Bab 9. Dia Tidak Mengerti Aku

2.8K 140 1
                                    

Aku mendorong tubuh Faustin. Kukemasi penisku yang menggelantung dan pergi meninggalkannya.

"Apa aku salah? " tanya Faustin pada angin. Aku tak mau mendengarkannya. Kakiku segera melesat ke balik tembok dan menuruni tangga. Kuputar dispenser untuk menadah segelas air. Tenggorokanku terasa panik ketika menemukan sesuatu yang tidak kusukai. Aku duduk di ruang tamu sembari meneguk air sedikit demi sedikit untik melenyapkan keresahan di dada.

"Kupikir kau akan menyukainya, " pungkas Faustin lirih. Ia tiba-tiba saja berada di sampingku.

Aku terdiam. Bayangan kulit Faustin berkeriyut lantas berubah jadi Ferdinan terasa mengganggu pikiranku.

"Kau tidak tahu apa-apa mengenai Ferdinan maupun perasaanku. Tidak seharusnya kau melewati batas itu. Mengerti!! " tanpa kusadari nada bicaraku meninggi beberapa oktaf.

"Maafkan aku. Aku pikir kau ingin merasakan sensasi bersetubuh dengan pria yang kau cintai,"

"Faustin. Kau bukan manusia, kau tidak akan tahu rasanya menjadi manusia dengan aturan-aturan yang mengikatnya. Dan kau baru saja melewati batas, "

"Kau masih menyimpan foto-fotonya dan selalu membalas pesan darinya. Kupikir kau...

menyukaiku..."

"Aku selalu menyukaimu. Tetapi setelah ini aku rasa tidak." Aku berlari ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Kujatuhkan tubuhku ke kasur lantas kubelesakkan kepalaku ke bantal. Tanpa kusadari air mataku meleleh. Kenyataan bahwa antara aku dan Ferdinan tidak memiliki hubungan apa-apa membuat dadaku terasa nyeri. Dan tingkah Faustin barusan terasa seperti sebuah ejekan yang pahit.

Ekor mataku menangkap Faustin tengah berdiri di belakangku. Ia hendak menjulurkan tangannya untuk mengelus. Tak lama kemudian ia mengurungkannya dan kemudian berlalu menembus tembok.

Baru kali ini aku merasa bagai hidup di dunia tanpa seorang pun teman yang memahami.

***

Jika kau tak pernah menjadi gay. Kau tak akan tahu rasanya dilema dalam mencintai. Gay, sebagaimana manusia lain, terikat aturan-aturan yang sudah paten di tengah-tengah masyarakat. Jangankan untik memiliki pasangan yang kau inginkan, berusaha menjadi laki-laki pun tetap saja mendapat semacam tantangan dari laki-laki lain yang sudah punya feeling bahwa kau tidak normal.

Aku menyesalkan sikap Faustin tempo hari. Aku sangat berharap ia mampu mengimbangi semua keinginanku. Ternyata aku salah. Ia bisa melewati batas-batas yang selalu kujaga selama ini. Antata aku dan Ferdinan hanyalah teman. Kendati aku sangat ingin menjadi kekasihnya, hal tersebut tidak akan tercapai. Dan aku tidak ingin memaksakan kehendak agar Ferdinan menyukaiku dan mau bersamaku. Aku takut kehilangan Ferdinan sebagai teman. Aku tidak ingin Ferdinan mengacuhkanku sekalipun setiap aki mengingat kenyataan tentang hubungan pertemanan ini ternyata sia-sia. Aku hanya berharap pada bayangan kesepian belaka.

"Kau boleh mengutukku, " gumam Faustin. Ia muncul di hadapanku dengan tiba-tiba.

Satu-satunya sosok yang ada di hadapanku hanyalah iblis merah ini. Kurasa aku telah berlebihan menyikapi keisengannya.

"Maafkan aku Faustin,"

"Aku juga minta maaf, " Faustin memelukku. Kubalas pelukannya seperti melepas rindu setelah sekian lama tak bersua. Mataku yang lengas jatuh ke pundaknya. Ia menciumiku tanpa henti sembari terus mengucapkan kata maaf. Aku menikmati tiap kecupan yang jatuh ke leherku. Badannya yang merah merupakan satu-satunya tempat berlabuhku.

Faustin melepas kaosku. Ia melesakkan tubuhku ke tubuhku. Kubalas gelitikan lengannya pada bagian antara ketiak dan dada. Menyentuh Faustin seperti mewujudkan cita-cita paling agung dalam hidupku. Kupegang ketiaknya hingga mendesah. Kusesap bibirnya yang gagah terkuncup itu dan saling berkejaran lidah.

Faustin melepas celanaku dan menarik bokongku lebih maju. Kuangkat selangkanku untuk menerima serangannya. Bersetubuh dengan Faustin tak pernah membosankan. Pedang merah yang gagah masuk dan masuk lagi lebih dalam. Hangat dan kenyal mengeluarkan kerisaukan ke udara. Aku menikmati sensai setiap lekuk yang sampai oleh ujung penisnya. Tulang ekorku terasa geli dan terpenuhi segala hasratnya. Kusentuh puting Faustin dengan jempol sementara empat jari lainnya menggelitikki ketiaknya. Faustin berhasil mencapai G-spot milikku. Aku orgasme kuat sekali. Air mani menanjak oada batang penis yang menegang dan merah. Seirama dengan tusukan Faustin yang kenyal dan tak terbantahkan. Air maniku naik dan semakin naik. Desahanku menanjak dan menanjak hingga akhirnya muncrat satu, dua, tiga, dan empat dalam bentuk kental mengenai bagian perut Faustin yang bergaris kenyal. Aku mencium Faustin seperti melepas seluruh energi yang kumiliki.

Faustian DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang