Harry's POV
Aku memarkirkan mobil di bawah pohon dan mematikan mesin, diikuti dengan lampu depan. Terlalu gersang dan hening. Aku secara konstan melihat sekilas jam dan semakin cemas dalam setiap detik yg berlalu. Sudah lewat jam 12:30 dan Thalia tak terlihat. Bisa saja ia tak menerima pesan atau buketku. Kemungkinan tertingginya ada seseorang yg meyakinkan dengan tak memberikan kepadanya dan aku cukup yakin kalau itu adalah si bajing Darren.
Cukup sudah memikirkan ini. Aku mendinginkan otakku dengan menggambarkan Thalia yg tertidur di kamarnya, dengan aman. Tapi aku masih tak cukup yakin. Aku tak akan bisa tidur malam ini kecuali aku tahu dimana ia berada. Aku yg memulainya. Aku seharusnya menggunakan bentuk komunikasi yg terpercaya. Aku berkendara di sekitar kafe dan memeriksa apakah ada tanda-tanda dirinya tapi interiornya hitam-legam. Aku menghembus napas dalam dan mengistirahatkan kening di kursi kemudi. Sekarang aku memiliki kesempatan untuk menyetir ke gedung apartemennya untuk meyakinkan kalau ia berada disana. Dan aku waspada kalau ini sama artinya dengan memasuki masalah baru.
Aku berhenti di depan gedung tanpa penjaga dan hampir meringis pada pandangannya. Tempat tinggal yg tak layak untuk ditinggali. Aku menghapus pikiran buruk, merasa bersalah telah memikirkannya selagi keluar dari mobil. Aku melangkah ke pintu masuk dan menekan tombol di panggilan telepon tapi terdapat gangguan dan buruk dan tak sepenuhnya tersambung jadi aku semakin merasa frustasi dan kembali menekan, sedikit terlalu susah namun suara menyerupai robot itu terdengar.
"Tak lagi menerima pengunjung." ujar suara itu.
"Aku temannya Thalia Faye dan aku harus berbicara dengannya. Ini darurat." ucapku ke kotak speaker yg berbicara, berjuang agar tetap sabar.
"Sudah ku bilang tak bisa. Aku lelah, kau pulang saja dan datang lagi esok pagi." suara menguap diakhir kalimat membuatku ingin mencekiknya.
"Dengarkan bedebah aku tak akan pergi kemanapun sebelum bertemu dengannya. Kau belum tahu siapa aku dan apa yg dapat ku lakukan padamu-"
Pintu masuk mendecit terbuka, mengalihkan kata-kata kasarku. Wanita dengan pakaian tidur malam berdiri di ambang pintu, menarik lebih erat baju hangat kelonggarannya. Sejenak ku pikir itu Thalia, sebab ia memikili model rambut yg mirip dan tingginya juga sama. "Siapa kau? Apa yg kau inginkan dari anakku?" tanyanya dengan nada lembut namun tajam, menyibak helaian rambut abu dari wajahnya. Kemiripannya luar-biasa, aku sudah mengetahui bahwa dia ibu Thalia.
"Aku ingin tahu apakah anakmu ada disini." jelasku selagi ia keluar dan menutup pintu.
"Ada orang yg sedang tertidur, kau tak bisa begitu saja kemari dan mulai meneriakki kata-kata kasar saat jam sekarang." ia menatapku dengan cara yg meresahkan. Tatapannya berlama-lama di sepatuku, lalu ke cincin di jariku. Aku seharusnya melepasnya. "Siapa kau? Darimana kau mengenal Thalia?"
"Lihat, aku hanya ingin tahu apakah ia berada disini, itu saja. Lalu aku akan pergi."
"Ia berada bersama temannya, tak ada disini." ucapnya. "Kau tak menjawabku. Siapa kau dan bagaimana kau bisa mengetahui anakku?"
"Siapa nama temannya?" malahan ku balik bertanya, ketakutan mengalir di tubuhku.
"Ini konyol. Aku bahkan tak mengenalmu dan kau mengekspektasikanku untuk menjawab semua pertanyaanmu mengenai Thalia?" alisnya mengkerut. "Jika kau tak bilang padaku sekarang, aku akan... melaporkanmu ke bagian autoritas." ia tergagap seraya berucap, karena ia dan aku tahu bahwa autoritas tak akan melakukan apapun.
"Apa temannya itu Sarah?" semburku. Aku harus mengetahuinya.
"Darimana kau mengetahuinya?" gumamnya dengan ekspresi kagum, dan sekujur tubuhku merinding. Dimana Thlia? ia bilang pada ibunya ia bertemu dengan Sarah, seperti renacan kami, dan ia benar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Doll (Indonesian Translation)
FanfictionDalam komunitas yang korup, gadis-gadis muda dijual kepada para pria untuk dijadikan sebagai objek pemuas belaka dan mereka disandra sesuai kehendak para pria. Namun semuanya berubah ketika anak lelaki manja dari seorang pengusaha kaya melintasi bat...