Alfan Prasetya mendengus pelan sembari menekan emosi di dalam dirinya saat Sang Ayah terus melemparkan tatapan padanya.
"Kamu masih belum berencana buat cari calon istri?"
Lagi-lagi pembahasan itu. Kali ini Alfan menghela nafasnya. Ia merasa bahwa Sang Ayah sudah beratus kali mengucapkan hal semacam itu dan ia bertanya-tanya kenapa Ayahnya itu tidak pernah merasa bosan.
Ia tersenyum kecil ketika Ibunya berusaha menenangkan Sang Ayah. Senyumannya melebar saat Sang Ibu juga melemparkan sebuah senyuman ke arahnya. Tanpa dikatapun, Alfan tahu bahwa Ibunya berada di dalam kubunya.
"Kamu nggak bisa terus mangkir kayak gini, Alfan."
Ayahnya kembali lagi. Sedangkan Alfan tidak berniat sedikitpun untuk menjawab pertanyaan Ayahnya tersebut. Alfan tahu dimana ia harus bersikap. Meladeni Sang Ayah di saat seperti ini bukanlah pilihan yang bagus.
Ayahnya tengah emosi dan Alfan pun merasa capek karena ia memamg baru pulang dari kantor beberapa menit lalu. Bersitegang dengan Sang Ayah di meja makan adalah ide buruk.
Alfan hanya bisa mengangguk dan Sang Ayah menghela nafasnya. Untuk itu, ia kembali tersenyum kecil. Alfan tahu bahwa Ayahnya akan menyerah dan berhenti untuk mengomelinya, hanya untuk saat ini tentu saja.
Maka dari itu ia berpamitan untuk masuk ke dalam kamarnya setelah menyelesaikan makan malam.
Tapi nyatanya, langkah kaki milik Alfan membelok dan berakhir menuju pintu utama. Ia berjalan dan masuk ke dalam Range Rover berwarna hitam kesayangannya; mengendarai mobil itu dan melesat pergi dari pekarangan rumahnya.
Alfan berada di belakang stir mobil dengan pikiran berkecamuk.
Bagian-bagian dari otak kecilnya tidak pernah berpikir untuk mencari pendamping hidup; untuk sekarang. Ia merasa bahwa apa yang ia jalani selama ini, belum mencapai apa yang ia harapkan. Alfan menyadari bahwa dirinya tidak mudah untuk merasa puas dengan semua yang ia dapatkan.
Alfan hanya berpikir bahwa ada waktunya dimana ia harus mencari seseorang yang akan menemaninya hingga akhir tua nanti. Tapi yang jelas; itu bukanlah saat ini. Alfan merasa bahwa ia masih harus melakukan banyak hal. Untuk perusahaan, untuk keluarga dan untuk dirinya sendiri.
Namun sepertinya; Sang Ayah tidak mempunyai pemikiran yang sama.
Ayahnya sering sekali membahas sesuatu tentang pendamping hidup dan momongan dan menurutnya, hal itu adalah hal yang sangat wajar. Alfan berpikir bahwa Ayahnya ingin dirinya segera membina sebuah rumah tangga seperti apa yang dilakukan Kakak perempuannya.
Alfan tahu bahwa Sang Ayah menginginkan segala hal yang terbaik untuknya tapi terkadang Pak Tua itu terdengar lebih mengganggu daripada keponakan satu-satunya yang berumur bahkan belum genap sampai empat tahun.
Satu helaan nafas keluar. Alfan tersentak saat mobilnya tiba-tiba berhenti secara mendadak. Ia bergegas keluar dari mobil kesayangannya itu.
Ini hanya tidak pernah terjadi. Range Rover berwarna hitam miliknya tidak pernah seperti ini sebelumnya jadi Alfan bingung harus melakukan apa. Sebuah helaan nafas kembali keluar saat ia membuka kap mobil dan merasa tidak mengerti akan bagian mana yang rusak.
Ini benar-benar bukan keahliannya. Maka jalan satu-satunya yang Alfan ambil adalah menelpon tukang service untuk menjemput mobilnya. Ia akan mencari taksi.
Dan mencari taksi di tempat seperti ini ternyata tidak semudah itu. Jalanan di sana sangat sepi. Alfan melihat jam tangannya dan waktu bahkan belum menunjukan lebih dari jam sembilan. Ia bertanya-tanya kenapa tempat yang ia singgahi sekarang hanya begitu sepi.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Happens [END]
General FictionWhen Love Series #4 - When Love Happens © sllymcknn Alfan Prasetya adalah seorang CEO terkenal yang namanya sudah terdengar dimana-mana. Hal yang dilakukannya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Hampir tidak ada waktu untuk memikirkan hal lainnya se...