Harry pergi sepanjang hari ini. Aku belum kembali berbicara padanya setelah percakapan kami kemarin yang serba-salah itu. Ia juga belum membuat usaha untuk berbicara padaku dan itu menyengat dadaku setiap kali aku teringat olehnya. Aku diingatkan olehnya. Ataukah mungkin ia pergi bersama Kaylee? Kemungkinan begitu.
Gambaran sia-sia, dan irasional itu terus-menerus menguasai pikiranku selama beberapa hari terakhir hingga hal penting mulai terlupakan. Alam-sadarku dilanda rasa bersalah di dalam diriku, menegurku karena telah melupakan ibuku. Darren bilang ia sedang dalam kondisi tak sehat dan disinilah aku di kediaman seorang pria selagi ia berjuang di apartemen hancur kami.
Harry berjanji kalau ia akan mengaturku agar dapat melihatnya tapi ia masih belum mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan itu. Ia kemungkinan tidak bersungguh-sungguh, seperti bagaimana ia tidak sungguh-sugguh pada hal yang ia ucapkan kemarin terhadap menyukai bagaimana caranya memperlakukan diriku saat aku bersama dengannya. Aku merasa sedih karena membiarkan kalimatnya mempengaruhiku. Aku tak punya apapun untuk ku tawarkan padanya, tidak seperti Kaylee. Mengapa pria memilihku bukannya dia?
Baiklah Thalia, cukup sudah, alam-sadarku memarahiku. Dan ia benar. Prioritas utamaku adalah dengan aman keluar dari tempat ini dan, tentu, menjaga ibuku, sementara aku tak berpikir aku akan dapat menahan bencana lagi. Harry tidak berada dalam daftarku.
Aku kehilangan lamunanku saat suara raungan gemetar terdengar dari ruang cuci. Menyadari itu Nyonya Briffen, aku berlari dan melihat keranjang di lantai-bergaris dengan pakaian yang berserakan diatasnya. Wanita berambut-abu itu meliukkan punggungnya bersamaan dengan ekspresi putus-asa itu yang juga ikut menyakitiku.
"Ada apa?" tanyaku, meletakkan tanganku di bahunya untuk menawari kenyamanan.
"Aku baru saja ingin melempar pakaian itu ke mesin cuci. Aku membungkuk... terlalu jauh." ia mencoba untuk menjelaskan walau merasakan rasa sakit terlihat jelas mengalir di fiturnya.
"Kau duduk saja. Aku akan membantumu." aku menuntunnya untuk duduk di bangku kayu di samping mesin cuci.
"Terimakasih, sayang." ucapnya selagi memposisikan dirinya di bangku. "Salah satu kontra usia tua."
"Aku lebih memilih menjadi peranmu suatu saat nanti." ucapku dengan helaan ringan sebelum mengambil pakaian dari lantai. Pakaian Harry. Aku mencoba mengabaikan itu dan menggabungkan jeans serta kaus di keranjang baju kotor.
"Harry memberitahumu, kan?" ucap Nyonya Briffen cepat lalu menggigit bibirnya. "Maaf, abaikan saja diriku."
"Bagaimana kau tahu?" decitku lemah.
"Aku tak bermaksud untuk menguping, aku hanya menyapu di sepanjang koridor malam itu dan aku mendengarnya." menguping adalah salah satu hal yang dilakukan Nyonya Briffen dengan entusiasme tinggi. "Aku hanya mendengar beberapa kalimat, sungguh."
Ia kemungkinan mendengar seluruh percakapannya. "Ya." aku-ku, menjatuhkan beban keranjang itu ke mesin.
"Harry tidak pernah terbuka seperti itu kepada orang lain." nyatanya dengan senyum penuh makna. Itulah dia. Nyonya Briffen, dari semua orang yang ku kenal, tahu dengan baik betapa rumitnya hubungan diantara Harry dan aku tapi ia tak akan menyerah. Ia percaya bahwa aku adalah 'penyelamat' atau semacamnya.
"Harry anak yang malu. Takut pada hal terkecil sekalipun." ia terkekeh. "Kontras besar dengan bagaimana keadaannya sekarang. "Ayahnya menjadikan ia seperti ini, kau tahu." Harry Malu? Sebutan itu tampaknya mustahil terletak pada satu kalimat yang sama. Tak terdengar benar.
"Sayangnya." ucapku, mengangkat bahu. "Ia sangat mengontrol sekarang."
"Damian sering membawa pulang perempuan, bahkan saat Harry berada disini. Ia melihat ayahnya memukuli mereka." matanya sejenak terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Doll (Indonesian Translation)
FanfictionDalam komunitas yang korup, gadis-gadis muda dijual kepada para pria untuk dijadikan sebagai objek pemuas belaka dan mereka disandra sesuai kehendak para pria. Namun semuanya berubah ketika anak lelaki manja dari seorang pengusaha kaya melintasi bat...