Bab. 8 Sebuah Peringatan

3.3K 168 4
                                    

Aku mundur beberapa jengkal dari pria tua misterius itu. Matanya masih menyorotkan kesan ghaib yang menakutkan. Sejurus kemudian kukumpulkan keberanianku lantas lari sekencang-kencangnya. Saat kakiku berlari, aku masih merasakan sorot mata bapak misterius itu menempel di punggungku bak pisau yang tertancap kuat. Aku ketakutan. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa yang bapak itu katakan, hanya saja aku merasa sesuatu yang gawat bakal terjadi.

Sesampainya di rumah aku mengunci pintu rapat-rapat dan mengintip ke luar. Tidak ada. Bapak misterius itu tidak mengikutiku lagi. Tetapi aku heran dengan tingkahnya. Apa maksudnya aku harus hati-hati?

Hati-hati terhadap apa?

"Dor! "

Tubuhku terlonjak karena kaget. Aku mendapati Faustin terkekeh di sampingku sambil mengelus hidungnya yang mancung dan merah.

"Kenapa ketakutan gitu?"

Aku mengelus tengkukku yang terasa dingin.

"Enggak, enggak apa-apa, "

Sejujurnya aku ingin langsung bercerita mengenai bapak misterius yang tadi kujumpai itu kepada Faustin. Tetapi hatiku terasa tidak enak sehingga lebih baik kuurungkan.

"Kata orang,.." tutur Faustin menundukkan wajahnya menatap pinggulku.

"Kopi itu membantu menaikan produksi kadar testosteron, "lanjutnya.

"Terus?"

"Sekarang testosteronku naik, "

"Tapi kamu 'kan bukan orang?" aku memutar bola mata. Faustin membalik badanku dan melucuti kaos yang kukenakan. Aku pasrah.
Mataku terpana pada lipatan ketiaknya yang perkasa. Dia punya otot bisep dan trisep yang lumayan besar. Seandainya saja dia manusia, pasti dia sudah menjadi bintang iklan produk-produk perawatan pria.

Aku dan Faustin berpagutan. Bibir ketemu bibir. Lidah ketemu lidah. Ingin sekali kulumat dia sepenuhnya, memasukannya ke dalam tubuhku agar tidak pergi. Faustin menyentuh betisku dan mengangkatku ke gendongannya.

"Eh, "

"Kenapa? Kamu gak suka,"

"Aku merasa seperti perempuan kalau kau beginikan."

Faustin menghentikan langkahnya. Dia berniat menurunkanku.

"Tapi,selama kau yang melakukannya tidak apa-apa, "

Dia tersenyum dan mencium bibirku. Bibirnya menelusup ke celah bibirku, semakin lama semakin dalam. Lidahnya menjelajahi setiap rongga di dalam mulutnya. Liur Faustin tidak beraroma. Tetapi aku merasakan aroma gagah perkasa tengah memasuki langit-langit di mulutku sampai ke tenggorokan. Kami terus berciuman sambil Faustin membawaku ke kamar. Bisa kurasakan milik Faustin tegang menempel ke bagian belakang celanaku. Terasa hangat dan nyaman.

Faustin menjatuhkanku dia atas kasur. Dia melepaskan celanaku dan juga celana dalam yang kukenakan. Tangannya mengelus paha sampai pusar sementara bibirnya mengecup setiap inci tubuhku.

Kuraba bulu-bulu halus di dada Faustin. Bulu-bulu itu terasa menggelitik ke dalam jiwa. Kusentuh putingnya yang indah berwarna merah dan kumain-mainkan. Faustin menyelipkan tangannya ke punggungku sehingga kepalaku tepat berada di dadanya. Kujilat putingnya yang menonjol kecil. Kujilat permukaan dadanya yang bidang nan lebar. Kukitari seluruh permukaan itu dengan lidahku. Kusedot, kutiup, kukecup, seolah selurug tubuh Faustin muat di dalam mulutku. Seluruh tubuhku hanya ada merah dan merah. Warna Faustin telah merasuk tubuhku dengan sempurna.

Kulingkarkan kakiku ke pinggulnya yang pejal. Pedang Faustin menyusuri lekuk selangkanganku. Hangat sekali. Kenyal dan kuat. Dia memasukiku pelan dan tidak sakit. Aku mendesah dan terus mendesah. Menikmati penyatuan raga kami. Dengan gaya melayang, Faustin menyangga punggungku. Lengannya yang cukup kuat meremas bagian belakang kepalaku dan mendorongnya. Kami berciuman. Bibit dengan bibir. Penis dengan anus. Dalam sekali seperti menyelami semesta atau alam pikiran. Seks yang mengejewantahkan segala fantasi dan imajinasi manusia akan surga. Aku merasakannya saat ini. Hanya bersama Faustin.

Semoga selamanya.

***

Kami melakukan anal seks dua kali dengan gaya flip-flop. Pertama Faustin yang menusukku, lalu aku menusuk Faustin. Sensasinya luar biasa. Memasuki tubuh Faustin terasa seperti memasuki seluruh ilmu pengetahuan di bumi, seperti menjajal semua rasa yang ada pada semua masakan di dunia, seperti mengunjungi seluruh tempat-tempat indah di segala penjuru. Milikku yang tegang seolah ingin terus menembus kian dalam dan merasakan sensasi setiap lekukan gua garba yang misterius dan penuh kejutan.

Pantat Faustin empuk kuremas. Dada Faustin kenyal kutekan. Wajahnya menjadi kian tampan saat dia menerima serangan. Semu merah pada kulit merah wajahnya membuatnya tambah menarik. Garis jambangnya yang tercetak rapih membuatnya tampak sangat gagah dan matang.

Tiba-tiba di tengah permainan kulit Faustin berkeriyut seperti pasir yang tertiup angin. Permukaannya seperti hendak berubah menjadi sesuatu yang lain. Aku melanjutkan seranganku sambil terus mengawasi pori-pori kulit Faustin yang membuka
dan menutup. Mataku terbelalak ketika tiba-tiba saja wajah Faustin berubah menjadi seseorang yang aku kenali.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang