7 . Selamat Malam

1.9K 147 3
                                    

Kondisi buruk Papa membangunkanku. Beberapa jam yang lalu aku tertidur di atas meja belajar. Mimpiku terasa nyata. Aku seperti dibawa kembali pada situasi kamar mayat yang dipenuhi bau anyir, serta kondisi Papa Adit yang mengenaskan. Aku ingat bagaimana rupa kepala Papa yang menyisakan serpihan otak. Lantas, melihatnya bangun dan membuatku terjatuh di atas ubin kamar jenazah. Itu semua terlalu mengerikan. Papa seperti mayat hidup yang duduk di atas kasur jenazah, bersimbah darah dalam bentuk kepala yang nyaris tidak kukenali. Adegan terakhir, aku diperlihatkan dengan kehadiran Om Anjas yang merangkulku dari belakang. Mimpi selalu saja random, tapi di jam-jam seperti inilah aku sering terbangun karena mimpi buruk itu.

Benar kata Jeremi. Rasa traumaku sudah menjadi bentuk depresi. Aku seperti orang gila yang dihantui oleh jasad terakhir Papa. Walaupun aku mencintai Papa melebihi rasa tulusku pada Mahesa, tapi diganggu dengan mimpi seperti ini bisa saja membuatku semakin cepat gila. Jam tidurku buruk, selera makanku turun, dan aku lebih sering merenung setibanya pulang sekolah. Turun ke lantai bawah hanya untuk mandi dan buang air kecil, selebihnya aku mengurung diri di kamar, menyibukkan diri dengan tugas tambahan Pak Hendra dan Bu Tika. Lantas menjadi gila membaca.

Aku menoleh, mendapati pigura foto yang masih pada tempatnya. Sore tadi aku mencak-mencak pada Mama, menyuruh tukang kebun datang kemari dan melepas foto itu. Foto keluarga bersama Om Anjas tak pernah kuinginkan. Sejak kapan dia sok menjadi pengganti Papa? Sejak kematian Papa itu? Bersama Mahesa memang masuk ke dalam daftar hidupku, tapi tidak dengan Om Anjas yang ternyata penuh dengan maskulinitasnya. Apaan? Aku tidak perlu diatur oleh laki-laki manapun, termasuk orang tua itu.

Daripada terdiam, aku beranjak dan melepas pigura yang terpasang di atas akuarium. Tanganku sangat berhati-hati untuk meraih pengaitnya. Lagi pula apa motivasi Mama meletakkan gambar menyebalkan ini di kamar? Seperti menandai aku bahwa aku sudah menjadi anak sah Om Anjas saja.

Setelah berhasil terlepas dari paku, perlahan aku turun, membuka pintu lantas berjalan membawa pigura besar ini menuju lantai bawah untuk kuletakkan di sisi tangga. Suasana terlampau sepi. Tidak mungkin juga Mahesa bangun jam segini, dia pasti masih pulas bersama keletihannya. Aku mampir ke dapur, meneguk air putih dan mencari makanan ringan di kulkas. Ada susu cokelat milik Mahesa, dan beberapa roti tawar. Aku mengambilnya, membawa makanan itu ke ruang keluarga dan menyantapnya bersama keheningan yang ada.

Pandanganku tertuju pada pintu kamar cokelat yang masih tertutup—tepatnya pintu kamar Mama dan Om Anjas. Tumben sekali mereka tidak memarahiku karena membeli 14 novel dan barang tidak berguna tadi? Mereka hanya diam dan bertanya kenapa pulang malam. Seperti biasa, aku menjawab dengan intonasi datar dan tak mau peduli saat mereka menghantamku dengan omelan. Lagi pula aku sudah kebal. Mau mereka nyerocos sampai mulut berbusa pun aku tidak peduli. Namun, sepertinya mereka terlalu sabar menghadapi kepala batuku. Mangkanya mereka tidak banyak memberi bom atom lagi.

Merasa kenyang, aku kembali ke dapur, meletakkan roti ke dalam kulkas, dan membuang kotak susu cokelat. Terakhir aku ke kamar mandi, menggosok gigiku, dan naik ke lantai dua. Selalu saja seperti ini. Sekarang masih pukul 02.30, dan mimpi-mimpi itu kerap kali membangunkanku di jam rawan.

Aku duduk di atas ranjang. Rupanya meja belajar itu melatih otot-otot kaku leherku. Bagaimana tidak? Tertidur saat belajar adalah kebiasaan baruku. Atau aku bisa saja tidur di atas sofa santai yang terletak di balkon kamar sembari memeluk novel. Dapat kupastikan bahwa sebentar lagi aku bisa saja kembali tidur dan bangun kesiangan.

Aku menoleh untuk memperhatikan ikan arwana yang berenang ke sana-kemari. Kenapa juga Mahesa memasang akuarium itu di kamarku? Setiap saat melihat ikan itu, aku merasa hewan itu mengejekku. Lebih bagus jika Mahesa membelikan kucing, aku bisa mengajaknya bermain, memeluk tubuh berbulu lebat itu di saat aku terbangun tengah malam seperti ini. Lha, hewan yang ia berikan adalah ikan, mana bisa aku memeluk badannya?

Aku meraih ponsel di atas meja belajar, setelah mendapatkan benda pipih berwarna gold itu, aku berbaring. Kasurku masih belum terjamah sejak pulang sekolah karena aku lebih betah duduk berjam-jam di atas karpet berbulu atau sofa hitam yang sengaja kuletakkan di balkon kamar. Hal pertama yang kudapati saat menyalakan layar ponsel adalah bubble chat yang memenuhi layar notifikasi. Sepertinya Jeremi menambahkanku ke dalam grup baru yaitu Panitia Sukses HUT SMAS Antartika 2018. Dalam grup itu, Jeremi kembali follow up roundown yang sudah disusun Jimmy, baik terkait pelaksanaan lomba, dan giliran ekstrakulikuler seni menampilkan bakatnya saat pentas nanti. Ada juga format jadwal cabang olahraga bertanding, dan juga nama-nama peserta yang sudah kujadikan dalam satu folder siang tadi—setibanya dari kantin bersama Jeremi.

Setelah membaca grup panitia, jariku menggulir layar ponsel ke bawah. Ada beberapa nomor baru yang menghubungiku melalui pesan WhatsApp. Aku tidak berniat membalasnya, tapi tunggu dulu, ada satu chat yang menarik perhatianku. Aku tidak berniat membuka pesannya, yang ada aku mengetuk foto profil yang dipakai dari sang pengirim pesan itu.

Apa aku tidak salah lihat? Ini Damar kan? Dia memakai baju karate. Kurasa foto ini diambil oleh seseorang fotografer hebat. Dalam foto tersebut, ia seperti mengikuti turnamen. Memakai alat pelindung diri lengkap, dan tampak sangar saat dia dipotret tepat pada satu gaya yang menarik—menampilkan sejenis kuda-kuda dalam ilmu bela dirinya. Ternyata dia berada pada tingkat yang sama seperti Mahesa yaitu sabuk cokelat strip tiga, yang artinya sebentar lagi mereka akan menjalani kenaikan ujian sabuk dari cokelat menjadi sabuk hitam strip satu. Tunggu dulu, kenapa juga Damar menghubungiku lewat WhatsApp? Dapat dari mana pula nomorku?

+6285240180099: Adeknya Mahesa? (21.36)

Alka A. Balaprhadana: Yup, kenapa? (02.40)

Masa bodoh aku membalas chat malam begini, dan masa bodoh pula dengan statusnya yang menjadi kakak kelasku. Kenapa juga dia bertanya seperti itu? Aku meletakkan ponsel di sebelah telinga kanan, menatap langit-langit kamar yang masih menyala. Aku tidak akan pernah bisa tidur dalam kondisi kamar yang gelap. Sejak kematian Papa, aku juga takut dengan kegelapan karena tiap kali berhadapan dengan ruangan gelap dan dingin, penciumanku otomatis mencium bau anyir walaupun tidak ada darah di sekelilingku. Aku jadi bingung, bagaimana menyembuhkan rasa trauma ini? Mungkin aku akan menyuruh Jeremi mengatur jadwal konsul dengan psikolog yang ia kenal. Karena aku adalah penduduk baru di Surabaya, dan selama di Jayapura pun aku jarang melihat orang gila jalan memenuhi sudut kota. Bisa dibilang, selama tinggal di sini aku kenal banyak hal, apa yang tidak kudapatkan di Jayapura, dengan gamblang aku pelajari di sini.

Aku menoleh saat ponselku bergetar, getaran itu membuatku tersadar atas monolog yang mampir di kepalaku. Aku menyalakan layar, membaca nomor baru yang sudah aku ketahui siapa pemiliknya. Kupikir Damar sudah tidur, nyatanya dia masih bangun dan membalas chat dariku.

+6285240180099: Dia lawanku, dan aku iseng lihat profil picture kamu di grup panitia HUT SMA. Nice to see you both. (02.44)

Alka A. Balaprhadana: Oh (02.44)

+6285240180099: Belum tidur? (02.45)

Alka A. Balaprhadana: Belum. (02.45)

+6285240180099: Insomnia? (02.45)

Alka A. Balaprhadana: Iya. Kak Damar sendiri? (02.45)

+6285240180099: Still learning. (02.46)

Alka A. Balaprhadana: Jam dua masih belajar? Belajar apaan? (02.46)

+6285240180099: Send a new photo (02.46)

+62 852-4018-0099: Fisika. Btw, save nomorku ya. Good night. (02.46)

Aku tersenyum saat jariku kembali mengetuk foto profil Damar. Selamat malam juga Damar, sampai bertemu nanti.

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang