Aku dan Ferdinan mengobrol sampai larut malam. Kami mengobrolkan berbagai macam hal. Di tengah obrolan itu kadang aku menoleh ke arah pintu seperti mengharapkan kedatangan Faustin. Tetapi sampai langit menjadi gelap dan bintang-gemintang berkilauan, Faustin tak kunjung pulang. Aku tak bisa merasakan keberadaannya di sekitar sini selama berjam-jam. Ini adalah kepergian Faustin yang paling lama ketimbang hari-hari sebelumnya.
Aku jadi berpikiran macam-macam, mungkin Faustin menghindari hari ini karena ia tahu aku sedang bersama Ferdinan. Mungkin Faustin sedang sibuk menunaikan tugasnya, entah apa. Mungkin Faustin betul-betul pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Aku belum siap dengan hal itu. Aku ingin berpisah secara baik-baik dengan Faustin. Jika bisa aku ingin memeluk tubuhnya sebelum ia benar-benar meninggalkanku. Entah mengapa mendadak perasaanku begitu melankolis dan merinding seakan tengah berlari dalam rintik hujan yang tak henti-henti mengguyur tubuh.
Ferdinan membopong bekas jamuannya ke dapur. Tubuhnya yang tegap berbalut kaos stretch berwarna abu membuatnya tampak perkasa. Entah berapa kali kesadaranku mencelos ketika Ferdinan tengah bercerita. Beruntung Ferdinan tidak tersinggung dan memghentikan obrolannya. Sepertinya ia peka dan hafal bahwa ada sesuatu yang tengah mengusik pikiranku.
Ferdinan tidur di kamar bawah. Aku tidur di kamar atas. Tidak pernah aku mengalami hari sebimbang ini sampai-sampai aku mengacuhkan Ferdinan hampir seharian. Padahal bila kuingat-ingat kembali kehadiran Ferdinan sesungguhnya telah kutunggu-tunggu sejak lama. Tetapi kondisi pikiranku memang sedang tak sehat. Sampai-sampai ketika aku terlelap, aku bermimpi sangat buruk. Di dalam mimpiku itu aku berjalan bersama Faustin di jalan sekojo di bawah cahaya lampu merkuri yang temaram. Jalanan sedang sepi tanpa seorang pun manusia berlalu-lalang. Udara juga sangat dingin dan sepi menyeok kaki. Tiba-tiba saja pada satu titik perjalanan kami, Faustin berhenti melangkah. Ia diam di tepi demgan wajah tertunduk. Aku menyenggol sikunya dan berusaha menarik perhatiannya. Sia-sia, Faustin tetap bergeming. Iblis merah itu sama sekali tak merespon perlakuanku. Kugoyang-goyang tubuhnya agar ia bergerak, tiba-tiba Faustin mendongak. Wajahnya bukan wajah Faustin melainkan wajah pria tua misterius yang kerap memperingatkanku. Mulutnya ternganga lebar. Lebih lebar dari mulut manusia. Ia berniat menelan kepalaku.
Aku kaget dan terbangun dari mimpi buruk itu seolah olah telah jatuh dari tempat yang tinggi. Jantungku berdetak sangat kencang, napasku tak beraturan, dan keringatku mengalir deras dari pelipis ke dagu. Kuseka keringatku yang meluber ke mana mana. Kusibak gorden untuk melihat langit. Rembulan bulat terang tengah bersinar sendirian di atas sana.
***
Faustin tidak pulang sampai pagi. Ketika aku membantu Ferdinan untuk berkemas-kemas aku merasa sepasang mata menatapku dari salah satu sudut. Tetapi ketika aku menoleh, aku tak menemukan siapa-siapa di belakang sana. Beberapa kali juga aku merasa seperti ada kelebat bayangan lewat, tetapi aku berusaha mengabaikannya. Kubuat diriku sibuk dengan menata bawain Ferdinan untuk mudik ke dalam bagasi.
Sepanjang perjalanan aku dan Ferdinan saling diam. Tak ada yang berani bicara duluan sampai mobil melaju lumayan jauh. Mobil kami melewati ruko-ruko yang berjejer rapi di jalan pahlawan. Anak-anak sekolahan tampak meramaikan trotoar. Pagi yang cerah seharusnya. Hanya saja aku masih kepikiran Faustin.
Sesekali kurasakan Ferdinan menatapku sambil tersenyum kemudian kembali lurus ke depan karena aku tak sempat menanggapi. Aku berusaha menyetir dengan tenang tanpa satu pun gangguan. Sesungguhnya sangat sulit untuk fokus pada apa yang kamu lakukan ketika pikiranmu sedang disesaki oleh satu hal yang sangat penting bagimu.
Faustin?
Di mana kamu?
Apakah kau sengaja mengalah agar hari ini aku bisa bebas bersama Ferdinan?
Aku merasa sedih sekaligus kesepian.
Ketika tengah berpikir begitu, tiba-tiba saja aku merasa tanganku menggenggam sesuatu. Jantungku berdegup kencang begitu tahu itu adalah tangan Ferdian yang menyelip ke tanganku. Aku menepisnya secara refleks.
"Kenapo kak? " tanya Ferdinan. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi genit.
"Idag, idag apo-apo," ujarku buru-buru. Aku membuang wajah untuk menghindari kontak mata dengannya. Aku merasa malu. Ia seolah olah tahu bahwa aku memang telah lama memendam rasa kepadanya. Tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Aku sedang tak bisa berpikir jernih.
Mobil kami mulai memasuki kawasan indralaya. Melesat di antara mobil mobil lain yang berebut jalan. Desa demi desa kami lewati tanpa bicara. Pepohonan di pinggir jalan terdengar bergemerisik karena angin. Tak lama kemudian kami sampai di gang menuju rumah Ferdinan. Tampak anak-anak tengah bermain gundu di tepi jalan. Begitu sampai di depan rumah Ferdinan, tiba tiba saja laki laki itu mengecup pipiku lantas berbisik, "Terimakasih, Kak,"
Momen singkat itu sukses membuatku melongo dan bertanya tanya mengenai makna kecupan tersebut. Sehabis itu Ferdinan menurunkan barang-barang dengan sikap biasa saja seperti tak terjadi apa apa. Hal itu semakin membuatku penasaran.
Aku membantu Ferdinan membopong beberapa bawaannya. Keluarganya tengah menunggu depan pintu. Aku kenal semua keluarga Ferdinan. Adik perempuannya, ibunya, uwaknya. Sampai pada satu titik aku mendapati sosok lain yang bukan anggota keluarga Ferdinan. Sosok perempuan berambut pendek dengan kulit semerah Faustin tengah berdiri di pojok. Matanya menatap tajam tepat ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faustian Date
Любовные романы[UPDATE SETIAP MALAM MINGGU] Cerita tentang manusia yang berhubungan seks dengan Iblis tampan. WARNING : 1. Cerita mengandung adegan seks secara eksplisit. Bagi yang kurang suka mohon diskip saja. 2. Cerita mengandung tema LGBT, jadi bagi homoph...