5 . Rencana Weekend

2.2K 156 2
                                    

"Kamu lagi enggak sehat, ya?" Aku menoleh saat Jeremi menghampiriku yang tengah termenung di sudut ruang osis. Laptop di hadapanku kuabaikan begitu saja, dan mungkin lamunanku mengundang Jeremi untuk menegurku.

"Aku lagi enggak mood aja, semalam kita nugas sampai jam dua pagi, dan pagi-pagi aku diintrogasi sama Papa." Aku mengedikkan bahu. "Ya ... walaupun dia enggak marah-marah, tapi akhirnya nyuruh aku keluar lagi dari osis, karena menurutnya aku enggak bisa bagi waktu. Berkali-kali sih dia bilang gitu, tapi aku tetep enggak mau."

Jeremi memikirkan sesuatu. "Apa karena kita ribut waktu video call Skype ya, Al?"

Memang semalam aku berinisiatif mengajak Sukma dan Jeremi untuk mengerjakan tugas Fisika yang berjumlah delapan nomor itu. Mulai pukul sepuluh malam sampai setengah tiga pagi. Bukan perkara yang mudah mengerjakan soal berjumlah delapan nomor bagi kami yang sering keluar kelas karena kegiatan non-akademik. Aku, Jeremi dan Sukma tidak mau bergantung pada siswa-siswi apatis di kelas, karena menurutku mereka tidak pernah ikhlas mengajari siswa yang gemar mengikuti organisasi seperti dua temanku itu, Jeremi dan Sukma. Walaupun kami dipandang bodoh karena maniak berorganisasi, tapi percayalah nilai kami selalu unggul karena berjuang sendiri untuk memahami materi yang tertinggal. Itulah kenapa, terasa lebih tenang jika terjaga tiap malam untuk berlajar bersama dengan Jeremi dan Sukma, karena mereka juga selalu punya pemikiran sama denganku.

Aku mengerucutkan bibir dan mengangguk kecil. "Mungkin." Sepertinya aku harus terbuka pada Jeremi dan Sukma selaku teman dekat dari awal aku pindah kemari, dan menurutku mereka berdua pandai menjaga rahasia. Jeremi dan Sukma sama-sama memegang jabatan penting dalam organisasi, Sukma menjadi ketua jurnalis untuk priode tahun ini, begitupun Jeremi, kecerdasannya cukup untuk membantunya terpilih menjadi ketua osis anti gagal di setiap proker. Itulah kenapa aku yakin menceritakan permasalahanku pada mereka.

"Aku baru tahu kalau Papa kamu orang penting di polri," ucap Jeremi. Kali ini ia duduk lebih santai di depanku.

Aku tersenyum miring, merasa pas dengan kalimat yang ingin aku lontarkan. "Ya begitulah."

"Kamu kelihatannya enggak mood waktu kita ngobrol tentang Papa kamu. Ada apa?"

"Dia bukan Papa kandungku."

Jeremi seperti menjadi patung. Dia terlihat gugup saat aku mengungkapkan hal yang tak mengenakkan di telinganya. Dan jujur, saat aku menjawab pertanyaannya, satu beban di pundakku seperti lepas dari jeratan rantai yang diborgol kuat-kuat. Rasa sesak tadi pagi perlahan sedikit berkurang saking lamanya aku memendam ini semua.

"Sori, aku enggak bermaksud buat nanya hal lancang gini ke kamu."

Aku mengibaskan tangan. "It's okay. I trust you."

"Yang tahu cuman aku?"

"Mungkin entar lagi aku kasih tahu Sukma. Thanks ya, Jer, udah tanyain kondisku. Coba aja kalau kamu enggak nanyain aku, pasti aku diem mulu, enggak akan aku ceritain ke siapapun. Karena nyimpen ini semua sendirian itu enggak enak."

"Enggak pa-pa, Al. Wajar kok, aku malah seneng kamu ceritain hal yang dari lama kamu pendam sendiri. Gak usah kelihatan bahagia kalau nyatanya kamu enggak dalam kondisi itu, karena setiap anak pasti punya kisah keluarganya masing-masing. Tapi kalau kamu masih sungkan, enggak pa-pa jangan diceritain dulu. Kita harus nyari waktu yang pas untuk bahas permasalahan kamu."

Aku terkekeh. "Kamu melankolis juga, ya."

"Because I feel you too." Pemuda berparas oriental ini sungguh terkesan sendu. Dalam sikap pendiamnya, patut kuacungi jempol karena ketegasannya menjadi ketua osis. Serta dia juga tampil berwibawa dengan semua power yang ia miliki. Lama menatap Jeremi, sepertinya aku paham mengapa Tania menyukainya.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang