Ku mohon tetaplah di sampingku, tetaplah bersamaku. Kumohon jangan lepaskan aku yang selalu menggenggam tanganmu.
.
.
.
.Author's POV
Sedih. Ya itulah yang Stevan rasakan sampai siang ini dan selama lima hari bolak-balik kampus-rumah sakit demi menjaga Erissa. Selama tiga hari itu pun Erissa belum bisa mengingat semua. Namun, Stevan tak akan mengakhiri penantiannya sampai memori Erissa kembali.
Stevan terduduk di bangku panjang ruangan Erissa. Televise di dinding kamar menyala tapi tak ada yang menhiraukannya. Pandangan Stevan tetap melihat Erissa tertidur di atas kasur. Sesekali dia melihat ponselnya hanya untuk menghilangkan pikiran kosongnya. Untung saja laporan yang harus dikerjakan sudah selesai. Dia sudah susah payah membagi waktu untuk menulis laporan dan menjaga Erissa saat om dan tante sedang bekerja, serta Mattew yang sibuk dengan semester akhirnya di SMA.
Sampai kapan kamu lupa sama aku? Gumam Stevan dalam hatinya.
Dia menghelai nafas pasrah. Tidak tau apa yang harus diupayakan agar mengembalikan ingatan gadis itu. Sudah banyak yang ia ceritakan padanya, namun Erissa hanya mengangguk-angguk. Sebagian hanya memahami apa yang diceritakan Stevan, sebagian lainnya juga sedikit tidak percaya.
Erissa yang masih terbaring lemas di atas kasur tiba-tiba menggerakkan tangannya ke atas seperti meminta bantuan. Secepat kilat Stevan berdiri dan menghampiri. Dia menggenggam tangan halusnya.
"Kenapa, Sa?" tanyanya.
Erissa mengangkat sedikit kepalanya yang masih terbalut perban putih. Stevan langsung paham dan mendudukkan Erissa.
Gadis itu bernafas sejenak. Lalu menatap Stevan.
"Mama dan papah mana?" katanya terbata
"Mereka masih bekerja. Ada apa?"
Erissa menggeleng lemah dan mengalihkan pandangannya.
"Kalau butuh sesuatu bilang aja ke aku, hm?" Stevan menyentuh bahu Erissa yang mulai kurus.
Erissa mengangguk paham. Dan kembali menatap Stevan.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, sih?" lirihnya.
Stevan mengatupkan bibir, menahan rasa sedihnya. Dia duduk di samping Erissa, menghadapnya.
"Karena kamu cantik. Hehehe..." Jawabnya ngasal. Fisiknya tertawa, tapi hatinya sungguh terpukul. Seolah waktu-waktu yang selama ini ia habiskan bersamanya sejak kecil terbuang sia-sia dan tidak berguna sama sekali di hidup Erissa, sekalipun hanya sebuah kenangan. Dia tau keadaan memang seperti ini, tetapi terpukul tetaplah terpukul, meski dirinya sekuat tenaga untuk memahami keadaan.
"Serius." Ucap Erissa.
"Serius, Sa."
"Yaudah lah." Erissa mengangguk pasrah, "aku ingin cepat pulang rasanya."
"Nanti, ya. Mungkin besok." Stevan tersenyum lebar.
Erissa mengangguk lagi.
"Yaudah. Mau tidur lagi?"
"Enggak."
"Mau keluar? Cari udara segar di taman belakang?" kedua alis tebal stevan terangkat dan membuat Erissa salah tingkah.
"Ide bagus." Jawab Erissa tersenyum kecil.
"Aku ambilkan kursi roda ya."
"Nggak usah!" Erissa mencegat tangan Stevan agar tetap di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
TSILY [END] ✔️
Teen Fiction[Thankyou, Sorry, and I Love You] Aku membuatmu kesulitan, tapi aku juga mengalami masa sulit. Tak seperti tekadku, tidak ada yang membaik. ------------------------------------------------- Cast: Erissa (pemeran utama) = Yeri 'Red Velvet' Stevan (...