Bab 6. Ayah Yang Kaku

4.5K 177 1
                                    

Hubunganku dengan ayah serupa hubungan sebatang pohon dengan pohon lainnya di sebuah ladang. Kami tak saling bicara. Seolah kebetulan saja berada di tempat yang sama dan hidup bersama-sama. Semenjak aku kecil, ia selalu sibuk bekerja dan pulang malam.  Aku lebih dekat dengan ibu, sehingga sampai berumur dua puluh delapan tahun masih tetap kaku saat berbincang-bincang dengan ayah kandungku sendiri, baik di telepon maupun saat berhadap-hadapan.

Ayahku tidak jahat, tapi tak bisa juga disebut kelewat baik.  Bila ia membicarakan sesuatu, ia menyampaikannya pada ibu.  Tidak kepadaku langsung.  Sehingga ibulah yang selalu menuntun dan mengajariku segala sesuatu. Aku tahu ayah menyayangiku, hanya saja aku tidak bisa merasakannya. Sikap kakunya itu membuatnya terasa jauh sekali seolah-olah berada di seberang, di tempat lain yang berbeda dengan tempatku berdiri.

Aku sering melihat ayah pulang kerja. Badannya yang tegap melewati pintu. Langkah kakinya seperti seorang polisi yang siap melaksanakan tugas. Saat itu aku membayangkan adegan seperti di film-film di mana seorang anak berlari untuk menyambut ayahnya atau sebaliknya, ayah berlari ke arah anaknya.  Tetapi adegan itu tak pernah terjadi walau sekali. Aku ingin melakukannya namun selalu urung. Aku menunggu ayah menghampiriku, namun tak pernah sama sekali.  Ia lebih memilih menghampiri ibu. Bila ia tak setuju dengan sikapku, ia katakan hal tersebut pada ibu.  Bila ia ingin memberiku sesuatu, ia menitipkannya pada ibu.  Dari situ aku yakin bahwa ayah memang menyayangiku, hanya saja ia tak punya banyak waktu.

Pernah suatu hari ketika aku duduk di bangku SMP, aku menyukai seorang bapak-bapak. Usiaku sekitar 12tahun waktu itu. Kami sholat bersisian dalam satu barisan. Setelah selesai sholat, kami sholat sunah sendiri-sendiri.  Saat itulah, selesai sholat sunnah, ketika aku menurunkan tangan, secara tak sengaja tanganku menimpa tangan bapak itu. Bapak itu diam saja. Aku merasakan hangatnya tubuh manusia untuk pertama kali. Aku menatap bagian kiri wajahnya yang tengah mengobrol dan terlihat tak terganggu dengan kehadiran tanganku di atas tangannya. Perlahan-lahan aku menggenggamnya seperti meluahkan rindu akan sentuhan manusia.  Ia membalas genggamanku. Menyadari hal itu aku segera melepasnya dan berniat pergi. Aku takut terlena dan tertimpa sesuatu yang buruk.

Ketika hendak beranjak, tiba-tiba saja ia menegurku,

"sudah ya de sholatnya? "

Dengan wajah memerah menahan malu kujawab,

"sudah, Pak," aku tersenyum.  Ia balik tersenyum. Langsung saja aku bergegas meninggalkan masjid demi menjaga degup jantungku yang kian tak beraturan.

Sesampainya di rumah aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Kucium bekas tangan bapak itu di tanganku.  Harum.  Bau parfum. Aroma itu membuat libidoku naik.  Terbayang wajahnya yang kokoh itu tersenyum.  Rambutnya yang putih semua menampakan kesan mature dan pengayom sejati. Kugosokan tangan bekas tertimpa tangan bapak itu ke seluruh wajah sambil membayangkan ia tengah menyentuhku. Kutempelkan tanganku itu ke pipi, ke hidung, ke pelipis, dahi, dan leher. Kusentuh tubuhku sendiri dengan pelan dan penuh gairah. Lambat laun sentuhan itu menuju perut dan sela paha. Aku masturbasi sambil membayangkan wajah bapak-bapak itu tengah tersenyum. Hangat kulitnya yang tertinggal di tanganku terasa bagai baju yang menempel dan tak bisa dilepas.  Selamanya ada di sana dan bisa kurasakan.

Esoknya, aku jadi sering kagok saat berpapasan dengan laki-laki yang lebih tua, termasuk ayahku sendiri. Aku merasa malu dan tidak berano menatap mukanya.  Bukan karena jatuh cinta pada ayah sendiri, hanya saja bayangan laki-laki tua di masjid itu seolah ada di mana-mana, hadir bersama wujud bapak-bapak mana saja yang perawakannya menyerupai.  Dan kebetulan ayahku punya perawakan yang sama persis. Badannya agak gempal tapi tidak sampai meleberkan lemak baik di pundak, pinggang, maupun perut sehingga saat mengenakan kemeja atau kaos ketat ia kelihatan sangat gagah karena semua sudutnya terisi dengan sangat pas.

Tetapi sayangnya aku tak lagi menjumpai bapak-bapak itu di masjid. Kerap kali aku menoleh ke arah tempat ia sholat dulu dan sedang ditempati oleh orang lain.  Hatiku mendadak terasa sedih. Aku merasa kesepian karena kepergian. Aku belum tahu siapa namanya.  Aku belum tahu apa-apa mengenainya. Ingin kutanyakan perihal bapak-bapak itu ke jemaat lain, namun enggan.  Pastilah mereka akan merasa aneh bila aku menanyakannya. Maka kisah cintaku pada bapak-bapak itu hanya sampai di sana. Aku merasa cerita itu belum usai, namun terpaksa harus berakhir. Kupendam semua rasa kehilangan dan keinginan yang macam-macam itu di dalam benakku. Aku sadar, mungkin Tuhanlah yang telah mencegah semuanya agar tidak terjadi. Aku pun hanya bisa pasrah.

Sejak saat itu, aku kerap menjenguk wajah orang-orang yang berlalu lalang dan berharap bertemu dengan wajah bapak-bapak itu di antara mereka. Namun sia-sia, aku tak pernah menemukannya walau sekali. Aku bahkan telah lupa rupanya seperti apa.  Yang kuingat hanyalah aura yang menguar dari pergerakan tubuhnya seolah ingin melindungiku.  Hangat dan tenang, membuat hatiku menjadi nyaman. Tetapi di sisi lain, ketika aku mengingat hal itu, perasaan sedih juga muncul dan sangat nyata menyayat-nyayat. Aku merasa sendirian sekali.

"Lagi mikirin apa? " wajah Faustin menyembul dari kanan pundakku.

" Ah, enggak, " aku menghidu bau kopi dan melirik ke tangannya yang tengah menggenggam mug menguap.

"Tenang, aku bikin dua kok," ia menjentikkan jari dan tiba-tiba saja secangkir kopi muncul di hadapanku.

"Memang mahluk ghaib minum kopi ya? "

" Bwahaha, " ia terkekeh memperlihatkan deretan giginya yang putih di antara jambangnya yang tipis.

"Kata kaummu, kopi kan lambang maskulinitas,"

"Rasa ga kenal jenis kelamin kali, "

" Hahaha, baiklah, baiklah.  Aku setuju itu, apapun kesukaan manusia tidak terkait dengan jenis kelaminnya. "

"Eh, ngomong-ngomong kerjaanmu apa sih?"

Mendadak Faustin terlihat grogi.  Ia terdiam.  Tawanya menjadi rapat dan tubuhnya membatu. Aku melihat sebutir keringat meleleh di pelipisnya.   Dari gelagatnya, ia seperti tak ingin menjawab pertanyaanku.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang