11 . Berkeping-keping

1.6K 140 3
                                    

"Sekarang enggak ada lagi alasan kamu nolak tawaranku."

"Tawaran apa?"

"Nganterin kamu pulang."

Aku berdiri di depan pintu gerbang, memegang helm usang milik satpam sekolah yang aku pinjam. Entah sudah ada berapa kali aku tersenyum lebar seperti sekarang, yang aku tahu sejak Damar bertanya kenapa aku menangis sore tadi.

Sekarang pukul 19.30 memang agak telat sampai rumah, itu karena Damar mengajakku makan di angkringan yang menjual beberapa makanan seperti ampela, dan daging ayam lainnya. Setibanya di angkringan tadi, Damar hanya bilang bahwa kesedihanku belum sepenuhnya hilang, dan dia tidak mau aku menangis dalam keadaan perut kosong setibanya di rumah.

Aku masih berdiri dalam tatapan hening di depan gerbang rumah, aku harap bertemu dengan Damar adalah suatu kejadian normal yang membuatku betah berada di Surabaya selain mendapatkan dua teman yang paham akan kondisiku, aku harap kehadiran Damar mampu mengembalikan diriku yang hilang, terdengar bucin, ya? Tapi memang itu kenyataannya, karena kehadiran Damar hari ini, cukup menjelaskan bahwa aku mulai menyukainya, dan aku tidak perlu mengelak saat Sukma dan Jeremi mengejekku karena tempo hari aku berkilah.

Damar yang masih setia duduk di atas motor hitamnya tidak mau mengalihkan pandangan ke arah lain. Seolah dia terpaku melihat wajahku yang berantakan dan rambut yang amburadul. Baiklah, tingkat percaya diriku naik. Tapi apa salahnya percaya diri di hadapan cowok blasteran ini?

"Kalau kamu lihatin aku terus, yang ada Mahesa makin cemburu, sekarang masuk ke rumah, aku mau pulang," katanya sembari menyalakan mesin motor. Deru kendaraan hitam gagah itu mulai terdengar nyaring di telinga. Postur tubuh tinggi, jaket hitam yang mengilap, dan badan yang terbentuk sempurna, pasti semua orang menyangka bahwa Damar adalah mahasiswa, nyatanya dia adalah seorang siswa kelas dua belas yang terjebak dalam tubuh kekar. Memang, keturunan mempengaruhi penampilan.

Aku menyengir malu-malu. "Aku mau lihat Kak Damar pulang dulu, baru aku masuk ke dalam."

"Enggak bisa, kamu masuk dulu ke rumah, baru aku pulang."

Aku tertawa. "Oke." Aku berbalik untuk membuka gerbang.

"Alka," panggilnya. "Jangan lupa bawa helm ke sekolah, siapa tahu kamu mau pulang bareng aku lagi. Dan satu lagi, kalau nanti malam kamu mimpi buruk, kamu chat aku saja. Jangan sedih sendirian."

Aku mengangguk. "Take care ya, Kak."

"Always."

Damar masih berada di luar sana, sedangkan aku mulai melangkahkan kaki ke dalam teras rumah. Saat aku benar-benar menghilang dari hadapan Damar, sayup kudengar suara kendaraan beratnya mulai menjauh. Dapat kupastikan bahwa Mama dan Om Anjas belum pulang, karena tadi pagi, Om Anjas mengantarku menggunakan Jazz hitam milik Mahesa, dan dalam perjalanan ke Sidoarjo, Om Anjas sempat bilang bahwa akan menjemput Mama untuk menghadiri acara pernikahan salah satu anak dari teman kantornya di Madura.

Aku pikir mereka tidak benar-benar marah karena mungkin mereka sudah bosan akan sifat keras kepalaku yang tiap hari makin menjadi. Dan aku berspekulasi, bahwa mereka memberondongku lewat chat karena Mahesa mengadu pada Mama dan Om Anjas karena aku pulang malam lagi.

"Siapa yang ngantar kamu pulang?" Belum sempat mengucapkan salam Mahesa sudah menodongku dengan pertanyaan ketusnya. "Sama cowok baru?"

Aku mengerutkan kening, kenapa nadanya seperti tidak suka gitu? Apa salahnya aku pulang dengan orang lain? Apakah aku melanggar ketentuan yang diam-diam dia buat? Aku tersenyum miring saat mendapati ekspresi Mahesa semakin datar.

Dengan santai aku duduk di sofa, melepas pantofel hitamku, dan menguncir rambutku semakin tinggi. Seolah tak memedulikan Mahesa yang duduk di seberang sana, aku meletakkan buku-buku yang aku bawa ke atas meja ruang tamu.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang