Enam

72 23 39
                                    

Oneul bam ju-ingong-eun naya na naya na

Neoman-eul gidalyeo on naya na naya na

Ne mam-eul humchil salam naya na naya na

Majimag dan han salam naya na naya na

Kening Seola berkerut samar saat mendengar ponselnya berdering, menandakan ada sebuah panggilan masuk. Tidak biasanya ada yang menghubungi sepagi itu walau ibunya sekalipun. Terlebih lagi saat sedang berada di dalam bus yang biasa membawanya ke kampus, seperti sekarang ini. Meskipun begitu, ia tetap merogoh saku kanan celana jin tempat benda berbentuk persegi panjang tersebut berada.

"Ngapain ini bocah nelpon pagi-pagi?" gumamnya saat melihat nama Kiwon tertera di layar ponsel.

Oneul bam ju-ingong-eun naya na naya na

Neoman-eul gidalyeo on naya na naya na

Klik.

"Halo."

"Noona."

"Wae?" Seola sendiri juga tidak tahu kenapa nadanya bisa seketus itu saat berbicara dengan orang selain ibunya, Bona, dan Seongri.

"Mianhae."

"Huh? Buat apa?"

Kiwon di seberang sana tidak segera menjawab. Ia ragu apakah harus memberitahu yang sebenarnya atau tidak.

"Won."

Desahan pelan lebih dahulu terdengar sebelum suara jawaban, "Ya, pokoknya Kiwon minta maaf."

Jika Tuhan memang menakdirkan mereka berjodoh, bukan dirinya yang harus memersatukan kembali. Biarlah ia hanya menjadi saksi dalam lika-liku perjalanan kisah cinta mereka.

"Kamu nggak lagi mau bunuh diri, kan?"

"Ck. Ya enggaklah, Noona."

"Terus kenapa minta maaf?"

"Eh, Ssaem udah dateng Noona. Kiwon tutup ya."

Lalu sambungan diputus secara sepihak oleh si pemuda.

"Ih, aneh banget ini bocah."

Seola yang memutuskan untuk tidak memikirkan lebih lanjut pun segera mengembalikan ponsel ke saku celana. Pandangannya juga kembali diarahkan ke luar jendela bus di sisi kiri, sama seperti sebelum menjawab panggilan.

---

Sial.

Bagaimana Seongri tidak mengumpat demikian di dalam hati? Sudah capek-capek berlari dari parkiran mobil dan menaiki anak tangga menuju lantai tiga tempat di mana ruang kuliahnya berada, eh, tidak tahunya masih tertutup rapat. Bahkan malah tidak ada tanda-tanda keberadaan orang. Iseng, ia lalu membuka grup chat kelas yang belum sempat dibukanya sejak tadi karena fokus mengemudi. Dan ternyata ... dosen yang mengajar tidak bisa datang karena ada keperluan mendesak. Itu yang dikatakan ketua kelas di grup chat.

Terus mau gimana ini? Masa' pulang?

Kalau pulang juga sayang sebenarnya. Pasalnya, dua jam lagi masih ada kuliah. Tapi kalau tidak begitu, ia harus rela menunggu seorang diri selama dua jam.

Ah, males banget kalo pulang.

Desahan pelan pun keluar dari mulut bersamaan dengan punggung yang lalu disandarkan ke sandaran kursi kayu panjang di depan ruang kuliah.

"Eh?! Tempat pensilku mana ini?!"

Mendengarnya, Seongri jelas langsung menoleh. Pandangannya pun menemukan sosok seorang gadis yang berdiri tepat di depan ruang kuliah  sebelah kiri sembari membongkar isi tas punggung.

"Masa' ketinggalan, sih?"

Setahu Seongri, perkuliahan di ruangan tersebut sudah mulai sejak tadi.

"Duh, gimana ini?" Si gadis mulai kebingungan setelah tidak berhasil menemukan kotak pensilnya. "Mana ada kuis dadakan lagi. Kalo ketauhan Profesor Lee pinjem pas kuis berlangsung, bisa dikasih nilai E gue."

Seongri langsung membulatkan mulut. Ternyata adik tingkat. Dan Profesor Lee yang dimaksud adalah Lee Seokhoon, dosen pengampu mata kuliah Statistik I di semester dua. Luarnya saja yang terlihat hangat dan ramah. Padahal aslinya kejam dan bahkan tak segan-segan memberi nilai akhir E pada anak didik yang ketahuan mengobrol saat jam kuliah masih berlangsung.

"Kalo mau pinjem bolpoin juga pinjem ke siapa coba?" Gadis itu mulai celingukan.

Tahu gadis itu mulai celingukan, Seongri buru-buru mengembalikan pandangan ke depan. Ia lalu pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.

"Ah!"

Seongri menelan saliva.

Tap tap tap tap.

Duh, mampus.

"Chogiyo."

Tuh, kan.

"Punya bolpoin berapa? Kalo lebih, boleh pinjem nggak?"

Si pemuda belum merespos dan masih pura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.

"Jebal."

Setelah mendengar suara si gadis yang benar-benar memohon, Seongri akhirnya luluh juga. Tas punggung hitamnya lalu dipindah ke depan sebelum membuka resleting dan mengambil bolpoin. Well, ia memang mempunyai dua bolpoin.

Wajah si gadis langsung berubah sumringah saat pemuda yang tak dikenalnya itu membuka tasnya.

"Ige."

"Kamsahamnida," ujarnya sembari membungkuk sopan. "Kalo kita ketemu lagi, pasti bakal kubalikin."

Seongri hanya mengangguk sekenanya sebagai respons.

"Sekali lagi terima kasih."

Setelah si gadis berlalu pergi, pemuda berkemeja abu-abu yang melapisi kaus putih tersebut baru menyadari akan satu hal. Dulu, ia dan Seola juga dipertemukan lewat sebuah bolpoin.

To be continued



Terima kasih bagi yang sudah mau meninggalkan vote atau komentar.

Move On ; Seola x SeongriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang