Bab 7. Bapak Tua Misterius

3.5K 161 5
                                    

Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel tak jauh dari tempat Faustin berdiri. Faustin membentuk tangannya menyerupai tanduk rusa lantas menempelkannya ke telinga seolah olah ia tengah menelpon atau ia memang sedang menelpon.

"Iya, Halo?"

Aku memperhatikannya dengan serius barangkali Faustin sedang bercanda. Tetapi mimik wajahnya tak mengesankan hal tersebut.

"Ah, sedang ngopi. Di mana? Area 58? Iya, sebentar lagi aku ke sana."

Faustin menurunkan tangannya seperti sehabis menelpon. Ia menatapku lekat sekali tanpa berkata-kata. Sejurus kemudian ia menggembungkan pipinya sembari mencubit kedua pipiku dengan kedua tangannya.

"Apaan sih," aku menyingkirkan tangannya.

Ia terbahak renyah sekali.

"Kamu cute sekali saat sedang memperhatikanku,"

Aku menjulurkan lidah kepadanya. Kendati demikian kurasakan wajahku bersemu merah karena malu.

"Aku pergi dulu ya," ia melenggang. Ekornya bergerak gerak membentuk Love. Pada jarak lima jengkal ia menoleh dan mengecup udara. Kukecup ia balik melalui udara juga. Ia pun menghilang melewati pintu.

Aku senyum-senyum sendiri mengingat semua tingkahnya. Namun mendadak aku sadar, Faustin belum menjawab apa sebetulnya pekerjaannya.

***

Pukul sepuluh malam. Pekerjaanku baru saja selesai. Setelah merevisi logo pesanan salah satu perusahaan dari India, aku segera mengirimnya melalui email. Cukup melelahkan seharian berkutat dengan kursor dan palet palet warna demi menciptakan simbol yang merepresentasikan keinginan client.

Faustin belum juga pulang. Aku melongok ke luar jendela. Jalanan sudah sangat sepi. Rumah-rumah menutup pintu dan jendela. Tak ada seorang pun manusia yang berlalu lalang. Mendadak bibirku terasa masam. Kujenguk bungkus rokok dekat mouse. Kosong. Rupannya aku sudah menghabiskan semuanya selagi merancang logo barusan.

Aku pun bergegas ke luar untuk mencari warung yang masih buka untuk membeli rokok. Kukenakan jaketku karena udara di luar sangat dingin. Angin sepoi-sepoi menyapa dedaunan yang terjatuh dari pohonnya. Dua rumah, tiga rumah terlewati demi mencapai warung di ujung gang. Lampu merkuri di sisi jalan membentuk bayang-bayang memanjang. Aku terus berjalan.

Berjalan sendirian seperti ini di tengah sunyi membuatku sedikit was-was. Akhirnya tampak juga warung yang kutuju.

"Ai belum tidur apo jam mak ini?" sapa Wak Iman penjaga warung itu.

"Belum Wak," jawabku. Tanpa sengaja aku mengintip ke balik sweaternya tanpa kaos. Dada Wak Iman ternyata berbulu. Hal itu membuatku sedikit kaku.

"Wak Beli rokok,"

"Iyo rokok apo?"

Aku pun menunjuk bungkus segiempat berwarna merah di etalase. Wak Iman mengambilkannya untukku.

Wak Iman adalah laki-laki berumur empat puluh tahunan. Perawakannya gemuk dan tampak seperti buah pir dengan bagian perut dan pahanya yang besar. Kendati demikian, ia punya hair line yang bagus di kepalanya. Garis rambutnya tercetak rapih dari kepala sampai jambang yang memanjang setengah pipi. Sebagai bapak-bapak ia lumayan tampan meski mengalami sedikit kebotakan di bagian atas kepalanya.

"Jangan pulang dulu ai, minum ramai-ramai payok,"

Aku menatap bapak-bapak lain di teras toko. Di hadapan mereka tampak gelas-gelas besar dan botol-botol berwarna hijau tua yang bening.

"Ah, enggak Wa, masih ado gawe aku nih,"

"Wah, gawi apo lagi malam-malam mak ini?"

"Gawi anak Wak," kelakarku. Mereka pun terbahak.

"Dem, ai nak balek Wak,"

"Yo, ati-ati bae, Nang,"

Aku pun meninggalkan mereka yang masih asyik minum-minum. Sejujurnya aku paling pantang meminum alkohol. Aku tak tahu efeknya pada tubuh manusia. Aku takut jika aku minum alkohol nanti, aku tak bisa mengontrol ucapanku dan membeberkan semua rahasia. Aku tidak siap jika hal itu terjadi.

Aku berjalan menyusuri jalanan malam yang lengang. Samar-samar aku melihat sesosok tubuh tengah berjalan ke arahku. Dari gesture tubuhnya terlihat ia orang tua. Langkahnya berat dan agak terseok-seok. Ia menatap ke arahku. Aku mencoba berpura-pura tak melihatnya dan menatap ke tempat lain. Begitu ia sampai di hadapanku, ia berhenti sehingga aku menerapkan sikap waspada. Aku ikut berhenti dan seolah tersihir oleh tatapan matanya. Ia menatapku lekat sekali dengan raut wajah serius.

"Hati-hati!" tuturnya dengan suara serak.

"Apo, Wak?" tanyaku sedikit tak paham dengan ucapannya.

"Hati-hati!"tuturnya sekali lagi dengan mata melotot. Mendadak seluruh tubuhku terasa merinding dan ingin lari.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang