Bab 10. Kepulangan Ferdinan

2.6K 137 1
                                    

"Kak, tanggal 28 September aku nak balek. Cak mano kalok kito ketemu?"

Demikian pesan Ferdinan yang mampir ke inboxku.  Tentu saja aku menggunakan facebook normal untuk terhubung dengan Ferdinan. Dia tidak tahu bila aku punya facebook yang lain untuk mengeluarkan keluh-kesahku dalam menjalani kehidupan abnormal.

Pesan tersebut kubalas dengan penuh sukacita. Aku tak bisa membayangkan perasaan seperti apa yang akan timbul begitu mataku menangkap wajah Ferdinan yang bulat di hadapanku. Tiba-tiba aku merasa malu sendiri. Kugenggam dadaku yang mengerut dan berdebar. Aku merasakan kehadiran Ferdinan telah demikian dekat. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Faustin sedang tidak ada di rumah. Ia seperti biasanya, sedang menunaikan tugas sebagai utusan Tuhan. Entah tugas macam apa, namun ikatanku dengannya mulai terasa seperti sebuah kewaspadaan. Setelah kejadian kemarin, aku takut Faustin cemburu. Di sisi lain, aku telah menerima Faustin ke dalam hidupku sebagai kekasih. Tetapi aku juga menginginkan kedekatan dengan Ferdinan kendati mungkin hanya sebagai teman.

Kuawasi kalender yang menempel di tembok.  Tanggal 28 tinggal satu minggu lagi. Aku jadi bersemangat dan ingin segera menyelesaikan semua pekerjaanku agar bisa bersantai ria saat dia datang.

Kunyalakan komputer dan membuka Beberapa berkas yang belum tuntas.  Segera saja kubuka satu dan berusaha mengerjakan gambar vektor dari salah satu klienku.

Bayangan Ferdinan menyambutku terasa begitu jelas di depan mata.

***

Dua pria itu menggelinjang di atas kasur. Tubuhnya yang perkasa saling bergelut melingkarkan kaki dan berebut dominasi. Yang satu menarik tubuh yang lainnya dan menahan tangannya. Ia mengambil tali di sisi tempat tidur lalu menarik dua tangan lawannya ke atas sehingga ketiaknya terbuka. Wajah sang lawan memerah dan mengeram. Ia berhasil diikat ke ujung tempat tidur.  Dadanya menonjol dengan puting menggemaskan dan bulu-bulu meremang siap diterkan. Si penindih mulai melakukan aksinya. Ia meraba-raba dada lawannya lalu mendekatkan kepala. Dikecupnya dua dada bidang itu dengan sangat agresif hingga suara air ludah terdengar menggairahkan meninggalkan jejak cupang merah. Dada yang merekah tanpa perlawanan. Sang lawan diam saja menerima itu semua sambil melemparkan desahnya ke samping. Si penindih mulai merayap dari dada ke leher lalu ke jambang dan telinga. Disesapnya wajah lawan mainnya itu dengan penuh gairah. Kaki sang lawan menghentak-hentak berpura-pura menolak.

Semakin lama permainan jadi semakin buas.  Sang penindih meluncur ke bawah dengan pelan. Kedua tangannya menelisik kulit si lawan dengan lembut kembali ke dada dan perut yang merah dengan garis empuk. Tak lama kemudian dilepasnya celana dalam lawan mainnya itu dengan cepat sebelum ia menggenggam biji peler sang lawan. Ia menggenggamnya dengan gemas sekali lalu menyedotnya. Ia menyedotnya kuat sekali sampai lawan mendesah sambil mengumpat beberapa kali.

Biji peler yang bulat dan menguat dengan sebuah pedang penis lancip ke atas. Ia menelusuri batang itu dengan lidah dan mulutnya. Liur menggantung dan terjatuh berkali-kali. Ia sedot dan sedot lagi dengan penuh kenikmatan. Menyusuri batang penis lama-lama sampai akhirnya menuju ke kepala plontos dengan celah kecil pada ujungnya. Seperti laras senjata. Ia siap ditembak dengan moncong itu. Moncong yang menggoda dan penuh nafsu. Ia sedot ujungnua seakan hendak menarik seluruh isi cairan di sana ke dalam mulutnya. Penuhilah. Penuhilah mulut itu dengan daging merah dan kulit yang hangat merekah.

Ia pun melepas celananya satu persatu sebelum menumpukkan diripada sosok yang tengkurap tak berdaya itu. Ia gesek-gesekan penis dengan penis. Dada dengan dada hingga napas mereka beradu di udara. Mulutnya menerjang mulut yang lain. Ia menggigit bibir dengan sangat nikmat sembari merasakan kenyalnya dada menempel di dadanya. Perkasa. Menyatu dalam rasa dan tak terpisahkan.

"Kau mau kopi? " tanya Faustin menginterupsi kegiatanku menonton bokep.

" Gak, "jawabku.

"Kenapa ga langsung praktek saja,"  celetuk Faustin.

"Emang kamu mau diikat? "

" Boleh, " jawabnya.

Aku menatap sepasang mata Faustin yang bulat. Mendadak ia mengangkat kedua tangannya ke atas meninggalkan sepasang ketiak yang menganga menggoda. Dan sepasang dadanya telah siap diterkam. Aku langsung menubruknya ke tembok. Ia tak bisa lari. Aku membelesakkan kepalaku ke dadanya yang empuk dan mulai menelusuri dada serta lehernya yang kokoh. Kukecup, kujilat, dan kusedot ia seakan tak pernah melakukan hal itu sebelumnya.

Memang betul, menonton video porno dapat membuat persetubuhan menjadi hangat kembali.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang