Tiga hari ke belakang, aku mencoba bersikap seperti biasa di sekolah. Menutupi segala kesedihan atas kejadian malam itu. Aku harap polesan tipis make up yang kupakai hari ini bisa menyembunyikan mataku yang sembap.
Bohong jika aku tak sedih setelah memutuskan Alder. Bahkan, tiga malam ini aku selalu menangis di balik bantal setiap mengingat Alder yang menyetujui permintaanku itu. Kukira dia akan memohon, atau setidaknya meyakinkanku agar tak langsung meminta putus begitu saja, tapi dia menyetujuinya.
Namun, setidaknya sekarang aku tahu, bahwa sudah sejak lama terdapat nama Deva di dalam hati Alder. Dan untuk menggeser namanya saja pun aku tak mampu, apalagi memiliki hati Alder seutuhnya. Kurasa persentasenya hanya 10 dari 90 persen.
Aku sadar, bahwa kita tak bisa memaksakan apa yang tak bisa kita miliki untuk menjadi milik kita. Semuanya sudah punya pemiliknya masing-masing. Mungkin, hati Alder bukan milikku.
Tak ada yang baik-baik saja setelah perpisahan. Bahkan aku selalu menghindar jika tak sengaja bertemu Alder. Entah itu saat lewat di depan kelasnya, di kantin, ataupun di taman belakang sekolah.
Apa itu tindakan pengecut? Terserah orang mau bilang apa. Yang jelas, untuk saat ini, aku akan berusaha untuk melupakan semua tentang Alder. Pelan-pelan. Karena semua hal tak ada yang instan.
***
"Tar, Tar, Tar, liat deh, lusa acara graduation kelas 12 bakal ngadain prom night lho! Wajib dateng, nih, kita!" Kehebohan Sarah langsung mengisi ruangan kelas ketika sudah memasuki jam istirahat.
Memang, seminggu yang lalu sudah diumumkan bahwa akan diadakan prom night untuk merayakan kelulusan kelas 12, dan posternya baru saja ditempelkan tadi pagi di mading. Tertera di sana bahwa acaranya itu lusa. Dan aku tak terlalu minat ke acara seperti itu.
"Lo bakal dateng, kan, Tar, sama Alder?" Hana dan Risma ikut bergabung ketika sebelumnya sibuk menghapus papan tulis yang penuh coretan rumus matematika.
"Pasti, dong! Masa enggak," sahut Risma cepat, yang membuatku merasa bersalah belum menceritakan bagaimana hubunganku dengan Alder saat ini.
Aku hanya tidak ingin terus-terusan menyusahkan mereka dengan masalahku. Aku tak suka jika menjadi beban orang lain. Kadang, untuk beberapa masalah, aku ingin memendamnya sendiri. Tapi, akhirnya aku jujur.
"Enggak, gue nggak akan dateng. Dan gue udah putus sama Alder, asal kalian tahu."
***
"Lebih baik kita putus," ucapku mantap.
Dia menatapku seolah tak percaya atas empat kata yang barusan aku lontarkan padanya, sedangkan aku meremas tanganku kuat-kuat, menahan agar tangisku tak pecah. Tapi percuma, air mataku perlahan mengalir.
"Kamu kenapa, sih, kalo ngomong yang jelas. Jangan bikin masalahnya tambah ribet." Dia mengusap wajahnya kasar lalu memegang tanganku yang langsung kutepis darinya.
Aku menatapnya, "Aku bilang, lebih baik kita putus. Kurang jelas di bagian mananya?" dan sialnya air mataku tak henti-hentinya meski kuusap beberapa kali.
"Aku minta kita break dulu, bukan putus, Tari."
"Break cuma kalimat penunda perpisahan, Der, yang akhirnya juga bakal putus. Jadi apa bedanya?"
"Tar, please. Jangan nambahin masalah, aku udah banyak masalah di rumah."
"Dengan kita putus, kamu nggak akan dapet masalah lagi dari aku. Dan seenggaknya itu bisa ngurangin beban pikiran kamu." Aku diam sejenak, mengatur napas. "Jujur, Der, aku takut kita berantem terus kayak gini ke depannya. Jadi mending kita akhirin aja sampe sini, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...