29. Sentimental

1.2K 96 0
                                    

"Aku enggak izinin kamu ke rumah Damar." Tatapanku mendelik tajam pada sosok yang baru datang dari kamar seberang. Cowok itu duduk di atas kasur, aku dapat melihatnya dari pantulan cermin. Milo naik ke atas pangkuannya, bermanja-manja seolah tahu saja sang empunya tampan. Memang tampan, sih. "Damar enggak balas WA kamu, kenapa masih ngeyel mau pergi juga? Siapa yang mau antar?" Sayangnya aku tidak mau tahu Mahesa sedang malayangkan aksi protes. Tadi siang Om Anjas mengizinkanku memakai mobil Mahesa, dan tepat pukul tujuh malam aku akan bergegas menuju Citraland.

"Aku bakalan pulang sebelum jam sembilan," ucapku santai. Aku tidak memusingkan Mahesa yang kini bersungut mengeluarkan tanduknya. Aku hanya mengenakan tank top berniat menutupi tubuhku lagi dengan kaus v neck, dan jeans hitam yang sudah kupakai sejak keluar dari kamar mandi. "Sekarang Sabtu malam, sekolahku enggak ngadain class meeting setelah UTS, jadinya aku butuh sedikit hiburan dengan cara pergi ke rumah Damar," ucapku acuh tak acuh, membenarkan kalung berbandul pesawat kecil pemberian Damar sebagai wujud perasaannya beberapa minggu lalu.

Mahesa menaikkan alis skeptis. "Haruskah kamu pergi ke rumah Damar malem-malem gini?"

"Haruskah kamu ngelarang aku sama seperti Om Anjas tempo hari? Please, kenapa kamu yang posesif? Om Anjas aja ngizinin, kok." Aku membantahnya. Mahesa sedang mencecarku lewat tatapan serigala itu. "Nanti aku telepon kamu sesampainya di rumah Damar."

"Kalau gitu enggak usah pakai mobilku." Wah ... sentimen sekali. "Pakai Grab aja." Kenapa Mahesa terdengar pelit begini Ya Tuhan. Om Anjas sudah mengurangi kadar posesifnya, kenapa sekarang gantian anaknya yang cemburu gini? Toh, Jazz hitam itu Om Anjas yang beli, bukan Mahesa. Mobil itu juga atas nama Om Anjas, bukan anaknya. Aduhai ... Aku gemas

Aku mengacungkan kunci mobil. "Aku dapat izin Om Anjas. Udah, deh. Aku enggak protes tuh waktu kamu pergi bermalam sama Letta sebulan yang lalu, dan sekarang aku minta kamu jangan protes ketika aku mau kencan sama Damar." Dia pikir aku tidak tahu? Bermodal bohong ingin tidur di Dojo Ketintang bisa membuat Mama dan Om Anjas percaya, apalagi aku yang pamitnya mau ngopi di Excelso sampai tengah malam? Mereka percaya karena Damar berhasil mengambil hati kedua orang tuaku, coba saja kalau tidak, Om Anjas akan memasungku dalam rumah ini.

"Damar enggak balas WA kamu." Dia memperingatkanku lagi. Aku mengangkat alis kanan, lantas kenapa?

Kenapa aku nekat pergi ke rumahnya malam ini? Karena sejak pukul tiga pagi, Damar tak kunjung juga mengaktifkan WhatsApp. Aku yakin dia sedang tidak baik-baik saja, dan aku tengah dilanda kecemasan. Parahnya, saat aku menyuruh Mama menelepon Tante Deli, beliau tidak mengangkatnya dan di luar jangkauan. Aku hanya ingin memastikan bahwa Damar baik-baik saja.

"Terus kenapa kalau dia enggak balas chat-ku?" Aku beranjak dari lemari baju menuju ranjang, duduk di samping Mahesa, mengunci pandangan, memberi kode agar dia mengikuti arah tatapanku. "Memang Senin lalu kita ciuman, tapi bukan berarti kita balikan. Aku pergi." Aku mencium pipi kanannya, meninggalkan bekas lipstik di atas lesung pipi indah itu. Tak hanya itu, Mahesa hanya mampu memeluk wangi tubuhku saat aku membawa raga ini menghilang.

***

Berbekal alamat lengkap yang diberikan Mbak Mita siang tadi, aku membulatkan tekat pergi seorang diri. Awalnya Om Anjas bersikeras ingin mengantarku kemari, tapi aku menolaknya, aku butuh waktu bersama Damar. Rasanya buih-buih pertanyaanku tak kuasa tertahan di pangkal lidah ketika mobil melaju melintasi deretan patung di jalanan masuk Citraland. Perumahan mewah dengan desain memukau membuatku memelankan laju, mengamati keindahan bangunan kompleks mewah ini. Baru kali ini aku berhasil membawa mobil seorang diri dengan bantuan Google Maps.

Rumah yang berdiri megah di belakang tulisan Green Hill membuatku menginjak pedal rem. Nomor 02. Aku tidak melihat tanda kehidupan di halaman rumah Damar. Garasi tertutup rapat, lampu teras pun tidak dinyalakan sang pemilik. Sebenarnya benar tidak alamatnya?

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang