BAB 18 [DON'T CRY]

275 27 9
                                    

"Aku mohon jangan menangis. Malam sunyi penuh kesakitan akan segera berlalu. Tersenyumlah meski itu sebuah kepalsuan, karena cahaya bulan akan terpancar di matamu yang indah."

.

.

.

Lorong rumah sakit terasa sangat mencengangkan selama Erissa dan Reyhan berlarian menyusurinya. Air mata Erissa sudah tak mampu terbendung lagi dan berulangkali jatuh ke lantai selama dia berlari di depan Reyhan.

Reyhan di belakangnya ingin sekali merengkuh tubuh mungil Erissa, namun dia tau Erissa sedang sangat panik dan ingin secepatnya sampai pada ruangan dimana papanya dirawat. Entah sejak kapan perasaan itu muncul, yang dia tahu hanya selalu khawatir ketika Erissa menangis. Rasanya ingin ikut menangis, tapi kalau dia melemah juga, siapa yang akan menguatkan Erissa?

Erissa mengusap air matanya di pipi agar tidak menetes membasahi lantai rumah sakit lagi. Lalu mereka akhirnya sampai di depan pintu sebuah ruangan. Di sebelahnya tertulis nama papa Erissa, dibungkus bingkai putih dari rumah sakit.

Dia segera membuka pintu itu. Tapi kosong. Hanya ada tas ransel milik adiknya dan tas mamanya di sofa. Kemana mereka?

Erissa segera berbalik dan menabrak badan Reyhan. Dia terjatuh. Badannya sangat lemas. Hatinya sangat takut kehilangan papanya. Bayangkan saja, keluarganya tidak pernah ada perdebatan. Kalaupun ada, pasti selalu terselesaikan. rasa kekeluargaan di dalamnya sangat kental dan belum pernah ada perpecahan. Harmonis. Tiba-tiba ada berita papanya kecelakaan. Pasti semua langsung merasa hancur.

"Erissa," Reyhan jongkok, meraih kedua bahu Erissa. Gadis di depannya menunduk dan menangis lagi. Hati Reyhan sangat tersayat melihatnya menangis. Tanpa berpikir panjang, dia memeluknya, membiarkan kepala Erissa tenggelam di depan dada bidangnya.

"Tenang dulu, Sa," Reyhan mengusap lembut kepala Erissa. Sedangkan, Erissa masih terisak dalam tangisnya.

Di belakang mereka, Stevan berdiri mematung menyaksikan Reyhan memeluk gadis yang sangat ia sayangi. Kakinya terseret mundur, dadanya naik turun. Perasaannya tercabik-cabik dan mungkin hatinya sudah hancur berkeping-keping menyaksikan tidak ada penolakan dari Erissa.

Erissa, batin Stevan. Matanya tidak berkedip sama sekali hingga ia tidak menyadari air mata telah membasahi kedua pipinya.

Dia berbalik.

"Kak Stevan?" suara Mattew terdengar.

Stevan mengurungkan niat untuk pulang ketika dia melihat Mattew berdiri dari kejauhan. Kedua mata Mattew sudah memerah dan membengkak karena menangis. Stevan tak kuasa melihatnya, kemudian segera berjalan mendekati bocah malang itu.

"Mattew. Apa yang terjadi?" Stevan menghapus air matanya, lalu menggenggam erat kedua bahu Mattew. Menatap dalam kedua matanya yang sudah tak karuan bentuknya.

Bukan jawaban yang didapat, Mattew justru langsung memeluknya. Dia terisak lagi di dalam pelukan Stevan. Bahunya terguncang.

"Katakan, apa yang terjadi?" Stevan menepuk-nepuk punggung Mattew.

"Papa-"

"Om kenapa, Mattew?"

"Papa harus dioperasi karena ada pendarahan di kepalanya, lalu sebelah kakinya sudah tidak bisa berfungsi,"

TSILY [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang