Bagas menghela nafas dengan berat.
Ini adalah hari Sabtu dan baru saja ia akan pergi untuk mengerjakan tugas bersama teman-temannya, Sang Ayah menelpon. Beliau meminta tolong padanya untuk mengantarkan dokumen atau apapun itu ke tempat dimana Ayahnya tengah mengadakan pertemuan.
Apa para pebisnis selalu pergi bekerja bahkan di akhir pekan?
Bagas hanya tidak habis pikir. Ia masuk ke dalam kamar Ayahnya sambil mengeluarkan berbagai gerutuan pada setiap langkahnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, Bagas segera pergi menuju alamat yang telah Ayahnya kirimkan padanya.
Bagas hanya akan meminta bantuan pada Bayu jika saja Abangnya tidak mempunyai acara atau apa lah itu yang melibatkan dirinya dengan dosen pembimbing yang Bagas tau bernama Bima. Ia merasa bahwa Bayu hanya semakin dekat dengan dosen itu. Tidak jarang Abangnya sampai menginap di tempat sosok itu.
Bagas hanya membayangkan apakah mungkin nanti jika ia memasuki masa-masa skripsi, akan sesibuk Abangnya? Ia hanya berharap akan mendapatkan dosen pembimbing yang baik. Seperti Pak Bima, misalnya. Bagas melihat sosok itu sebagai sosok yang pintar dan sangat mampu untuk membimbingnya.
Sebuah helaan nafas besar kembali datang dari Bagas.
Ia masih duduk di bangku SMA saat ini dan pemikiran untuk mengalami masa-masa skripsi masih berada jauh sekali di hadapannya. Ia hanya harus fokus dan memikirkan ujiannya yang akan datang. Hanya itu saja. Tapi ada bagian di dalam otak kecil Bagas yang masih memikirkan tentang sosok itu.
Luke.
Ditambah dengan kabar pertunangannya yang sudah semakin dekat.
Ketika memikirkan itu, seperti ada beban berat yang sengaja menempel pada pundak Bagas. Rasanya berat tapi di saat bersamaan, ia tidak mau melepaskan beban tersebut. Menurutnya, semua kenangan yang berhubungan dengan Luke; baik itu senang maupun sedih; yang membuatnya sakit maupun bahagia, hanya harus Bagas simpan baik-baik.
Karena bagaimanapun, Luke adalah seseorang yang sangat Bagas sayangi.
Semua pikiran itu hanya hilang seketika saat tiba-tiba hujan turun dengan amat sangat deras. Bagas sama sekali tidak memprediksi hal ini. Bukankah saat pergi dari rumah tadi, cuaca begitu cerah?
Bagas hanya menggerakan kaki-kaki pendeknya untuk berlari. Tidak lama lagi ia sampai pada tempat tujuan. Dan ketika ia sampai, tubuhnya basah kuyup. Tapi daripada itu, bagaimana seorang bocah SMA dengan penampilan basah kuyup sepertinya bisa mendapatkan akses untuk memasuki sebuah hotel yang kelewat mewah seperti yang ada di hadapannya?
Ayahnya tidak salah memberikan alamat, 'kan?
Bagas berpikir bahwa ia positif tidak akan diizinkan masuk oleh beberapa penjaga yang berdiri di pintu masuk hotel tersebut.
Maka dari itu, ia merogoh ranselnya dan mengeluarkan dokumen yang untungnya selamat dari air hujan. Setelah itu, ia mencari ponselnya untuk menghubungi Sang Ayah.
Bagas merasa bahwa ia tidak bisa masuk dengan penampilan seperti itu, jadi ia memutuskan untuk menghubungi Ayahnya agar menemuinya untuk mengambil dokumen yang ia bawa.
Bagas mengetuk kedua sepatunya secara berkala ketika ia menunggu Sang Ayah. Rasa dingin mulai menjalar pada tubuhnya, sedangkan hujan sepertinya tidak kunjung reda. Bagas yg basah kuyup dan berdiri di depan hotel mewah akan menjadi pemandangan yang sangat kontras. Ia ingin segera pergi dari tempat itu secepatnya.
Ketika ia berusaha meniup-niup tangannya untuk menghalau rasa dingin, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Bagas terpaku pada tempatnya saat ternyata sosok itu seperti tengah menghampirinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Happens [END]
General FictionWhen Love Series #4 - When Love Happens © sllymcknn Alfan Prasetya adalah seorang CEO terkenal yang namanya sudah terdengar dimana-mana. Hal yang dilakukannya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Hampir tidak ada waktu untuk memikirkan hal lainnya se...