"Iya iya iya." Akhirnya pertengkaran kecil itu berakhir. Meski begitu, ia merasa nyaman setiap bertengkar dengan Erissa. Tak tau mengapa justru aneh kalau dirinya tidak ada keribut seperti tadi.

"Hujan awet nih sepertinya." Stevan mengalihkan pembicaraan. Dia bersender di tembok mengikuti Erissa.

"Dan sialnya payungku ketinggalan." Erissa mengungkapkan kekesalannya.

"Aku juga."

"Dasar tidak berguna." Erissa terkekeh.

"Yak!" kepala Stevan menengok, "setidaknya aku bawa motor." lanjutnya.

"Motor saja? Kalau menaikinya pun akan tetap kehujanan." Balas Erissa.

"Terus maunya apa? Mobil? Ck! Mana mungkin aku bawa mobil. Nanti yang ada mereka-mereka para perempuan tambah ingin menggebetku." Stevan menaikkan dagunnya pada perempuan-perempuan di sekitar yang sebagian masih memperhatikan dirinya.

TSILY [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang