37 . Pertemuan Tak Diinginkan

1.1K 92 0
                                    

Aku menerima nomor tak dikenal. Dia mengirim beberapa pesan. Dalam pesannya, dia berkata ingin menemuiku di Angkringan Sego Sambel Mak Yeye. Aku menduga bahwa orang yang mengirim pesan adalah Letta. Kenapa aku bisa tahu? Karena angkringan itu adalah tempat favorit Damar. Hanya aku yang tahu makanan kesukaannya, dan mungkin Letta juga sering dibawa ke sana saat aku dan Damar renggang seperti ini.

Jumat pukul tujuh malam, sesuai janji, aku menemuinya di depan angkringan. Sengaja sekali cewek itu memilih tempat favorit Damar. Letta memberi pertanda bahwa aku memang harus mundur lewat hal kecil yang bisa dibaca seperti ini. Kata Mahesa, Letta tipikal cewek tidak terima diajak makan di tempat kecil yang tak punya menu istimewa, dan Angkringan Mak Yeye bukan suatu tempat indah dengan menu melejit.

Tapi, perempuan kalau sudah menyukai apa pun yang disukai si cowok, apa artinya kalau bukan dia berusaha memahami kehidupan yang dijalani pasangannya? Sudahlah. Niatku semakin kecil untuk kembali bersama Damar. Padahal Sabtu besok dia akan ke rumah. Tapi sepertinya aku membiarkan Om Anjas yang menemui Damar, sekalia membiarkan Om Anjas memberi pelajaran pada Damar.

Aku masih tetap di dalam mobil. Menunggu sang pengirim pesan menghampiri Jazz hitam Mahesa. Sepertinya dia terlalu jago drama kalau tidak kenal mobil ini. Dia pernah menumpang juga kan? Kurasa bukan hanya menumpang, lebih tepatnya dimanjakan dengan fasilitas yang Mahesa berikan.

Oh ini dia. Letta datang dengan bolero hitam yang membungkus tank top putih yang dia kenakan. Tanpa harus kuingatkan lagi lewat SMS bahwa aku menunggunya di dalam mobil, Letta sudah lebih dulu mengetuk kaca pintu kiri. Aku membukanya, tersenyum manis semanins buah belewah yang ditaburi sianida. Percayalah, aku ingin menampar wajah mulusnya itu. Baru kali ini aku menaruh benci pada sesama gender. Coba saja dia tidak menjual tubuhnya pada Damar, tidak mungkin aku merendahkannya seperti ini. Lupakan soal women support women. Istilah itu tidak berlaku untuk cewek yang kutemui ini.

"Alka, ya?" Aku memutar bola mata. Masih pake tanya. Apa dia tidak tahu mukaku ketika membuka Instastory milik Damar saat dia pertama kali menembakku di Titik Nol? Sore itu dia cukup nyepam dan meng-upload beberapa foto candid-ku ke dalam cerita akun Instagram-nya. Kalau Letta pura-pura lupa itu artinya dia sudah memasang tak-tik untuk berperang denganku.

"Masuk," ucapku dingin. Masa bodoh dengan sikapku yang tak bersahabat. "Jadi mau ngomong apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Bodoh sekali perempuan ini. Bodoh! Dia memamerkan barang mewah hasil rampasan dari cowok-cowok tak berdosa itu. Dan kini, dengan bangganya dia berlagak sok, menegakkan sandaran jok mobil, dan bercermin membenarkan rambut panjangnya yang memukau. Dia tidak pernah diajarkan attitude, kah? Kenapa malah bersolek diri di hadapanku? Jijik sekali.

"Kamu enggak bisa basa-basi dulu, ya?" Dia menepuk pahaku. Baiklah, dia memang cewek tidak tahu sopan santun.

Seketika aku mengikat rambut setinggi mungkin. Menyalakan lagu Britney Spears berjudul Everytime. Aku sengaja memutar lagu agar emosiku tetap terkendali, di samping itu, karena aku tidak mau meneriakinya dan menamparnya. Apa kata orang kalau aku kepergok menganiaya gadis murahan seperti dia? Aku tidak mau nama Om Anjas tercoreng karena punya putri temperamental yang terlibat insiden penganiayaan dengan salah satu germo remaja berumur belasan tahun. Rasanya lucu saja kalau namaku jatuh akibat beradu tinju karena laki-laki.

"Kebetulan saya enggak suka basa-basi. To the point, mau kamu apa." Aku sengaja menegaskan diri dan menggunakan kalimat 'saya' dengan intonasi sebijak mungkin.

Letta menunjuk angkringan dengan jempol kirinya. Lihat, bahkan kuku-kukunya indah, seperti dimani-pedi setiap hari. Aku menggeleng heran, gaya hidup yang glamor. "Kita enggak makan dulu di situ? Kebetulan aku tahu apa kesukaan kamu dan Damar." Aku bergeming. Bahkan, Damar menceritakan tentang makanan kesukaan kami berdua. Ikan PE atau menu Iwak Pari yang disambel lengkap dengan telur dan terung. Apalagi porsi plus ditambah jeroan ayam. Sungguh, aku merindukan momen itu. Bahkan, Letta tidak berniat menjauhi Damar saat dia menceritakan menu favorit kami. Muka kulit kerbau sekali.

"Saya enggak lapar," ucapku. "Lebih baik kamu langsung to the point." Sebenarnya aku lapar. Tapi gengsi, dong, makan dengan musuh bebuyutan.

Letta meletakkan kembali lipstik seharga ratusan ribu itu ke dalam tas mahalnya. Tas kulit rusaku bahkan tak ada apa-apanya daripada Dior merah muda tua yang dia bawa. "Kamu tahu Damar deket sama aku, kan?"

"Tahu." Aku mengangguk. Dia masih terdengar basa-basi. "Kenapa memangnya?" Aku meletakkan tangan di atas kemudi mobil. Mengganti lagu, dan kembali mendengarkan aliran pop yang berusaha menenangkan pikiranku.

"Berarti kamu juga tahu kalau aku berusaha melakukan apa pun untuk Damar?"

Kali ini aku menyeringai. "Termasuk jual tubuh kamu seharga sepuluh juta dengan alasan adik kamu melahirkan? Aku tahu. Bahkan, alasan itu terdengar mendramatisir untuk seukuran lonte seperti kamu."

Letta terkekeh puas. Heran sekali. Hatinya terbuat dari apa, sih? Seolah gelar pelacur sudah biasa disandang oleh perempuan berambut panjang layer ini. "Panggilan lonte kayaknya udah umum banget aku dengar. Tapi enggak apa-apa. Aku bisa terima."

Astaga. Kok enggak malu? Sepertinya Letta memang muka kulit kerbau. Dia bahkan tidak malu mendapat gelar seperti itu. "Cukup basa-basinya. Maumu apa?" Aku memutar bola mata. Baru kali ini ada perempuan yang berbangga hati dirinya disebut pelacur. Aku tidak habis pikir. Pantas saja Damar terkesan tak nyaman saat aku menyinggung Letta.

"Tolong relakan Damar buat aku. Lepasin Damar-ku. Tolong buat dia benci sama kamu." Wow! Bahkan cewek ini mengemis untuk melepaskan Damar. Bukannya aku tidak mau melepaskan Damar. Tapi, permintaanya yang terakhir sangat tidak mungkin aku lakukan. Walaupun aku dan Damar menjadi dingin, aku tidak pernah punya pikiran untuk membuatnya membenciku. Hal yang tidak akan pernah aku lakukan untuk siapapun.

Aku tersenyum kaku. "Saya enggak akan ngelakuin hal bodoh yang bikin saya dibenci banyak orang, apalagi bikin Damar supaya membenci saya. Tanpa kamu sadari, kamu sudah dibenci orang banyak, bukan hanya saya aja, sih, yang benci sama kamu. Tapi Damar juga, dia hanya memperlakukanmu sesuai perjanjian, dan dia sama sekali enggak melibatkan perasaan sama kamu."

Dia menoleh. Matanya berbinar. Apakah aku sudah membuat gadis berkulit eksotis ini menangis? Kalau iya, baguslah. Aku tidak perlu membulatkan niat untuk menyakitinya, seperti dia menyakitiku dengan cara merampas Damar.

"Cuma Damar yang ngerti aku, Al. Cuma dia yang paham kondisiku. Dia yang mau bantu aku ke sana-kemari temenin lahirannya Elga. Andai kamu tahu ceritaku, aku yakin kamu enggak akan mau hidup lagi."

"Sayangnya saya enggak mau tahu. Karena saya sudah tahu semuanya dari korban-korban kamu. Kamu pikir, saya termasuk orang yang mudah dimanipulasi dengan cerita menyedihkan kamu tentang hidup?" Aku melipat tangan di depan dada. "Saya enggak mudah termanipulasi semua cerita menyedihkan tentang kamu. Coba saja kamu bisa menoleh apa yang ada dalam diri kamu, playing drama enggak akan mempan bagi orang seperti saya. Akan saya pastikan Damar meninggalkan kamu."

Aku menekan tombol kontrol pada sisi kananku. "Silakan keluar, kalau perlu sepulang dari sini dan ketemu Damar, aduin apa pun yang saya katakan. Saya enggak takut Damar marah, karena saya bisa membela diri sendiri dengan cara cemerlang."

Letta keluar dari dalam mobil, menggebrak pintu Jazz sekencang mungkin. Dia berlalu dengan langkah panjang dan berjalan bak model yang berjinjit menelusuri karpet merah. Aku tahu dia menerima ucapanku mentah-mentah. Tapi untuk apa iba dengan tatapannya dan cerita miris tentang kehidupannya?

Apa yang dia punya—barang-barang mewah, tas branded, kosmetik seharga ratusan ribu, dan bahkan level kesopanan yang bahkan tidak mendukungnya untuk dihargai sebagai manusia baik—tidak akan menjadikannya pribadi yang tahu aturan dan norma kesopanan. Aku tahu bahwa seluruh perempuan punya sifat centil, tapi apakah bisa dijadikan nilai tukar rendah seperti yang dilakukan Letta?

Aku beruntung hidup dalam keluarga tegas dan penuh aturan. Aku jadi punya alasan untuk tahu mengapa Om Anjas memperlakukanku bak putri Rapunzel. Itu semua karena dia tidak mau aku menjadi perempuan yang tak tahu adab seperti Letta. Di usianya yang masih remaja, aku yakin banyak pekerjaan halal yang memudahkannya untuk mempertahankan harga diri. Namun, karena tergiur kehidupan mewah Ibu Kota Jawa Timur, dia menjadi gelap mata dan menghalalkan pekerjaannya, termasuk merampas kebahagiaan dari setiap perempuan yang pasangannya digoda.

Aku tahu rasanya menjadi anak broken home, tapi aku tidak mau rusak seperti orang tuaku. Maka dari itu, aku memilih untuk mengikuti alur daripada berbelok pada jalan lurus tapi hitam. Karena seburuk apa pun sebuah keluarga, pasti tidak akan menyesatkan keluarga yang lain.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang