Sewaktu kecil aku takjub pada sosok Imothep dalam film The Mummy. Sosok berkepala plontos dengan badan ideal berkulit kuning langsat itu telah menghipnotisku dalam-dalam. Aku selalu kepikiran setiap kali habis menonton filmnya. Aku bahkan berkhayal kalau-kalau suatu saat bisa bertemu Imothep di dunia nyata dan berhubungan badan dengannya. Aku ingin membelai pipi serta memegang lengannya yang kuning kecoklatan itu.
Imothep sendiri berwujud mummy dengan daging cecel kekeringan dari kaki sampai kepala. Ia harus memakan jiwa manusia terlebih dahulu untuk mengembalikan raganya yang telah membusuk agar bisa kembali seperti semula. Tetapi saat aku kecil, aku sama sekali tidak takut kepadanya. Aku malah mimpi basah ketemu Imothep. Di dalam mimpiku itu wujud Imothep sudah setengah sempurna. Wajahnya yang tampan kearab-araban telah kembali. Kendati demikian mulutnya masih berbentuk daging cecel kekeringan karena jiwa yang ia makan belum cukup untuk memulihkan seluruh raganya.
Di dalam mimpiku itu aku menjadi pelayan setianya dan berjalan bersama. Aku menemaninya mencari korban untuk memulihkan tubuhnya yang rusak. Sesekali ketika kami berjalan, Imothep dengan bagian mulut yang membusuk dan kering itu menciumku. Aku tidak merasa jijik maupun takut, namun justru terangsang dan membuatku semakin cinta kepadanya. Cintaku kepada Imothep telah buta. Tak peduli jiwa-jiwa manusia termakan hanya untuk memenuhi ambisi si mummy.
Bila kupikir-pikir kembali, khayalan masa kecilku itu agak kelewatan dan tidak masuk akal. Bila Imothep mengisap jiwamu, maka kamu akan mati dan tak punya lagi waktu di dunia. Kamu akan pergi entah ke mana.
Surga?
Atau
Neraka?
Tidak ada yang tahu hukum meninggal sebagai korban mummy. Tetapi yang jelas manusia selalu tak siap dengan kematian. Entah itu mati secara wajar maupun tak wajar, kita tak tahu apa yang terjadi setelah mati. Apa yang kita hadapi setelah roh kita keluar dari raga. Tak seorang pun mengetahuinya. Hal tersebutlah yang membuat kita ketakutan.
Aku menatap ke luar jendela. Pohon-pohon berderet berkejaran ke belakang dengan cepat. Perkataan pria tua itu terus terulang di dalam pikiranku.
"Rohmu adalah makanan berikutnya. Iblis merah itu. Berhati-hatilah. "
Aku membuang pandangan jauh ke langit. Semua hari yang telah kulalui bersama Faustin tampak sebiru langit yang cerah. Begitu indah dan tak ingin kulewatkan. Aku telah terikat dengannya. Aku telah merasa sayang kepadanya. Rasa sayang yang dalam. Semua perlakuan baik Faustin dan caranya menyemangatiku begitu lekat dalam ingatan. Betulkah ia sejahat yang dikatakan pria tua itu?
Betulkah Faustin suka memakan jiwa manusia?Aku menyeka air mata yang menggantung di ekor kelopak. Perih sekali rasanya hatiku saat ini. Aku merasa terkhianati walau semua itu belum terbukti.
"Kak, sudah sampai, "usik Ferdinan. Ia tersenyum kepadaku. Senyumnya seperti senyum maklum yang menganggap wajar kesedihanku. Ia segera keluar dan membongkar kopernya dari dalam bagasi.
"Kak, aku ke tanjung dewekan bae e?"
"Lhoh, kenapa? "tanyaku sadar telah mengacuhkannya sepanjang perjalanan tadi.
"Caknyo kakak lagi dag enak hati,"
Aku tertohok. Aku sibuk sendiri memikirkan Faustin sedari tadi. Aku lupa bahwa hari ini pertama kalinya aku bertemu Ferdinan setelah sekian lama. Aku mengembuskan napas berat. Seharusnya aku bisa menghargai keberadaanya.
"Janganlah, menginap saja dulu di sini. Gek besok kakak antar kau pulang ke Tanjung e, "
" Aku takut ganggu, "
"Isdah, cak samo wong lain be kau ni," aku merebut kopernya lantas menyeretnya masuk ke dalam. Ferdinan mengikuti di belakangku.
"Kopi, Teh, Susu? "
"Banyu bening belah kak,"
"Hehehe, masih cak dulu e murah nian jamuan kau kalu bertamu, "
Ferdinan terkekeh kemudian ia memerhatikan sekeliling. Mungkin ia mengira-ngira, apa yang berubah dari rumah ini. Seharusnya ia mengenali segala ornamen interior dan eksteriornya. Sebab aku tak pernah mengubah apapun dari rumah ini.
Aku sibuk di dapur untuk menyiapkan camilan dan kopi untuk Ferdinan. Sesekali pikiranku mencelos dan membuatku melakukan kegiatan tanpa kesadaran. Tahu-tahu aku kelewatan menuang air ke teko sampai meluber dan tumpah. Tahu-tahu aku menyentuh teko panas di atas tungku kompor gas yang menyala dan membuat jariku melepuh. Tahu-tahu aku kepikiran hubunganku dengan Faustin dan merasa sedih sendiri. Aku meremas bekas terbakar di jariku bagai meremas kenyataan yang terombang ambing tak jelas. Kuharap Faustin tidak sejahat yang dibicarakan pria tua misterius itu. Karena aku akan sedih dan kecewa bila ternyata Faustin betul-betul Iblis yang suka memakan jiwa dan mendekatiku hanya karena ingin memakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faustian Date
Romance[UPDATE SETIAP MALAM MINGGU] Cerita tentang manusia yang berhubungan seks dengan Iblis tampan. WARNING : 1. Cerita mengandung adegan seks secara eksplisit. Bagi yang kurang suka mohon diskip saja. 2. Cerita mengandung tema LGBT, jadi bagi homoph...