• Melankonia 🌹 07 •

195 28 3
                                    

Selamat Membaca

***

BRAAG

Bu Sung Laphar menggebrak meja sangat keras. Wajahnya merah padam. Mata tajamnya menatap satu-persatu wajah siswa yang kini ketakutan. Mulut Bu Sung Laphar terlihat bersungut-sungut. Wanita bertubuh besar itu benar-benar marah besar.

Semua murid tampak menundukan kepala--termasuk Hagia. Penyebabnya tak lain karena nilai tes pelajaran IPA kemarin semuanya hancur. Bahkan, tidak ada yang nilainya lebih dari enam puluh. Termasuk Hagia dan dua sahabatnya--Tara dan Monic.

"Kalian ini! Baru juga libur dua minggu, tapi pelajaran SMA kelas sepuluh dan SMP saja sudah lupa. Bagaimana kalau liburnya sebulan? Setahun? sewindu? sedekade? apalagi seabad?" Bu Sung mengomel.

"Kalau liburnya sebulan, apalagi seabad, kita sebagai pelajar pasti pada seneng lah, Bu. Pakai nanya lagi. Iya 'kan, semuanya?" Tara menjawab sambil menatap para siswa dengan alis naik-turun, berharap mereka mengiyakan pendapatnya barusan.

Hagia menepuk dahi. Kawan sebangkunya ini benar-benar polos.

"Kamu ini tidak sopan yah!" Bu Sung Laphar menghardik. Matanya melotot garang. Namun, Tara malah membalasnya dengan tatapan sok unyu. Bu Sung mendengkus geram. Memalingkan wajah sebelum dirinya benar-benar naik darah karena kelakuan muridnya yang satu ini.

Anak-anak lain cukup ketakutan sekaligus terhibur akan tingkah Tara. Mereka terkekeh kecil. Sementara Monic yang duduk di belakang bangku Tara langsung menjitak kepala gadis polos itu saat Bu Sung kembalu ke meja guru. Sejak dulu Monic memang sangat gemas terhadap kemahatololan Tara.

Di meja guru, Bu Sung memeriksa kembali kertas hasil ulangan yang ada di tangannya. Setelah mendapat apa yang dicari, dia langsung memperlihatkannya ke semua siswa sambil bersungut-sungut:

"Heh, Tara Mandi bau daki! Kamu lihat hasil ulanganmu kemarin, nilainya nol koma dua. Apa kamu gak malu?"

Tara yang sedang debat dengan Monic spontan menoleh ke depan. Dia kebingungan apa yang barusan diucapkan Bu Sung. Hagia kemudian menjelaskan. Tara langsung menatap lamat-lamat kertas ulangannya yang ada di depan. Dia tersenyum kikuk, melirik ke kiri dan ke kanan. Kawan-kawannya menatap Tara secara berjama'ah. Gadis tersebut hanya bisa menelan ludah dan ingin menghilang dari tempat ini secara tiba-tiba. Ini benar-benar memalukan.

"Hagia, nilai kamu lima koma sembilan." Bu Sung memberitahu sambil memandang Hagia.

Gadis berwajah cantik itu tersenyum antara bangga karena nilanya paling besar di kelas dan malu karena kurang dari enam.

"Ibu..." ucap Tara tiba-tiba.

"Apa kamu?!"

"Berarti sekelas di hukum dong, Bu. 'Kan kata Ibu kemarin yang nilanya kecil dihukum."

"Enggak, yang dihukum cuma kamu karena tidak sopan sama saya."

"Iiih kok gitu, Bu?! Kok saya aja?!" Tara menghela napas kecewa. Dia kemudian menoleh ke arah Hagia, "Bu, Hagia juga hukum dong!"

"Eh?" Hagia yang disebut-sebut langsung teralihkan perhatiannya.

"Kenapa dia harus dihukum?" Bu Sung bertanya, heran.

"Ibu tahu enggak, kemarin, pas aku sama Hagia ribut, terus Ibu marah ke kita. Kita berdua bohong loh, Bu."

"Bohong? Maksudnya?"

Tara mengangguk mantap, "Iya aku sama Hagia sudah berbohong sama Ibu. Jadi, Pas Ibu nanya kenapa kita ribut. Kita 'kan bilang kalo Hagia TB alias tembus berak. Padahal aslinya enggak! Kita malah ngomongin keburukan Ibu di toilet."

MelankoniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang