Bagian 20 - Pembukaan

2.5K 165 3
                                    

Kumis Richard yang tak asing telah sirna dan fitur baru yang ia tampilkan membuatku meringis. Kepalanya memutar agar dapat melihatku dengan jelas, pinggir bibirnya yang hampir-tak-terlihat memincing mengancam. Gambaran kejadian tadi malam muncul di pikiranku dan pandanganku mulai memburam.

Aku sudah mencoba menjaganya dibalik otakku selama mungkin, dan aku berhasil selama beberapa hari terakhir selagi masalah lain menyibukki pikiranku namun sekarang, semuanya kembali ke awal dengan sebuah ledakkan. Pria ini adalah monster yang memukul dan menciumku paksa dalam niatan paling jahat. Aku tak pernah merasa sehina ini.

Tingkat pernapasanku mulai teratur seraya mataku mencari keberadaan Harry. Aku ingin meloncat ke belakangnya, aku ingin ia melindungiku. Aku tahu dia mau, atau setidaknya itu yang kuharapkan. Keraguan membanjiri pikiranku selagi aku mengingat kembali bagaimana aku membuatnya kesal di mobil, walaupun aku tak tahu apa yang kulakukan. Ia bilang bahwa aku berarti sesuatu baginya dengan kalimat yang paling vulgar dan itu meninggalkan lubang didalam diriku. Aku merasa bingung.

"Nak, kami kemari untuk memberitahu padamu bahwa kita mengubah rencananya." mulai Damian, meletakkan tongkatnya di sofa.

Leganya, Harry ada disana. Namun ia berdiri cukup jauh dariku, membuat kegelisahanku meningkat. Aku takut. Ia tahu apa yang telah dilakukan Richard padaku, baiklah, ia tahu hanya sebagian namun ia tak terlihat terganggu akan situasi stresku.

"Aku tidak menginginkan ia disini." ujar Harry rapat-rapat, menolehkan kepalanya ke Richard.

"Harry, kita telah melewati ini. Ini hanya kesalah-pahaman. Niat paman Richard selalu baik-" Damian berhenti saat batuk kecil terlepas dari mulutku.

"Enyahlah." Harry mendengus kepada dua pria itu. Aku hampir tersenyum akan pilihan kalimatnya, namun kutahan.

"Tak apa, Damian." Richard campur-tangan sebelum Damian dapat berbicara. "Percaya atau tidak, aku bahkan lebih agresif darinya saat aku seusianya. Aku mengerti." ia tertawa seraya menjalarkan jari-telunjuk ke sepanjang kulit diatas bibirnya yang baru dicukur. "Tapi Harry, aku hanya kemari untuk bilang padamu kalau aku memberi hadiah untuk ulang-tahunmu besok, dan juga niatku terhadap permintaan maaf akan aksiku namun aku tak yakin bagaimana hasil kejadian itu."

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Harry, alisnya menyatu.

Napasku tercekik saat tatapan Damian melesat padaku, mata kecil Richard mengikuti. Ada sesuatu yang sangat ganas di dalam mereka. "Paman Richard memperpanjang kontraknya untuk..." Damian menahan sebuah senyum paksa, kerutan di matanya mendalam. "Untuk Baby Doll mu"

"Apa?" tanya Harry, menyelaku.

"Itu sebelum ayahmu memberitahukan rencana menyatukan kau dengan anak Antonio. Kurasa itu akan menjadi hadiah ulang-tahun yang megah."

"Mengapa kau berpikir seperti itu?" decak Harry. Aku mencoba mencegah kalimatnya merasukiku, namun gagal. Itu bodoh bagaimana aku tersakiti akan apa yang ia ucapkan. Ia sudah menjelaskan bahwa ia tak lagi ingin aku berada di dekatnya dan seharusnya tak ada alasan mengapa aku harus merasa senang.

"Bahasa." Damian memperingati anaknya. "Maksudnya hanya sebagai hadiah. Tak ada lagi perubahan terhadap kontraknya jadi kau harus melanjutkan selama dua bulan lagi mau-tidak-mau. Dan aku mengerti bahwa perempuan itu," ia melihatku sekilas, kali ini tanpa senyum. "Bagaimanapun tak berpengalaman. Tapi aku percaya kau dapat menciptakan yang terbaik dalam situasi ini."

Terasa kesal mendengarkan percakapan mereka, mengingat bahwa ayahnya mengatakan hal seperti itu pada anaknya. Mungkin aku tak berpengalaman. Mungkin ini sebetulnya yang terjadi di dunia nyata dan aku tak pernah tahu karena aku selalu dilindungi dalam kehidupanku.

"Dan... satu hal lagi." Damian menyangga bebannya di lutut seraya berdiri dari sofa. "Yang ini harus kubicarakan pribadi denganmu. Dapur." tuturnya pada anaknya.

Aku merasakan wajahku mengendur saat menyadari aku akan berada sendiri bersama Richard. Aku menyiapkan diriku untuk berlari naik meskipun tahu aku akan menimbulkan masalah.

"Thalia, tunggu diatas." perintah Harry, melegakan diriku dari kecemasan.

Aku membalas anggukan singkat, berterimakasih sementara berlari naik. Aku tak dapat merasa aman selama Richard masih berada satu atap denganku namun aku dapat membuat jarak sejauh mungkin diantara kami untuk mengurangi ketidaknyamanannya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tubuhku tenggelam di pegangan tempat tidur, jari gemetar. Terlalu hening. Ada yang tidak beres. Hal yang mengisi keheningan hanyalah jarum jam besar diluar kamarku.

Rasa sakit terasa di leherku, tepat dimana Richard melukaiku dan tubuhku bergerak akomodasi. Lalu luka dikepalaku mulai berdenyut keras, lebih buruk dari yang kurasakan sebelumnya. Tak lama sebelum pintu terbuka menampilkan orang yang tak ingin kulihat.

Richard mengerucutkan bibirnya sebelum berubah menjadi seringai santai. Aku menemukan diriku berteriak sekencang mungkin namun tak ada suara yang keluar. Aku tetap berteriak mengingat hanya itu hal yang dapat kulakukan saat ini.

Dalam hitungan detik, ia telah mendekatiku. Tangan gempalnya berada di pegangan tempat tidur selagi menatapku tajam, matanya menonjol.

Gigi kuning dan permen karet yang sudah membusuk terlihat saat senyum tersebar di wajah lembabnya. Wajahnya mendekatiku, jarak diantara kami sirna pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tenggorokkanku mulai terasa sakit, seolah uratku dapat membuncah kapanpun saja namun aku tak pernah berhenti berteriak.

"Berhenti! Lia, bangun!" mataku terbelalak mendengar suara itu.

Harry mengguncangku. "Kau bermimpi." tuturnya, seolah aku tak mengetahuinya. Ia berlutut di lantai. Jarinya terangkat ke mataku, menghapus tangisanku. "Ada apa?"

Telapak-tanganku melembab, dadaku menyempit. "A-apakah aku berteriak?"

"Telingaku hampir tuli sebelah." ia mencoba bergurau walaupun wajahnya tetap serius. "Apa mimpimu?"

"Richard."

Alis Harry menurun sementara ia mengambil tanganku padanya. "Apakah Richard melakukan sesuatu selain yang kau ceritakan pada hari itu? Apakah ada hal lain yang ia lakukan yang tak kau beritahu padaku?"

"Mereka sudah pergi." ia meyakinkan. "Lia, kalau ada, kau bisa cerita padaku." aku menelan ludah seraya melihat sekilas tangan kami yang tergenggam. Aku mempercayainya. "Ia menciumku."

Bayangan terbentuk di mata Harry seraya cengkeramannya di tanganku mengerat. "Ia bilang padaku ia...ia akan..." aku harus mengerucutkan bibir agar dapat mencegah tangisanku. Aku tak dapat menyelesaikannya.

"Aku paham." gumam Harry, tak ingin memaksaku. Amarahnya beradiasi seraya percikan api terlintas di matanya, fiturnya kaku. Apakah ia marah pada Richard...karena melakukan itu padaku?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

check mulmed yah k1 haha

happy christmas everyone x

btw, kalo w bikin cerita ada yg mau baca kg? hahaha ga ada ya? yaudah.

as always,

vote.comment.follow

bye x

Baby Doll (Indonesian Translation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang