Aku terbangun saat ponselku bergetar hebat. Benda berwarna gold itu bergetar beberapa kali. Aku masih mengumpulkan nyawa, mengerjap beberapa kali di atas kasur empuk kamarku. Ternyata aku tidur hanya sebentar, setelah semalam insomnia memakan waktu tidurku hingga pukul 5 pagi, aku bangun tepat pukul 8 pagi. Dengan situasi kamar yang masih terang, dan cahaya matahari yang mengintip dari sela-sela gorden.
Pelan, tangan kurusku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas bantal. Aku tidak tahu bagaimana pola tidurku, tapi pagi ini badanku terasa ringan karena semalam aku berusaha menahan diri agar tidak menyakiti tubuhku sendiri. Semalam sama seperti sore kemarin, aku menangis, bahkan sedikit meraung, entah Mahesa mendengar tangisanku atau tidak, yang jelas aku membiarkan tubuhku lunglai di atas ranjang tanpa mengharap belas kasihan dari semua orang yang ada di rumah ini. Akhirnya, aku tertidur dalam keadaan letih yang terus menghantam dadaku.
Pagi ini, aku mendapati ponselku yang penuh akan pemberitahuan dari Damar. Sejak semalam, setelah mendengar langsung pengakuan dari Mahesa, aku memutuskan untuk tidak membalas pesan Damar. Aku terlalu malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan kecil darinya, karena menurutku, Damar hanya menjadikanku sebagai pelarian saat dia merasa kalah tanding dengan Mahesa—yang kebetulan aku sedang rapuh dan cukup untuk dijadikan sasaran empuk pelampiasannya. Aku tidak siap jatuh cinta dengan orang yang salah, walaupun aku tahu, salah memilih seseorang bisa aku jadikan pelajaran tambahan. Namun sepertinya, aku masih enggan membiarkan diriku terluka lagi.
Aku beringsut, suara ibu-ibu kompleks menarik perhatianku. Pelan, aku menoleh, menatap balkon kamar. Aku beranjak untuk memperhatikan kegaduhan di bawah sana, dari balkon yang diselubungi kaca bening dapat kusaksikan mereka berbicara dengan suara toa, seperti burung yang membawa kabar gosip dari berbagai penjuru kompleks. Sesekali mereka menggoda tukang sayur agar bisa mendapatkan harga daging ayam murah, aku tersenyum, mudah sekali hidup mereka, seolah kebahagiaan itu didapat dengan cara sederhana.
Bisa aku katakan, Om Anjas cukup cerdas mendesain kamarku. Dengan pagar balkon berbahan railing kaca cukup membuatku merasa damai menikmati keindahan sore yang tampak menawan. Ubin balkon pun didesain senatural mungkin mengikuti warna kayu pohon cemara yang tumbuh tinggi di sisi kiri. Sedangkan di dalam kamar tertata rapi berbagai rak buku minimalis di setiap sudut tembok. Meja belajar juga aku pilih mengikuti aliran estetik yang ada, itulah kenapa aku betah berdiam diri di kamar selama berjam-jam.
Percaya atau tidak, walaupun aku belum bisa beradaptasi dengan perubahan struktur keluarga, jauh dari dalam lubuk hati, aku menghormati Om Anjas sebagai orang kepercayaan Papa untuk menjagaku. Aku sedikit merasa bersalah ketika melempar serangkaian perlawanan atas sifat keras kepalaku, aku sadar Mama dan Om Anjas membatasi pergaulanku demi kebaikan diriku sendiri, karena kembali lagi pada stigma lama sepasang orang tua, bahwa tinggal di kota sebesar ini harus pandai menjaga diri. Aku tahu tujuan antara diriku dan Om Anjas terkesan paradoks, Om Anjas hanya ingin melindungiku dari segala macam kemungkinan buruk yang pasti terjadi di kota besar jika aku tidak pandai memilih teman, tapi di sisi lain, aku bisa menjaga diriku sendiri dari pergaulan bebas kota Surabaya. Intinya, aku dan dia sama-sama ingin seorang Alka lebih berhati-hati dalam segala hal. Aku hanya perlu membuktikannya.
"Alka?" Terdengar suara Mama memanggilku dari arah luar pintu kamar. Tak hanya memanggil, tapi dia juga mengetuk pintu cokelat itu dengan ketukan yang ramah di telinga. "Mama boleh masuk?" Mimpi apa aku semalam? Pagi ini Mama terdengar berbeda dari biasanya, Mama yang gemar nyelonong masuk kini berkata pelan meminta izin dariku.
"Masuk aja, Ma," teriakku dari arah balkon. Mataku menyipit, mendapati Mama membawa beberapa makanan dengan label mewah. Satu piza berukuran sedang, jus buah, dan satu kotak McDonald's. Tumben sekali Mama membawakan makanan sebanyak ini ke kamarku?
KAMU SEDANG MEMBACA
BIANTARA [Terbit]
Teen FictionYoung Adult (14-21+) Diterbitkan oleh AnikaPublisher Blurb: Biantara, entah apa yang terpikir dalam benak. Dia yang kutemui tanpa sengaja di koridor sekolah mampu membawaku pada rasa trauma baru. Kepergian Papa membuatku tak bisa beranjak dari dalam...