14 . Aroma Lavender

1.4K 130 9
                                    

Aku tidak pernah duduk di sofa senyaman ini. Ruangan yang didesain setenang mungkin dengan warna abu-abu dan minim cahaya ini semakin membuatku merasa tenang, apalagi dengan bau lavender dari aroma terapi yang menyala tak jauh dari sofa yang diduduki Pak Bram. Pria berusia sekitar 27 tahun itu masih tersenyum tenang saat menyuruhku untuk memosisikan diri serileks mungkin.

"Coba pejamkan mata sebentar." Aku menurutinya. Tanpa sadar, aku menarik napas panjang, lantas kuembuskan begitu saja tanpa menunggu aba-aba dari Pak Bram.

"Jadi, apa keluhan kamu? Tidak ada yang kita tutupi, ya. Kamu hanya perlu percaya kepada saya, maka saya akan memberikan solusi terbaik, yang tentunya sesuai dengan apa yang kamu ceritakan," ucapnya. "Berbaring saja bila perlu. Buat diri kamu senyaman mungkin."

Aku mencari posisi paling pas untuk bercerita. Berbaring sesuai saran. "Saya boleh cerita sekarang?" tanyaku ragu.

"Sangat boleh. Tidak usah ragu ya, Alka. Rileks saja, saya akan simpan rahasia kamu. Apa pun itu."

Aku tersenyum. "Saya ke sini karena ingin bertanya cara menangani trauma yang kerap kali mengganggu tidur, semacam ... saya tiba-tiba selalu dihadapkan dengan kejadian yang berulang."

"Berulang seperti apa?"

Aku menghela napas. Sungguh, aku takut mengingat kepala Papa yang hancur. Terlalu mengerikan, sampai akhirnya membuat mataku tertutup rapat, dan tubuhku mulai berjingkat karena otakku berusaha mengusir ingatan itu.

Dapat kurasakan Pak Bram menyentuh ujung kakiku. Dia berusaha membuatku setenang mungkin dan kembali dalam keadaan semula. Aku yang semula meringkuk layaknya bayi dengan mata tertutup rapat dan tangan yang memukul kepala, kini harus berusaha menangkan diri.

"Tarik napas," perintah Pak Bram.

"Seperti ini ... rasanya saya enggak mampu ceritain apa-apa lagi. Saya enggak mampu untuk mengingat apa yang pernah terjadi pada Papa saya." Aku terisak, napasku mulai memburu, sama seperti pertama kali aku bercerita pada Damar. Aku putuskan untuk mengepal tangan erat, sampai dapat kurasakan ujung kuku panjangku mulai menusuk telapak tangan.

"Jangan sakiti diri kamu, Alka." Pak Bram mencoba menangkap tanganku. "Saya tahu ini semua menyakitkan, tapi menyakati diri sendiri bukan itu solusinya. Apa kesukaan kamu?" tanyanya saat aku benar-benar berusaha menahan diri untuk membuka tangan selebar mungkin.

"Kucing, dan buku."

Pak Bram menulis sesuatu ke dalam papan dada yang menjepit kertas putih.

"Saya juga suka musik, dan juga suara hujan."

"Selain itu, hal apa yang membuat kamu merasa senang?"

"Dianggap ada oleh seseorang yang mencintai saya."

"Boleh saya tahu, siapa dia?"

"Almarhum Papa."

Pak Bram mengembuskan napas. "Oke baiklah, boleh saya tahu hal apa yang selama ini kamu pendam? Apa yang seringkali mengganggu tidur kamu?"

Aku menatap lelaki dewasa yang kini bersila kaki di sofa cokelat itu, dalam tatapannya yang tenang, aku tahu Pak Bram berusaha menyelam dalam pikiranku. Aku mencoba memosisikan diri setenang mungkin, dan mencoba untuk menceritakan apa yang aku rasakan saat mimpi-mimpi itu datang.

"Mimpi itu datang tepat jam dua malam, kadang lewat enam menit atau bisa sepuluh menit. Dalam mimpi itu, saya seperti kembali ke ruang jenazah tempat Papa saya berbaring. Dia kehilangan nyawa karena tertembak di bagian kepala dengan dua kali tembakan kaliber berukuran besar. Kepalanya hancur, dan saya bisa melihat otaknya. Matanya pun keluar, saya seperti melihat hantu dan juga darahnya terlalu anyir." Aku mendelik tajam. Herannya Pak Bram terlihat biasa saja saat tatapan kami bertemu. "Bapak bisa bayangin kan penderitaan saya setiap kali saya tidur dan bangun karena mimpi buruk?"

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang