Tugas akhir itu bukan akhir dari hidup seorang mahasiswa. Tapi awal dari segala perjuangan selepasnya
***Segala rumor tentang Audi dan Rezvan masih belum basi juga. Padahal sudah hampir seminggu sejak pertama kali berita tersebut menyebar. Deila yang sudah meminta maaf dan merasa bersalah pun akhirnya ikut meredam rumor serta berita-berita yang tidak benar. Rezvan juga memiliki tugas yang sama. Di kalangan dosen-dosen kenalannya dia menjelaskan hal yang sebenarnya.
Sedangkan Audi, ia lebih memilih untuk fokus dengan sidangnya yang tinggal menghitung hari. Walaupun hatinya merasa tidak tenang mengingat rumor tersebut. Siapa yang tidak merasa khawatir dengan pandangan orang lain kepadanya? Ia yakin seratus persen, orang-orang tidak akan melihatnya sama seperti dahulu. Dan tanpa sadar hal tersebut membebani Audi.
“Nih, minum dulu jusnya. Habis itu baru lo lanjut lagi,” kata Milla sambil menyodorkan segelas jus jambu yang baru saja dibuatnya.
Demi mempersiapkan sidangnya, Audi memutuskan untuk menginap di rumah Milla selama beberapa saat. Sesuai dengan janji, kedua sahabatnya benar-benar memilih untuk sidang di hari yang sama dengan Audi. Sudah tak terbendung bagaimana bahagia dan bersyukurnya Audi memiliki sahabat seperti Milla dan Arlino.
“Makasih, Bu.” Audi meneguk jus jambunya dalam sekali teguk.
Milla yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng. Sudah dua hari ini Audi serius sekali mempelajari naskah tugas akhirnya. Bahkan Milla bisa melihat ada mata panda di wajah Audi yang tergolong manis itu.
“Istirahat lah, Di. Udah dua hari ini lo begadang mulu,” kata Milla prihatin. “Emangnya Pak Rezvan gak mengkhawatirkan lo?”
Audi mengangguk. “Khawatir, sih. Udah berkali-kali dia minta ketemuan tapi gue larang.”
“Kenapa? Siapa tahu bisa bantuin kita. Kan lumayan gue juga bisa ikutan,” Milla tidak bisa menyembunyikan maksudnya.
“Malu gue. Udah kelihatan bego pas konsultasi, terus masih aja bego padahal udah mau lulus.”
“Lo gak bego kali, Di. Cuma lemotnya itu lo yang kadang bikin orang-orang emosi,” kata Milla. “Sabar banget Pak Rezvan ngadepin lo, ya.”
Audi mendengus. “Kata siapa? Lo lupa gue adalah korban kekejaman dosen pembimbing?”
Milla tertawa puas.
Masih jelas di ingatannya bagaimana marahnya Audi, sedihnya Audi, dan terkadang bahagianya Audi selesai bimbingan dengan Rezvan. Ia hanya tidak percaya kalau sekarang dosen pembimbing sahabatnya yang terkenal kejam dan sadis itu malah jatuh cinta dengan sahabatnya.
“Ngomong-ngomong, kok bisa Pak Rezvan suka lo, sih? Kenapa gak gue aja? Kan gue selalu baik sama dia?” tanya Milla dengan raut wajah heran.
Bukannya cemburu, Audi malah mengangkat bahunya. “Mungkin saking bencinya dia sama gue, akhirnya dia jatuh cinta sama gue,” jawab Audi dengan penuh percaya diri. “Kan lo sering denger kata-kata, jangan benci jadi cinta nanti. Sekarang doi kena karmanya. Hahaha.”
“Dosa lo ngetawain laki sendiri,” kata Milla tidak habis pikir tapi ikut tertawa.
Hari itu, ada banyak cerita yang mengalir di antara keduanya. Banyak hal yang Audi ingin sampaikan pada Milla dan ada banyak hal yang ingin diketahui Milla. Mereka berdua paham, sahabat itu selalu ada saat kita membutuhkan. Karena mereka berjalan beriringan, bukan saling mendahului.
***
“Udah di depan, nih.”
“...”
“Oke. Milla suruh cepat-cepat. Nanti mepet waktunya.”
“...”
“Bye, kesayangan.”
Rezvan mematikan ponselnya. Ia membuka bungkus burger yang dia beli di restoran cepat saji sebelum berangkat menjemput kesayangannya. Ia memakannya dengan suapan besar-besar. Matanya mengamati rumah putih dengan interior kuno khas Belanda yang merupakan rumah sahabat pacarnya.
Akhirnya ia tahu kemana selama ini gadis itu menghilang.
Pintu mobil terbuka, menampilkan sosok yang sangat dirindukannya tiga hari ini. Rasanya ingin memeluknya erat tapi urung. Di samping gadisnya, berdiri seseorang yang sangat dia kenal.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Milla malu-malu.
“Pagi, Milla,” balas Rezvan dengan senyum manisnya.
“Saya boleh nebeng kan, Pak? Gak ganggu, kan?” tanya Milla merasa tidak enak dengan dosennya itu.
“No. Bareng saja. Ayo, masuk.”
Milla duduk di kursi penumpang belakang, sedangkan Audi duduk di samping Rezvan. Tanpa bicara, Rezvan menyodorkan burger yang masih utuh dan hangat kepada Audi. Ia kenal baik kalau Audi belum sarapan pagi itu. Kalau diingat-ingat lagi, Audi tidak pernah sarapan dari dulu.
“Makasih, Mas.”
Rezvan tersenyum dan mengelus kepala Audi penuh sayang.
Milla?
Jangan tanya. Menjadi penonton drama sepagi ini membuatnya menyesal sudah mengiyakan ajakan Audi untuk berangkat bersama. Tahu begitu dia meminta Arlino menjemputnya saja. Namanya penyesalan pasti datang di akhir.
“Milla, setengahan sama gue, nih.” Audi menyodorkan separuh burger yang sudah dia bagi. Tak lupa dengan kopi hangat yang tadi dibeli Rezvan.
“Maaf, Milla. Saya gak tahu kalau kamu ikut bareng. Makanya saya Cuma beli dua,” kata Rezvan dengan nada menyesal.
“Gak apa-apa, Pak. Tadi juga dadakan. Hehe,” jawab Milla enteng.
Mereka bertiga sampai di kampus awal sekali. Audi sempat melirik jam tangannya dan waktu masih menunjukkan pukul 7 kurang. Sangat pagi sekali. Rezvan membantu Audi dan Milla membawa barang-barang mereka seperti DAP (Diagram Alir Proses) ukuran A0 untuk presentasi dan beberapa buku catatan tugas akhir mereka.
“Kalian beda ruang sidang, kan?” tanya Rezvan sebelum masuk ke dalam kantornya.
“Iya, Pak. Saya di ruang sidang I, Audi di ruang sidang III,” jawab Milla.
Rezvan mengangguk paham. Ia menatap Audi yang sedang sibuk menata berkas-berkasnya itu dengan tatapan teduh. Milla yang mengetahui sinyal Rezvan, langsung pamit untuk bersiap-siap menuju tempat sidangnya. Sebelum itu, Milla sudah memeluk Audi dan mengucapkan banyak kata-kata semangat. Begitu pula Audi yang selalu menyemangati Milla dan mendoakan mereka bertiga bisa lulus bersama.
“Gak mau peluk saya juga kaya Milla tadi? Mumpung kampus masih sepi,” kata Rezvan pelan.
Audi berdecak kesal. Mulai lagi, pikirnya.
“Ada CCTV. Bapak mau terciduk?” protes Audi ketus.
Rezvan langsung diam. Ini di kampus, bukan di rumah atau mobil. Mereka tidak bisa mengumbar rahasia secara bebas. Bisa-bisa pagi ini Audi tidak jadi sidang pendadaran malah disidang di hadapan dosen-dosen yang lain.
“Kamu jangan panik atau tegang. Baca doa yang banyak. Minta sama Tuhan biar lancar semuanya. Biar kita bi-.”
“Bisa sama-sama nanti di pelaminan. Gitu kan maksudnya?” Audi menatap Rezvan jengkel.
Rezvan terkekeh geli. Ia tidak tahan untuk tidak menggoda Audi. Gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan di hadapannya dulu.
Beberapa mahasiswa teman Audi mulai tampak dari kejauhan. Mereka ada yang ingin melihat bagaimana sidang teman seangkatan mereka dan juga memberikan dukungan. Beberapa mahasiswa sudah ada yang membawa bunga dan kado wisuda lainnya.
“Saya lupa tidak membelikan kamu hadiah wisuda. Kamu mau apa?” tawar Rezvan dengan raut wajah tidak enak. Bisa-bisanya dia lupa tentang hal itu.
Audi tersenyum tulus lalu menggeleng. “Saya Cuma mau diberikan kelancaran dan hasil yang terbaik.”
Mendengarnya, Rezvan tak mampu menahan senyumnya. Sekali lagi dia bersyukur karena mengenal gadis seperti Audi. Ada banyak hal yang sebenarnya ia pelajari dari Audi. Itu membuatnya semakin jatuh pada pesona gadis itu yang tidak ada duanya.
“Oke. I always pray for you. Wish you luck, Audiar.”
Rezvan langsung berubah ke mode dosen ketika melihat beberapa mahasiswa semakin mendekat ke arah mereka. Audi juga menyadari hal tersebut. Rezvan yang sebelumnya sangat adorable, penuh kekejuan, dan alay, bisa berubah kembali menjadi Rezvan yang mengintimidasi dan menakutkan.
Rezvan masuk ke kantornya, meninggalkan Audi dikelilingi oleh beberapa temannya yang sengaja datang untuk memberikan semangat serta dukungan kepadanya. Audi tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi dua jam ke depan dengan selamat.
***
Audi menatap keempat kepala di hadapannya dengan gugup. Keempat dosen duduk saling berhadapan, dua dosen pembimbing dan dua dosen penguji. Audi berdoa dalam hati semoga segalanya lancar hari ini.
“Pagi ini, mahasiswi bimbingan saya bernama Audiar Shakeela Athaya akan menjelaskan tugas akhir yang sudah dia kerjakan kepada kita. Di sini saya memohon kepada Bapak Harun dan Bapak Broto untuk membantu mengevaluasi hasil kerja dari Saudari Audiar,” kata Rezvan, membuka sidang pagi itu dengan suara yang tegas.
Dewa Dosen dan Pak Broto mengangguk walau mata mereka fokus terhadap naskah Audi. Audi sendiri sudah gugup setengah mati ketika Dewa Dosen melingkari beberapa alat yang ada di DAP-nya. Ia menangkap tatapan Rezvan yang menyemangatinya.
Audi menarik napas.
“Selamat pagi, Bapak dan Ibu dosen yang saya hormati. Pagi ini, saya akan mempresentasikan tugas akhir saya yang berjudul ‘Prarancangan Pabrik Melamin dari Urea dengan Proses BASF Kapasitas 40.000 Ton/Tahun’,” Audi memulai presentasi.
Kebanyakan dosen yang mengujinya beserta Bu Indira hanya fokus kepada lembaran naskah Audi yang tebal itu, sedangkan Rezvan dengan antusias mendengarkan penjelasan Audi. Sesekali Audi bisa menangkap pemandangan ketika Rezvan tampak berpikir keras. Menurutnya itu sangat lucu. Tapi Audi sadar, kalau saat ini bukan saat yang tepat untuk mengagumi ekspresi dosen pembimbingnya itu.
“Sekian presentasi saya. Atas perhatian Bapak dan Ibu, saya mengucapkan terima kasih.” Audi menutup presentasinya saat itu.
Rezvan kembali duduk tegak. “Untuk Bapak Harun dan Bapak Broto, silakan mengajukan pertanyaan.”
Ini adalah saat yang mendebarkan bagi Audi. Tanya jawab saat sidang sudah menjadi momok menakutkan bagi semua mahasiswa yang menghadapi skripsi atau tugas akhir. Audi tidak bisa percaya kalau saat ini dia mengalami sendiri yang namanya pendadaran. Baginya ini semua adalah mimpi. Mimpi buruk.
“Saudara Audiar, bisa jelaskan kenapa Anda menggunakan reaktor fluidized bed daripada menggunakan reaktor fixed bed?” tanya Pak Harun tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Di jurnal yang saya baca, penggunaan reaktor fluidized bed lebih efisien daripada penggunaan fixed bed. Jika kita menggunakan fixed bed, maka kita membutuhkan dua reaktor yaitu fixed bed dan fluidized bed. Jika kita memilih yang ini, maka cost atau biaya yang digunakan akan lebih besar karena rumitnya proses itu sendiri,” jelas Audi. Tangannya akan ikut bergerak ketika dia menjelaskan sesuatu. “Oleh sebab itu, saya memilih menggunakan fluidized bed agar lebih efisien dan mudah.”
Dalam hati, Rezvan bangga dengan Audi. Gadis itu sama sekali tidak tampak tegang atau ragu saat menjawab pertanyaan Dewa Dosen. Itu adalah permulaan yang bagus. Kalau Audi yakin dengan dirinya, maka tidak akan ada pertanyaan susah nantinya.
Hampir selama satu setengah jam diisi dengan tanya jawab. Dosen penguji lebih banyak bertanya ini dan itu. Ada kalanya Audi tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan dan tidak sedikit pertanyaan menjebak yang dia dapatkan. Jujur saja kepalanya rasanya seperti dibakar.
Rezvan sendiri tidak banyak bertanya. Ia lebih banyak diam atau membantu Audi menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit. Bahkan Rezvan nyaris beradu argumen dengan Dewa Dosen. Selain karena mereka memiliki pandangan yang berbeda, masalah minggu kemarin masih mempengaruhi Dewa Dosen. Ia masih kesal dengan Rezvan yang tidak pernah hormat kepadanya itu.
Tak terasa waktu dua jam hampir berakhir. Hanya ada pertanyaan sisa yang mana tidak terlalu menguras otak. Audi yang hampir dua jam berdiri di depan, sudah tidak kuat lagi. Dia ingin duduk dan minum es kelapa muda Bang Rahmat yang segar itu sambil berbahagia karena sudah lulus. Tapi itu semua belum terjadi.
Dewa Dosen masih tampak bersemangat menguji Audi, seperti energinya tidak surut. Ia masih membuat banyak catatan di halaman naskah Audi. Ia kemudian menatap Audi lekat-lekat. Seperti sudah direncanakan sedari tadi.
“Kira-kira apakah ada kesulitan selama mengerjakan tugas akhir ini, Saudara Audiar? Tampaknya dosen pembimbing Anda benar-benar mengajari Anda dengan baik,” kata Dewa Dosen tenang.
Audi diam. Baginya kata-kata Dewa Dosen tadi sarat akan sindiran dan pernyataan yang membutuhkan persetujuan. Audi kembali takut."Bagaimana, Saudara?"
To be Continued
A
uthor's Corner
Haloo, ada yg kangen bacotanku?? Wkwk Sekali lagi maaf ya aku ga menepati janji :". Iya, aku terlalu banyak acara. Aku mau pindahan kos jadi ya gitu sibuk pindahan /padahal b aja/.
Oh iya, judul TA-nya Audi, itu sama kaya judul TA punyaku beda kapasitas doang. Ehe. Abisnya males mau buka folder TA lain dan baca ulang lagi. Jadi, akhirnya kubuat sama seperti yang aku ingat.
Daaan... aku mau promosi, nih. Cerita baru. Judulnya "Cheeky Writer". Yang penasaran, bolehlah mampir sebentar dan meninggalkan jejak dan memberi bintang. Ehe.Kalau ada typo atau keliatan berantakan tulisannya, mohon maap nih ye, aku langsung copas dan uploadnya lewat hape berhubung wifinya ga mau konek lewat pc :( jadi maafkan ketidaknyamanannya.
Terima kasih buat yang sempetin baca, kasih bintang, komentar, dan follow POA. Berkat kalian, cerita ini sempet nangkring di #10 chicklit selama beberapa jam (?) Wkwk
Tenang, besok aku upload lagi, kok 🙃
See U tomorrow
XOXO
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Pembimbing
ChickLit[UPDATE SETIAP RABU & SABTU] Bagaimana rasanya punya dosen pembimbing skripsi yang ganteng, pinter, masih muda, tapi jutek dan galak? Kalau Audi, dia akan memilih menyerah saja, meminta ganti dosen pembimbing, atau bakal pindah jurusan. Sayangnya, d...