Alfan memainkan bolpoin yang berada di tangan kirinya. Sedetik kemudian, tangannya mencoret-coret kertas yang berada di hadapannya. Setelah itu, ia kembali memainkan benda tersebut.
Hal itu terjadi berulang kali sejak satu jam lalu.
Padahal posisinya menjadi seorang CEO jauh lebih sibuk dan apa yang dilakukannya hanya membuang-buang waktu. Alfan menyadari betul akan hal itu.
Tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan dirinya saat pikirannya tidak sejalan dengan tubuhnya. Tubuhnya memang berada di sana tapi pikirannya melayang jauh memikirkan banyak hal.
Alfan tentu saja tahu tentang hal yang membuatnya menjadi seperti ini.
Sejak kejadian dimana Bagas menginap satu malam di apartemennya, Alfan tidak pernah lagi bertatap muka dengan bocah itu. Padahal banyak jalan yang bisa ia tempuh untuk menemui sosok itu. Tapi saat dimana kejadian yang tidak ia duga terjadi, Alfan seakan memikirkan kembali untuk langkah yang akan ia ambil.
Itu bermula saat Alfan datang ke Lullaby di jam makan siang. Kebetulan ia telah selesai makan siang di luar bersama koleganya dan ingin meminum segelas kopi dari coffee shop klasik tersebut. Tapi kemudian pemandangan di sana hanya membuatnya speechless.
Alfan melihat Bagas tengah duduk dekat sekali dengan seseorang yang ia kenal sebagai Luke.
Ia mengetahui cowok bule itu sebagai teman sekaligus partner kerja Bayu dan Alfan tidak pernah melihat interaksi sedekat itu dari Bagas dan Luke. Mereka seperti tengah mendiskusikan sesuatu dan Bagas terlihat sangat menikmati waktunya di sana.
Seketika ingatan Alfan melayang pada hari dimana Luke bertunangan dengan Azura, kakak dari teman Bayu yang lain.
Ia ingat sekali dimana Bagas menatap pasangan itu dengan pandangan yang sama sekali tidak bisa ia artikan dan pandangan itu pernah beberapa kali ia temui selain hari itu.
Walau Alfan menolak sekeras apapun tapi kesimpulan dari semua itu sudah tergambar jelas di dalam otaknya. Bagas menyukai sosok itu, Luke.
Seharusnya Alfan bisa saja merangsek masuk ke dalam dan menegur Bagas seperti ia tidak melihat apapun sebelumnya, tidak bertingkah seperti pecundang dan pergi setelah melihat semua itu tapi dia melakukannya. Dan kemudian ia harus menanggung resikonya sendiri.
Pikiran itu terus mengganggunya bahkan hingga detik ini.
Alfan sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan apa yang dilakukannya. Dan itu sudah berlangsung selama lebih dari dua minggu.
Alfan hanya berpikir bahwa mungkin saja waktu yang telah Bagas lalui bersamanya tidak berarti apapun. Lagipula bocah itu masih sangat muda. Perasaannya masih sangat labil.
"Seharusnya meeting dimulai sepuluh menit yang lalu."
Alfan tersentak. Ia menatap ke arah sumber suara dan terkejut ketika Ayahnya berdiri di ambang pintu ruangannya. Sejak kapan beliau berada di sana?
Dan Alfan melupakan tentang meeting pentingnya. Ia kelabakan sendiri. Setelah berdiri, ia segera memakai jas yang sedari tadi tersampir di kursi kebesarannya.
Lagipula kemana sekretaris dan asistennya? Kenapa mereka tidak mengingatkannya tentang meeting pagi ini?
"Seperti bukan Alfan sekali."
Kegiatan Alfan yang tengah membereskan dokumennya terhenti, ia menatap Ayahnya yang masih berada di ruangannya. "Ini pertama kali Ayah ngelihat kamu kayak gini." Katanya lagi.
Alfan ingin meringis tapi ia merasa tidak ada waktu untuk melakukan hal itu. Jadi setelah semua hal yang ia perlukan untuk meeting pagi ini telah berada di genggamannya, ia segera beranjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Love Happens [END]
General FictionWhen Love Series #4 - When Love Happens © sllymcknn Alfan Prasetya adalah seorang CEO terkenal yang namanya sudah terdengar dimana-mana. Hal yang dilakukannya hanya bekerja, bekerja dan bekerja. Hampir tidak ada waktu untuk memikirkan hal lainnya se...