Berani menghadapi masalah berarti satu langkah menghadapi apa yang ada dan tiada
***
"Kenapa diam saja?" tanya Rezvan kepada Audi.
Saat ini mereka berdua sedang duduk santai di depan rumah Rezvan. Wajah Rezvan tidak berhenti menunjukkan kecemasan sejak kepulangan mereka dari mall tadi. Terutama sejak mereka berdua bertemu dengan Deila.
Audi menggeleng. Gadis itu hanya menunduk atau memainkan ponselnya sedari tadi. Rezvan menghembuskan napas untuk kesekian kali. Ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
"Jangan diam saja, Audiar. Bicara. Saya bukan mentalis yang bisa tahu apa pikiran kamu," ujar Rezvan frustasi.
"Tamat riwayat saya hari ini, Mas," jawab Audi pelan. "Padahal sebentar lagi saya sidang."
Rezvan menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Audi dan mengelus punggung Audi agar gadis itu tenang.
"Mau nangis?" tanya Rezvan.
Audi menatap Rezvan bingung untuk sejenak, kemudian ia tak bisa membendung air matanya. Rezvan memeluk Audi dan dengan sabar menenangkan gadis labil tersebut. Sedangkan Audi terus menangis di pelukan Rezvan.
"Jangan ditahan. Keluarkan saja semua," bisik Rezvan tanpa berhenti menenangkan Audi. Ia bahkan sudah tidak peduli kemeja yang ia kenakan basah oleh air mata dan ingus Audi.
"Kalau karir Mas terhambat bagaimana coba?"
"Kenapa kamu harus mengkhawatirkan saya? Jangan pikirkan saya, Audi. Saya janji semua ini tidak akan berdampak pada kelulusan kamu," kata Rezvan dengan yakin. "Semua biar saya yang urus. Kamu hanya perlu belajar. Oke?"
Rezvan menghapus air mata Audi yang masih jatuh dengan ibu jarinya. Ia juga tersenyum menenangkan serta mengatakan banyak hal agar gadis itu tidak patah semangat. Daripada menyalahkan hubungan mereka, lebih baik sama-sama memperjuangkannya. Bukan hanya Audi yang ingin agar masalah ini tidak semakin membesar dan meluas, Rezvan pun menginginkan hal yang sama.
"Saya takut," cicit Audi.
"Kenapa harus takut kalau ada saya di samping kamu?"
***
Keesokan harinya, Audi tidak pernah menyangka jika kedua sahabatnya, Milla dan Arlino, akan rela datang pagi-pagi untuk menjemputnya. Yang membuat gugup dan salah tingkah, tidak ada tanda-tanda kalau mereka datang dengan suka rela. Milla sudah memasang wajah datar sedangkan Arlino menatapnya dengan tatapan menuntut. Jangan lupakan alisnya yang bertaut lucu.
"Pagi, Gaes," kata Audi kikuk ketika melihat dua sahabatnya sudah di depan pintu rumahnya.
"Pagi ini berangkat naik mobil gue," kata Arlino tegas.
"Eh? Kenapa?"
"Udah buru. Lelet lo," kata Milla tidak sabar, langsung menarik Audi masuk ke dalam mobil Arlino.
"Mil, duduk depan gih," pinta Arlino ketika Milla malah masuk dan duduk di kursi belakang.
"NO! Gue mau interogasi sahabat kita yang selalu berterus terang ini," sindir Milla tanpa tedeng aling-aling, membuat Audi bergidik ngeri.
"Di? Depan sini," kata Arlino.
Audi mengiyakan. Tapi Milla lebih cepat. Ia sudah menarik lengan Audi agar tetap di tempatnya sambil memelototinya sebelum Audi benar-benar keluar dari mobil. Nyali Audi sudah ciut kalau berhadapan dengan Milla yang marah seperti ini.
"Yaelah, gue berasa supir beneran ini," keluh Arlino. Dia mulai menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya.
Audi melirik takut ke arah Milla. Milla dalam mode marah seperti ini benar-benar setara tingkatnya dengan Dewa Dosen ketika ngamuk-ngamuk saat akreditasi prodi. Atau bisa disejajarkan dengan Rezvan ketika membimbing. Ah, Rezvan. Audi yakin ini ada hubungannya dengan Rezvan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Pembimbing
ChickLit[UPDATE SETIAP RABU & SABTU] Bagaimana rasanya punya dosen pembimbing skripsi yang ganteng, pinter, masih muda, tapi jutek dan galak? Kalau Audi, dia akan memilih menyerah saja, meminta ganti dosen pembimbing, atau bakal pindah jurusan. Sayangnya, d...