Rasa Ini

23 7 0
                                    

Michellia

Mau tidak mau, aku turun ke lapangan. Semakin dekat, semakin jelas wajah Rena yang ketus.

Kami pun saling berhadapan. Tak lama, Rena kembali berbisik kepada petugas.

Aku hanya diam memerhatikan dia.

Lalu petugas berkata dengan pelan. "Kau yakin Rena? Jika terjadi apa apa, itu semua diluar tanggung jawab kami. Dan jika memang itu terjadi, kau akan dikeluarkan dari sekolah ini. Setuju?".

Lalu Rena menjawab "Tentu setuju, berikan kepadaku sekarang! Dan bawa untuk si tuan putri juga".

Aku betul betul tidak mengerti apa maksudnya.

Kemudian, datanglah petugas dengan membawa pedang.

"Astaga! Itu pedang sungguhan!". Aku nyaris teriak, tapi ku tutup mulutku dengan tanganku.

Hatiku sangat yakin, pasti Rena ingin melawanku dengan pedang. Padahal aku sama sekali tidak pernah menggunakan pedang, apalagi dalam bertarung.

Petugas pun memberi pedangnya kepadaku, "Tenang saja, kau dapat jaminan" bisiknya.

Lalu petugas pergi ke sisi lapangan.

"Silahkan dimulai". Baru saja aku melihat petugas yang sedang berbicara, tiba tiba Rena ingin menusuk bagian perutku.

Untungnya aku berhasil menghindar dan mundur. Setelah aku menghindar, dia kembali mengarahkan pedangnya ke arah tangan kiri ku.

Ternyata, ada sesuatu yang terasa perih.

Dan benar saja, tanganku mengeluarkan darah akibat tusukan yang meleset. Aku merintih kesakitan.

"Lemah! Sifatmu yang seperti itu, bisakah melindungi kerajaan ini? Payah!".

Rena menunjukku dengan pedangnya.

"Mimpimu sangatlah mustahil untuk dilakukan, tuan putri! Jangan berharap lebih!".

Perkataannya membuatku naik pitam.

"Hey kalian! Inikah yang kalian sebut tuan putri? Dia tidak pantas menjadi prajurit! Dia lebih pantas bermain dengan bonekanya dan bermanja manja di istana".

Aku terus berusaha sabar mendengarnya.

"Kau hanya membuat keluargamu malu. Mereka akan menyesal mempunyai putri yang seperti ini. Dan kini aku mengerti, putrinya Callista sangat lah lemah. Ibumu pasti kecewa!".

Kesabaran ku pun habis. Aku menatap nya dengan penuh amarah. Ku pegang pedangku dengan erat.

"Bundaku tidak pernah menyesal atas kelahiranku di dunia ini".

Rasa sakit di tangan ku pun tertutupi oleh emosiku.

Rena pun tertawa, "Hahaha, buktikan saja!".

Lalu, kuarahkan pedangku ke kepalanya dengan cepat dan ujung pedangku pun menempel tepat di dahinya.

"Berpikirlah sebelum berbicara!".

Dia terkejut. Lalu dia menepis pedangku dengan pedangnya sendiri.

Dia menjauh mundur dariku. "Inilah pembuktian siapa yang lemah".

Dia pun berlari dengan pedangnya yang siap menusuk bagian jantungku. Aku terkejut dan bingung harus bagaimana, lalu aku memejamkan mataku...

"Sebentar lagi ajal menjemput ku. Selamat tinggal bunda".

"Tidak. Kau masih bisa hidup" Jawab seseorang yang tidak aku kenal.

"Aku pasti mati. Aku bahkan tidak tau, langkah apa yang akan aku lakukan selanjutnya".

"Kau bisa Michell, keluarkan seluruh kekuatanmu. Tapi ingat, apalah arti pertarungan jika tidak mengandalkan akal juga. Bertarung lah dengan strategi".

Aku menggelengkan kepala, "Aku tidak punya strategi, aku payah dalam bertarung". "Tidak. Kau lah yang paling hebat".

Aku membuka mataku dan aku bisa melihat kecepatan Rena menjadi lambat.

Bukan hanya kecepatan nya saja yang melambat, seluruh wilayah di sekitar ku pun ikut melambat.

Aku pun menyadari, pedangnya sudah dekat, berjarak sekitar 1 meter dihadapanku.

"Untuk bunda, untuk ayah, untuk seluruh rakyatku tercinta".

Aku mengangkat pedangku dan tatapanku terhadap kecepatan Rena kembali normal.

Saat itu juga, aku menancapkan pedangku ke tanah.

Dan alangkah terkejutnya aku, ketika Rena terpental jauh dariku saat aku menancapkan pedangku.

Aku sempat melihat, lagi lagi warna biru memancar dariku. Tetapi kali ini, muncul dari pedang dan menyebar kemana mana.

"Rena! Kau baik baik saja?" tanya petugas.

Lalu petugas lain ikut menghampiri nya dan membawa Rena keluar lapangan.

"Ah, apa yang aku lakukan?".

Aku sempat berfikir bahwa aku salah. Tapi mau apa lagi, aku tidak mengira akan seperti ini.

Lalu aku berlari meninggalkan lapangan. Entahlah, rasa malu dan takut menghantuiku saat ini.

Blue WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang