PART 17 [WE'RE NOT OKAY]

246 25 2
                                    

"Kata mereka, kita terlihat baik seolah kita bisa mengatasi segalanya. Tapi aku merasa tidak. Kita nyaris tidak bisa menahannya, tapi tak seorang pun tahu."

.

.

.

"Erissa." Reyhan berdiri di belakang Erissa yang sedang membongkar tenda bersama teman-temannya.

Erissa langsung menengok terkejut mendapati Reyhan berdiri di sana, "Y-ya?"

"Pulang bersamaku." Katanya tegas.

"Kenapa?" Erissa kebingungan.

"Y-ya. Hanya saja..." Reyhan menggaruk kepalanya.

Erissa masih menatap mata Reyhan, menunggu jawaban pastinya.

Stevan menyenderkan punggungnya di balik pohon dekat dengan Reyhan berdiri sekarang, menguping pembicaraan mereka. Dia masih tak mengerti dengan jalan pikiran Erissa. Kemarin dia dipanggil oppa olehnya, tapi setelah kejadian itu mengapa Erissa seolah menjauh darinya? Seolah Erissa mengerti perasaanya saat ini.

"Intinya, kamu jangan naik bis." Jawab Reyhan akhirnya.

"Kenapa? Apa kamu tidak khawatir akan mencelakainya lagi?" Stevan tiba-tiba memunculkan diri dari tempat perembunyiannya.

Sontak Reyhan menolehdan menatapnya marahnya. Erissa tidak kalah kaget.

"Jaga omonganmu, Stev!" Reyhan berjalan pelan menghampiri Stevan.

"Memang begitu, kan?" tegasnya lagi tanpa ragu.

"Sudahlah. Aku akan menaiki bis bersama yang lain." Lerai Erissa sambil membereskan sisa-sisa barang bawaannya.

"Tidak!" Reyhan menjawab sedikit berteriak, "kamu harus ikut bersamaku!" dia mencengkram tangan Erissa.

"Yak! Siapa yang mengijinkanmu berbuat kasar padanya?!" Stevan berjalan mendekat dan melepaskan cengkraman Reyhan dari tangan 'adiknya'.

"Kamu juga siapa, huh?" tantang Reyhan balik.

"Cih. Aku? Kamu mau tau siapa aku baginya?"

Reyhan diam menunggu sambil menatap tajam kedua mata Stevan dalam radius yang dekat.

"Aku–yang-tau-semua-tentangnya!" jawab Stevan.

"Oh ya??"

Stevan mengangguk, "rahasia Erissa hanya aku dan almarhum kakaknya yang tau. Bukan kamu. Paham?"

"Sudahlah! CUKUP!" Erissa melerainya untuk kedua kali, dan dia berjanji tidak akan ada di sana lagi ketika mereka ribut. Dia mengambil ranselnya lalu pergi dari sana begitu saja menuju bis.

"Erissa!" Stevan berteriak dan beranjak hendak menghentikan langkahnya, namun tangannya segera ditarik oleh Reyhan.

"Lepaskan, brengsek!" dia berusaha sekuat tenaga melepaskan genggaman Reyhan pada pergelangan tangannya.

"Percuma. Dia tidak akan mendengarkanmu."

"Ssshh!!!"

***

Erissa membiarkan televisinya menyala, sedangkan pandangannya kosong ke depan. Tenggelam dalam pikirannya yang rumit.

"Ada apa dengan mereka berdua? Mengapa mereka terlihat sering ribut?" tanya Erissa pada dirinya sendiri.

TSILY [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang