38 . Putus Asa

1K 93 0
                                    

Damario A. Biantara: Jadi sudah ketemu Letta? Dia tiba-tiba memutuskan perjanjian. (20.00)

Damario A. Biantara: Kamu ngomong apa saja sama dia? Jujur, aku enggak suka lihat cewek nangis. (20.01)

Damario A. Biantara: Alka, balas! Jangan cuma diread aja! (20.01)

Alka A. Balaprhadana: Kalau mau marah-marah mending besok aja. Gak etis marah-marah lewat WA. Bagus deh, kalau cewek kamu ngadu. Lain kali ajari dia sopan santun. Aku gak akan marah kalau dia enggak nyulut emosi duluan. (20.05)

Alka A. Balaprhadana: Sabtu besok, jam tujuh malam, aku tunggu. Buktiin kalau kamu masih Damar-ku yang dulu. (20.05)

Kali ini aku terpaksa membalas pesan Damar. Dia tidak suka melihat perempuan menangis, tapi dia sudah membuatku menangis. Oh ... aku tahu, mungkin maksudnya dia tidak mau melihat Letta meneteskan air mata karena ucapanku tadi sore. Bahkan, untuk hal kecil seperti itu Letta masih cari muka. Dia yang menyulut emosiku, kan? Sudah sepantasnya aku berkata seperti itu, sesuai fakta, bahwa dia memang cewek kardus. Otak sempit selangkangan lebar.

"Kenapa mukanya cemberut gitu?" Mahesa merampas ponselku. Dia merebahkan diri di sisi kiriku. Diikuti Milo—kucing kesayangannya yang kini naik ke atas ranjang. Bahkan, aku ingin melempar kucing itu dari lantai dua, itu karena Milo adalah hadiah dari Damar.

Mahesa membaca chat dari Damar. Dia berdecak dengan alis yang bertemu. "Kamu enggak pernah balas WA dari dia, segitu bencinya kamu sama dia?"

Banyak sekali WhatsApp dari Damar yang aku abaikan. Bukan karena sengaja, tapi aku tidak tahu harus menjawab apa. Kalau dia tidak memberitahu bahwa Letta ngambek, dan memutus perjanjian dengannya, sudah pasti aku tidak akan membalas chat-nya yang selalu saja bertanya tentang kabarku. Aku tidak suka basa-basi, lagi pula sepertinya Damar tahu, kabarku tidak pernah baik semenjak putus dengannya. Dia hanya ingin memastikan bahwa aku sama seperti dulu—ketika merasa tidak baik-baik saja aku mencari Damar dan bersandar padanya—yang tentu saja tidak akan kulakukan lagi karena aku punya Mama, Om Anjas, dan Mahesa yang paham keadaanku melebihi Damar yang ternyata hanya angin lalu.

Aku menumpu kepala dengan dua tangan. "Andai saja dia enggak ngelakuin hal ini ke aku, Hes. Aku enggak akan sebenci ini sama dia." Aku berbalik, tengkurap, dan berbaring santai, menggoyangkan kaki dan menatap Mahesa dengan jarak sedekat mungkin. "Dulu, aku yang enggak respect sama kamu, tapi sekarang, aku semakin enggak respect sama Damar. Dia orang yang berkoar-koar mau jauhin Letta. Tapi kenyataannya apa? Dia beli tubuh Letta dengan alasan mau bantu kehidupan Letta. Aku cuma enggak habis pikir aja, ternyata kebaikan Damar berujung pada perasaan juga, kan?"

Mahesa mengembuskan napas. Pelik sekali masalah ini.Kisah remaja yang seharusnya dibumbui roman picisan ala anak SMA, malah berakhir memilukan. Terjebak dalam dunia fatamorgana penuh kemewahan yang tak pernah sejalan dengan pikirannku. "Kira-kira gimana reaksi Papa besok kalau ketemu Damar?" Mahesa menatapku. Wajahnya pias. Matanya memelotot memikirkan masalah antara Damar dan Letta.

Memang bukan kami yang melakukan hubungan itu, tapi Mahesa juga tahu bagaimana dilemanya menjadi Damar. Kalau memang benar Damar tidak mencintai Letta, setidaknya tidak usah bersikap jauh seperti itu.

Aku mengedik. "Aku enggak tahu, tapi aku enggak akan ikut temui Damar. Rasanya udah muak banget. Kamu baca sendiri kan, kalau dia enggak terima Letta mutusin perjanjian gitu aja? Emang bener ya Letta punya adik yang hamil di luar nikah?"

Mahesa mengangguk. "Iya bener. Dia tinggal berdua sama adiknya di kostan elit daerah Gubeng. Aku bilang elit, kan? Karena apa pun situasinya, dia harus mendapatkan kemewahan. Dan adiknya hamil di usia sama seperti kamu, tujuh belas tahun. Mereka berdua kerjanya sama. Bibit unggul, body bagus, yah ... udah pasti mereka disukai sama bos-bos. Jadi perempuan malam harus kuat mental. Kalau enggak hamil ya ditemukan dalam keadaan mati. Tahu sendiri, kan, Papa sering dapat laporan kalau ada perempuan muda mati dengan kondisi mengenaskan? Setelah ditelusuri, ternyata pembunuhnya adalah pelanggan cewek itu. Kerja dalam dunia seperti itu harus siap mental, kadang kita enggak bisa main hakim sendiri nyalahin perempuan-perempuan malam seperti itu."

BIANTARA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang