Chapter 4. Alfan

7.2K 945 133
                                    

Alfan hanya tidak pernah merasa sebegini excited-nya ketika akan menghadiri sebuah perjamuan makan malam yang biasa ia lakukan bersama para koleganya.

Dan tentu saja ia tahu alasan mengapa perasaan itu timbul ke permukaan.

Di sana ada Bagas. Bocah itu telah sukses membuat Alfan merasa setidaknya mempunyai minat untuk mengikuti perjamuan makan malam tersebut. Bukan berarti ia tidak mempunyai minat selain pada perjamuan ini. Alfan adalah seorang yang profesional.

Hanya saja, ia tidak memungkiri perasaan lelah saat harus menghadiri acara semacam itu bahkan pada akhir pekan dimana seharusnya ia mendapatkan waktu istirahatnya dengan duduk di sofa kesayangannya untuk membaca buku dan ditemani kopi kesukaannya. Alfan bisa melakukan itu sepanjang hari.

Tapi keinginan kecil itu bahkan terasa sulit untuk direalisasikan.

Alfan tahu benar seberapa banyak dan berat akan tanggung jawab yang harus ia pikul dalam posisinya saat ini. Tapi setidaknya ia merasa sudah melakukan sesuatu yang dirasa pada batas kemampuannya dan ia berharap bahwa itu adalah sesuatu yang terbaik yang mampu ia berikan.

Hanya saja seorang Alfan Prasetya tidak akan berhenti hanya sampai di sini. Katakan saja bahwa ia akan terus mencari agar sesuatu bernama kepuasan itu bisa ia capai.

Namun Alfan menemukan kepuasan itu dalam konteks yang berbeda malam ini.

Bibirnya hampir membentuk sebuah seringai saat melihat sosok mungil di hadapannya seperti tersentak pada detik pertama ia menemukan mata itu. Dan Alfan merasa lebih puas saat sosok itu menunduk, tidak berani balik menatapnya dan ia sama sekali tidak berniat melarikan matanya kemanapun; selain pada sosok itu.

Bagas berdiri dengan amat sangat canggung di hadapannya.

Sosok yang tingginya bahkan tidak mencapai telinganya itu mengenakan celana terasa yang Alfan kira terlalu ketat. Celana yang hampir membuat Alfan merasa terganggu sebelum ia melihat bahwa celana itu terselamatkan dengan paduan jaket jeans dan t-shirt juga sepatu skets putih bersih. Bagas mempunyai selera yang bagus, Alfan mengakui hal itu.

Bukan salahnya jika Alfan tidak bisa mengalihkan pandangannya selain pada sosok di hadapannya. Bagas hanya menunduk sedari tadi dan lama kelamaan, perasaan ingin melenyapkan meja yang memisahkan mereka berdua muncul demi segera meraup sosok itu ke dalam rengkuhannya dan melakukan semua hal yang ingin ia lakukan pada sosok itu.

"Bagas udah kelas berapa sekarang?"

Alfan hanya memakan makan malamnya lamat-lamat. Ia begitu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia tidak berniat untuk masuk dalam obrolan yang dimulai oleh Ayahnya. Alfan lebih tertarik untuk melihat ekspresi yang Bagas tempilkan lewat sudut matanya.

Walau ia merasa sedikit kesal saat Bagas hanya terus menunduk. Tapi kemudian Alfan tidak bisa menahan seringai pada bibirnya saat sosok itu mendongak hanya untuk kembali menunduk setelah bertemu dengan matanya. Jangan lupakan sentakan terkejut pada tubuh Bagas yang hampir membuat Alfan berpikir bahwa ia yang akan membuat sentakan itu pada sosok di hadapannya; dengan cara yang akan mereka berdua sukai, tentu saja.

"Lho, Bagas juga suka pudding stroberi?"

Ketika Bagas menunjukan ekspresi berbinar saat menatap kepada puding tersebut dan mengundang tawa dari dua orang paling tua yang berada di dalam ruangan itu, Alfan menunduk; mencoba fokus untuk menghabiskan makan malamnya.

Perlu pengendalian yang kuat saat ia disuguhi ekspresi seperti itu oleh sosok yang bahkan sama sekali tidak tahu menahu tentang apa yang tengah terjadi. Alfan benar-benar tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan; menuruti egonya dan membiarkan makan malam ini berakhir dengan kekacauan.

When Love Happens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang