------
"Nay barang-barangnya udah siap semua?". Tanyanya.
"Udah, Eh ya kurang satu lagi". Jawabku
"Apa emang?". "Jejakku, hahaha". "Garing, you know mean garing?". Jawabnya kesal dan membuatku terbahak tanpa henti. Rumah yang sempat kami huni selama dipakai oleh Mas Anjar, kakak laki-laki Ifan.
Kami pun sampai di depan rumah abi dan umi untuk berpamitan kemudian pergi ke rumah ayah dan mama juga untuk berpamitan. "Wah ma coba kesini liat siapa yang datang". Ucap ayah yang tampak sumringah melihat kami dan mengizinka kami masuk.
"Kalian kesini mau pamitan?". Tanya Mama. "Iyya ma". 30 menit kemudian kami memeinta izin untuk segera pergi ke Solo. "Hati-hati ya nak, nanti jangan lupa hpnya dimatiin biar aman saat penerbangan". Minta mama. "Iyya mama, ya udah Sia pamit ya". "Iyya, jangan lupa kalo pulang bawa baby ya, ayah tunggu". Satu kalimat tapi rasanya seperti pisau tajam yang menghantamku.
****
Setelah 2 jam penerbangan kami sampai di bandara Adi Soemarmo Solo.
"Halo pak, ini saya udah di luar bandara, Pak Sobri dimana?" tanyanya dengan Pak Sobri yang akan menjadi sopir pribadi kami nanti.
"O ya Mas Ifan, tunggu ya mas saya masih perjalanan masuk bandara, nah itu mas". Kami pun masuk mobil dan disambut senyum oleh Pak Sobri. "Wah cantik ya mas istrinya". Puji Pak Sobri
"Yaya dong pak istri siapa dulu? Ifan gitu lo". Jawabnya sombong sambil merangkulkan tangannya di leherku.
"O ya mb dulu Mas Ifan waktu masih SMA kalo gak SMP suka banget ke Solo, sampai-sampai karena terlalu betah disini Mas Ifan diajak pulang gak mau". Ujar Pak Sobr dan ku jawab dengan tawa terbahak-bahak hingga membuat perutku kaku.
Sejak saat itu kedua orangtua kami selalu meneror kami, agar kami meberi mereka cucu. Disisi lain aku menginginkan mereka bahagia, tapi aku belum siap menerima semua itu, karena aku masih beradaptasi dengan situasi ini, situasi yang sebenernya aku jalani diusiaku yang sudah matang.
"Nay boleh gak aku meluk kamu?". Pintanya dan langsung kujawab senggukan. Tangan Ifan pun melingkar di perutku dari belakang.
"Kamu kenapa Fan?". Tanyaku karena dari tadi dia menghembuskan nafas panjang dan berat hingga terasa di pundakku.
"Gak papa, cuman memikirkan terror yang numpuk di hp, baru aja ditinggal sehari udah kaya gitu".Jawabnya lemas. Karena merasa tak penting untuk di jawab, entah apa yang ada dipikirannya dia terlelap dengan membawa wajah kecewa. Rasa salah pun menghajarku tak henti-henti aku memikirkan masaah ini. Hingga ku putuskan untuk melepas rangkulan ifan dan pergi untuk duduk di sofa dan memilih untuk menghubungi Syafira.
"Halo syaf?".
"Halo? Ada apa mbak pengantin baru?".
"Aku mau curhat".
"Silahkan".
"Jadi gitu masalahnya?, kalo aku jadi kamu sih nurutin aja ya, lagian apa susahnya coba? Kamu yang mempersulit keadaan, apa kamu gak merasa bersalah sama Ifan?". Tanyanya.
"Jujurnya aku belum siap Syaf buat ini semua, kamu juga tau kan aku gak mau punya anak dulu".
"Tapi sekarang keadaannya beda Sia, itu yang minta orangtua kalian lo, kalo orangtua kalian gak minta sih gak papa ditunda dulu, apa kamu gak mikir kalo umur orangtuamu gak muda lagi, udah 42 kan ayahmu? Apalagi abinya Ifan pasti udh 45 lebih".
YOU ARE READING
Friend To Jannah
RomanceBagaimana jika kau ditinggalkan oleh sahabatmu selamanya ketika detik-detik menjelang Ujian Nasional? Akankah kau kembali dari masa terpurukmu ataukan tetap diam dengan kondisi seperti itu? ...