11. We Could Have Known Each Other, Pak

84.1K 7.1K 216
                                    

Rezeki, jodoh, dan maut itu tidak ada yang tahu, baik saya maupun kamu. Yang jelas, itu semua sudah ditulis sebelum kita ada. Mari berdoa semoga kamu itu rezeki saya

***

Audi sudah hampir sebulan ini menghindari Rezvan. Ia akan konsultasi pagi sekali, sebelum teman satu bimbingannya, Deila, datang. Ia tahu dengan begitu Rezvan tidak akan berani memperlama jadwal konsultasi. Setelah selesai konsultasi, Audi akan kabur mengajak Milla atau Arlino mengerjakan tugas akhir di tempat lain selain kampus. Audi baru akan pulang ke rumahnya setelah lewat isya'.

Sebenarnya, Audi sudah lelah. Tapi, mau bagaimana lagi. Hatinya belum yakin. Berkali-kali dia memikirkan Rezvan dan itu tidak masuk akal. Audi merasa belum pantas jika disandingkan dengan Rezvan yang punya segala kriteria manusia unggulan. Audi itu Cuma mahasiswi biasa yang sedang kesulitan mengerjakan tugas akhir.

"Di, besok lo ngampus pagi lagi?" tanya Arlino ketika mengantarkan Audi pulang ke rumah.

Audi mengerjakan tugas akhirnya di rumah Arlino. Untungnya, Arlino berbaik hati mengantarkan Audi sampai rumah karena waktu sudah malam. Belum lagi Mami Arlino menyuguhkan berbagai hidangan yang dibuatnya dalam jumlah masif. Audi sampai begah setiap kali pulang dari rumah Arlino.

"Engga kayanya, No. Gue mau istirahat," jawab Audi lemas. Efek lelah dan begah.

"Bagus, deh. Gue sama Milla kasihan setiap lihat lo berjuang segitu kerasnya."

Audi tersenyum. "Hidup itu penuh perjuangan, No. Segak bergunanya gue jadi manusia, gue juga tetep mau hidup seperti manusia pada umumnya."

Arlino manggut-manggut. Mobil Arlino mulai memasuki perumahan Audi.

"Tapi gue lebih merasa lo menghindari Pak Rezvan," ujar Arlino.

Audi memilih untuk tidak menjawab. Ia belum menceritakan secara terperinci tentang Rezvan pada kedua sahabatnya itu. Mereka berdua juga sedang pusing-pusingnya mengerjakan tugas akhir.

"Makasih, ya. Jangan langsung tidur ntar pas sampe rumah. Melar dua senti lagi tuh perut lo," sindir Audi sambil menatap perut Arlino takjub.

Arlino tertawa keras. "Anju, perut gue ini mahakarya."

Audi geleng-geleng. Ia membuka pintu mobil dan turun. Audi masih berdiri di depan rumahnya saat mobil Arlino melaju keluar dari kompleksnya. Matanya sekilas menatap rumah yang sangat familiar. Sudah satu bulan juga dia tidak menyambangi rumah itu. Audi menghela napas berat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Rasanya Audi mau berbalik dari pintu rumahnya. Ia ingin memanggil Arlino untuk menjemputnya dan mengantarkan ke rumah Milla. Audi sampai membeku di depan pintu tatkala sosok yang dihindarinya selama ini duduk di ruang tamunya seakan-akan ini rumahnya.

Rezvan duduk di sofa ruang tamu dengan laptop di depannya. Ada banyak kertas berserakan dan secangkir kopi yang Audi yakini dibuat oleh ibunya. Audi masih menatap tidak percaya ke arah Rezvan.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Rezvan heran. "Duduk sini, saya mau ngomong sama kamu," Rezvan memberi isyarat agar Audi duduk di sebelahnya.

"Saya yang harusnya nanya kenapa Bapak ke sini?" tanya Audi parno.

Rezvan melepaskan kacamatanya dan menatap Audi kesal. Pandangan yang sudah lama tidak ia berikan kepada gadis yang sudah mencuri hatinya itu.

"Duduk."

Itu bukan permintaan tapi titah. Mau tidak mau Audi menuruti daripada dia diseret Rezvan. Audi duduk di sofa lain, bukan di sebelah Rezvan.

"Anak perempuan apa pantas pulang jam segini? Kasihan ayah kamu nanti," Rezvan mulai berceramah.

Dosen PembimbingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang