Bab 11. Support

2.2K 128 25
                                    

Aku mondar-mandir di lantai atas dengan ujung handphone kutempelkan di dagu. Baru saja aku menerima pesan dari Ferdinan yang mengabarkan bahwa hari ini dia pulang. Jantungku dag-dig-dug tak keruan. Pasalnya aku belum memberi tahu Faustin mengenai hal ini. Aku takut iblis merah itu kecewa kepadaku. Dia tahu betul aku masih sangat berharap kepada Ferdinan. Satu-satunya kawan manusia yang tetap bersamaku sampai saat ini walau hanya melalui chat.

Faustin sendiri sudah tak pernah membahas lagi kejadian tempo hari. Ia membuang jauh-jauh tema Ferdinan dari hadapanku seolah tak tahu apa-apa mengenai hal itu. Aku tidak tahu apakah Faustin sudah menebak kepulangan Ferdinan atau belum. Tetapi di dasar hatiku pun tidak ingin kehilangan. Aku ingin Faustin tetap berada di sisiku.

"Kak, sebentar lagi pesawatku landing, "tutur Ferdinan melalui chat.

Aku menjenguk kiri-kanan. Faustin bilang sedang ada kerjaan jadi dia tidak di rumah. Tetapi apakah aku boleh menemui Ferdinan atau tidak, aku tidak tahu. Aku sangat gelisah. Kendati demikian aku juga tak berani terbuka pada kekasih iblisku itu. Aku memejamkan mata sembari menghitung keraguan yang mampir di dada.

Pergi

Tidak

Pergi

Tidak

Pergi

Tidak

Tetapi aku sudah berjanji kepada Ferdinan untuk menjemputnya. Aku segera membongkar lemari dan mengubek-ubek baju yang akan kukenakan. Langsung saja kuganti baju secepatnya dan membuka pintu. Saat pintu kamar terbuka muncul asap berwarna merah muda yang mengepul. Mula-mula serupa kepulan asap rokok, lambat laun berubah menjadi sebuah tulisan.

"Jemputlah dia. Aku baik-baik saja dengan hal itu. Cintaku untukmu.

Faustin. "

Demikian bunyi tulisan yang terbentuk dari asap itu. Air mataku meleleh perlahan menuju ekor mata. Kuseka dengan cepat sembari menyunggingkan senyum.

Aku sayang padamu, Faustin. Bisikku kepada angin berharap ia menerbangkan kata-kata itu ke telinga sang iblis merah.

***

Ferdinan berjalan sambil menyeret kopernya di depan bandara. Ia berjalan sendirian. Tubuhnya yang tegap berbalut jaket persib berwarna biru. Jaket pemberianku. Tampak sangat pas dengan perawakannya yang maskulin. Jambangnya tercukur rapih dan matanya hangat begitu menemu wajahku di sisi tempat penjemputan.

"Hai, kak?" ia segera menghampiriku lantas mencium tanganku dengan takzim seperti kepada seorang kakak sejati. Momen itu membuatku merasakan sentuhan lembut pipinya yang berbulu dengan sangat syahdu.
Aku menikmatinya seolah tak ingin melepasnya.

"Sendirian?" tanyaku.

"Iyo, kak. Ayah dag pulang, jadi aku pulang dewek, "

Aku ber-oh. Lantas kami mengobrolkan banuak hal termasuk budaya Malaysia dan beberapa kejadian yang terjadi di negeri ini selama ia merantau. Ia duduk di kursi depan bersamaku. Kami bersisian seperti sepasang kekasih. Sesekali aku mencuri pandamg saat ia bercerita. Aku menatapnya seakan tak permah menemui manusia seperti dia. Bagiku, memang Ferdinan manusia yang sempurna itu.

Karena tak fokus menyetir mataku lolos ketika seorang pria tua hendak menyebrang. Aku mengerem mendadak tetapi terlambat. Pria tua itu tertabrak dan terjungkal lumayan jauh. Refleks aku langsung ke luar dari mobil dan menghampirinya untuk menolong.

"Bapak, bapak tidak apa-apa? Maaf kalau saya.. "

Mataku terbelalak begitu mengenali wajah pria tua itu. Pria tua misterius yang tempo hari memperingatiku malam-malam di tengah jalan. Pria tua itu memeluk tubuhku seperti meminta untuk dibantu berdiri. Ia sengaja menempelkan kepalanya ke telingaku untuk berbisik.

"Rohmu adalah makanan berikutnya. Iblis merah itu. Berhati-hatilah.. "

Refleks kudorong tubuh pria tua itu hingga terjungkal kembali. Terbayang wajah Faustin dalam ingatanku berkelebat. Jantungku berdegup kencang dan kuat. Seluruh bulu halus di tubuhku meremang. Ketakutan menguasaiku dan mencemgkeram leherku.

Pria tua itu tampak menyeringai lalu berdiri dan pergi.

"Kak? Kak, kau dag apo-apo? " Ferdinan memapahku untuk berdiri.

Aku terdiam seribu kata. Mataku lolos menatap aspal yang hitam. Kalimat pria tua itu terus terngiang di kepala.

"Kenapo tadi kak?"

"Tidak apo-apo, " aku mengedarkan pandangan berusaha mencari pria tua itu. Dia sudah tidak ada. Entah pergi ke mana.

"Aku be yang nyetir e, kalau kakak masih shock,"

"Tidak usah, "

" Sudah dag papo kak, " Ferdinan memaksa. Ia memapahku kembali ke dalam mobil.

" Kenapa tadi wong tuo itu kak? Marah-marah apo? "

Mendadak aku tak bergairah untuk menjawab pertanyaan Ferdinan. Aku tak bergairah untuk melakukan apa-apa.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang