"Al ... sstt ... nomor tuu ... juh ..." Awan menyundul, bersembunyi di balik badanku, dia berbisik tapi terbata, Jeremi mendelik tajam, dia terganggu dengan desisan wakil ketuanya itu. Aku menyengir, melirik aktivitas Pak Hendra selaku pengawas ujian tengah semester.
"Bentar." Aku segera menyalin seluruh kunci jawaban pilihan ganda di atas sobekan tisu, lantas menyerahkan lembar kecil ini untuk manusia bising yang sejak awal ujian berusaha menggangguku. Jeremi berdecak, sepertinya setelah kelas selesai akan ada pertempuran antara Jeremi dan Awan di ruang osis.
Setelah semua kunci jawaban lengkap, aku bangkit dan mengumpulkan kertas ujian di depan meja pengawas. Pak Hendra meneliti bulatan dalam lembar LJK, mungkin Pak Hendra mencari kesalahan dalam pembulatan jawaban. Dia mengerling dari balik kacamatanya yang mulai turun karena hidung bangirnya. "Kamu ngerjain soal Bahasa Jerman enggak ada empat puluh lima menit, lho. Apa di Jayapura juga ada bahasa asing?" tanyanya.
Aku mengangguk, memberi senyum terbaik untuk lelaki paruh baya ini. "Iya, Pak. Kebetulan di sekolah lama saya mata pelajaran peminatan ada dua, Bahasa Perancis dan Jerman, dan saya pilih Jerman," kataku.
Pak Hendra belum mengizinkanku beranjak. Padahal aku tidak betah diperhatikan siswa lain yang menaruh pandangan tak enak, mereka pikir aku anak baru tukang cari muka, padahal bukan itu kenyataannya, mereka hanya tidak suka dengan kehadiranku yang berhasil menyingkirkan juara kelas sejak awal masuk kelas sebelas. Bahkan, kabarnya, beberapa siswa kelas 11 MIPA 1 membuat grup kelas tanpa aku, Jeremi, Sukma, Awan, dan Jimmy. Andai aku tahu siapa pencetus blok itu, aku akan menamparnya karena menganggap kami bukan keluarga 11 MIPA 1, pantas saja jika ada info apa pun terkait kabar sekolah grup inti kelas tidak pernah ramai, ternyata mereka pindah grup dan meninggalkan kami berlima.
Aku tidak tahu apakah Pak Hendra mengerti Bahasa Jerman, tapi dari gelagatnya, beliau seperti paham pertanyaan demi pertanyaan dalam lembar soal. "Kamu ikut bimbingan belajar?" Pertanyaan apa lagi ini? Haruskah aku berdiri di sini sampai semua murid selesai mengerjakan ujian?
Aku menggeleng. "Tidak Pak."
"Saya heran kenapa nilai kamu selalu bagus, saya kira guru Jayapura itu memberi nilai menurut kedudukan kamu, nyatanya kamu benar-benar murni mendapatkan nilai dari ulangan harian, dan semua nilai yang terakumulasi menjadi satu," jelasnya.
Oke baik, ucapan Pak Hendra terdengar menyayat hati. Mungkin selama ini guru-guru berpikir, bahwa nilai A plus yang tercetak di raporku aku dapatkan secara mudah karena pangkat Om Anjas yang menjabat sebagai orang penting di Jayapura. Namun bukan itu kenyataannya, aku mudah paham dengan setiap penjelasan yang diajarkan semua guru, seolah penjabaran mereka mengenai rumus, dan segala tetek bengeknya menancap kuat di memori otakku. Aku mudah paham, itu alasanku. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukan keluarga. TIDAK ADA! Sabar Alka, tahan. Aku tidak mau emosi. Entah seperti apa wujud rok pramukaku, pakaian itu sudah kuremas sejak tadi.
Akhirnya aku menyengir tanpa manampakkan kemarahan. "Saya boleh keluar, Pak?" tanyaku. Jijik juga ditatap beberapa murid cowok di belakang sana.
Pak Hendra mengangguk. "Ya, silakan. Langsung pulang saja." Jumat ini adalah hari terakhir ujian tengah semester ganjil. Setelah cukup diributkan dengan pembelajaran yang cukup menguras tenaga, aku rasa, aku butuh tidur di hari Sabtu dan Minggu.
"He, kok cepet, se?" Sukma menangkap pergelangan tanganku, kegaduhannya berhasil membuat Pak Hendra berdeham menegur Sukma. Untung saja Pak Hendra mengawas ujian Bahasa Jerman, kalau tidak, bisa mampus bila lelaki beruban itu mengawas mata pelajaran yang dia ajar.
Aku menjulurkan lidah mengejeknya. "Aku tunggu di kantin," bisikku. "Kita makan es campur, bill on me."
Aku mengemasi papan ujian, dan kembali ke meja pengawas untuk mengambil ponsel dan meletakkan alat tulis kembali ke dalam dus. Setiap ujian, sekolah ini menerapkan aturan ketat, diantaranya: tidak boleh membawa tas, tempat pensil, dan jika membawa ponsel harap dikumpulkan ke pengawas, alat ujian seperti papan dada, penggaris, penghapus, dan lain-lain akan disediakan pihak sekolah, dan wajib dikembalikan. Jadinya, aku hanya memakai seragam, membawa dompet kecil, dan mengantongi ponsel dalam kemeja atau saku rok. Ini yang aku sukai, tidak perlu ribet seperti jam pelajaran biasa yang mengharuskan membawa banyak refrensi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Terbit]
Teen FictionYoung Adult (14-21+) Diterbitkan oleh AnikaPublisher Blurb: Biantara, entah apa yang terpikir dalam benak. Dia yang kutemui tanpa sengaja di koridor sekolah mampu membawaku pada rasa trauma baru. Kepergian Papa membuatku tak bisa beranjak dari dalam...