"Apa?" Alisnya saling menyatu.
"Apa yang kau inginkan dariku? Apakah kau ingin bersama denganku?" kalimat itu sudah keluar sebelum dapat kusaring.
"Lia, ini rumit karena-"
"Aku seorang Baby Doll." Aku menyelesaikan kalimatnya. Mataku bergelinang kecewa, mekanisme yang tak-terkontrol.
"Jangan bilang seperti itu." jempolnya mengusap bibir bawahku.
"Karena aku dipaksa agar menjadi seorang pelacur." emosiku tak dapat kutahan lagi. Tangisanku menyembur keluar.
"Berhentilah, Thalia." Ucap Harry tegas. "Kau bukan seorang Baby Doll."
"Tapi itu benar. Aku seorang pelacur yang dipaksa untuk memberikan seluruh kenikmatan yang kau butuhkan." rasa sakit yang dalam terbentuk di dalam diriku menyebabkan suaraku naik-turun dengan drastis. "Hanya itu yang kulakukan, ya kan? Aku memenuhi keinginanmu-"
"Berhentilah!" suaranya keras, menghentikanku. Frustasi terlihat di fiturnya, matanya menggelap seraya ia menatapku. Napas kami kasar, namun milikkulebih cepat darinya.
Aku berjuang untuk menjauhkan diriku dari kedekatan kami tapi ia menahanku di tempat, menekanku dibawahnya. Tanganku menggoyangkan cengkeraman Harry. Aku memejamkan erat mataku, memaksa sisa tangisan agar keluar dan melihatnya keluar.
Ringisan dan engahan mengisi ruangan. Kemarahan takut dan sebuah perasaan tak-berdaya menguasaiku. Aku merasakan jantungku berdegup hingga ke tulang rusuk selagi kepalaku bergoyang memberontak dari satu sisi ke sosi lain. Jari Harry berada di seluruh wajahku, membelai seluruhnya agar menenangkanku. "Lia, berhentilah." perintahnya, namun aku mengabaikannya.
"Lia." Harry kembali berucap, menangkup wajahku di tangannya. Aku mematuhi karena aku merasa lelah. Napasku terasa malang di tenggorokkanku yang kering, dadaku kembang-kempis cepat. Aku merasakan ia mencium kelopak-mataku yang tetutup, kesakitan di dalam diriku sedikit menenang saat ia melakukan itu. "Lihat aku." bisiknya. "Kumohon lihat aku."
"Thalia." ujarnya dengan nada paling rendah, menyelipkan helaian rambut di balik telingaku. Aku melihatnya sekilas dan menyadari betapa depresi matanya itu selagi ia memperhatikanku.
"Aku - Aku dapat melihatnya." gumamnya. "Aku dapat melihat betapa... sedihnya dirimu." Jempolnya membelai pipiku dengan gerakan melingkar kecil, mengeringkan cairan lembab itu.
"Aku - Aku ingin menolongmu, Lia." itu tak terdengar seperti Harry yang mengatakan hal seperti ini namun kalimatnya terdengar asli.
"Ibuku sakit." suaraku bergetar selagi aku berbicara. "Aku harus menemuinya."
"Kurasa kita dapat menyusun itu. Tapi tak ada yang tahu... untuk sekarang ini." ujarnya. "Aku tak akan pernah menyakitimu, Lia. Aku ingin kau mengetahui itu."
Aku mengangguk sebagai respon. Aku tak dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi. Aku telah memperburuk keadaan pelindungku, aku terpuruk. Harry telah melihatku dalam keadaanku yang paling rentan dan hal diantara kami tak lagi akan berjalan sesuai biasanya. Tapi aku membutuhkan jalan keluar. Aku membutuhkan seseorang untuk melihat betapa kacaunya aku, seseorang yang menyadari betapa hina dan rusaknya diriku.
"Tak apa jika kau menangis." butuh waktu sesaat untuk menyadari bahwa Harry telah berguling dariku. Punggungnya menekan ke headboard. Aku duduk, mengusap bawah mataku. Ia menatap selagi aku melakukan itu sebelum menyodorkan tangannya. "Kemari."
headboard ~> itu loh yang biasa diatas kasur yang nempel ke tembok biar ga kejedot, tau kan? lol wqwq
Aku memberinya tanganku dan ia perlahan menuntun sisa kepalaku menuju dadanya. Ini salah dan aku tahu ini akan terasa sakit setelahnya tapi inilah yang sangat kubutuhkan. Aku mencoba untuk mendorong gambaran konflik itu ke belakang otakku.
"Aku tak ingin kau melakukan hal yang bodoh seperti... waktu itu." ucapnya, dengan lembut menyisir rambutku.
"Tidak akan." aku mendengus. "Jadi kau akan... membiarkanku menemui ibuku." aku kembali membawa topik itu.
"Tentu." aku merasakan ia berbisik di rambutku. Ia membawa tangannya di atasku, dengan lembut menjalari jempolnya di buku-buku jariku.
Aku berangan mengapa ia melakukan ini padaku. Hanya saja tak masuk-akal, pecahan hatiku tak akan kembali menyatu. Tapi aku menyukainya. Itu mengejutkanku bagaimana Harry membuat perasaanku berubah menjadi sangat tenang dan aman dalam waktu singkat. Tapi terasa sakit mengetahui bahwa perasaan ini hanya bertepuk-sebelah-tangan. Ia tak merasakan hal yang sama terhadapku dan tak ada lagi hal yang terasa lebih sakit dari ini.
Aku sungguh tak memahami hal seperti ini. Aku tak tahu bagaimana ini berjalan tapi aku meyimpulkan bahwa Harry hanya iba padaku. Ia menawariku sedikit kenyamanan karena ia kasihan padaku. Mengingat pria sepertinya akan memiliki perasaan pada perempuan sepertiku itu bodoh.
"Berbicara tentang Ibu, apakah kau ingin tahu tentang Ibuku?"
Aku mengerti bahwa Ibunya sangat berarti baginya namun aku merasa itu cukup aneh karena ia memberitahuku tentangnya pada saat seperti ini. Terus-terang, aku tak ingin mendengar betapa indah hidupnya itu sementara aku mengkhawatirkan betapa buruk keadaan ibuku.
Tapi aku menjawabnya dengan anggukan simpel. Aku lebih baik menghabiskan sisa hariku dengan mendengarkan cerita yang bersifat tak-kejam dibandingkan aku harus ditinggal dengan pikiran yang depresi. Dan aku senang ia memutuskan untuk tidak melanjutkan percakapan kami tadi sebelum aku akan kembali menangis. Aku tak akan dapat menahannya.
"Baiklah, Ibuku bersama dengan Ayahku saat ia hanya berumur delapan-belas tahun." mulainya. Aku memutuskan untuk hanya mendengarkan suaranya dan tertidur di lengannya.
"Aku tak berpikir bahwa mereka saling jatuh-cinta karena aku tak pernah mendengar mereka mengucapkan itu. Mereka berpisah setelah aku lahir dan aku tinggal bersama Ibuku. Kau tahu itu, kan?" ujarnya dan aku mengangguk. Aku mengangkat diriku, menjalarkan tanganku di sepanjang tubuhnya seraya aku membuat diriku merasa lebih nyaman.
"Baiklah ia sering pergi keluar, kebanyakan karena bekerja. Tapi yang lucunya adalah, ia hanya pergi pada malam dan hanya pulang saat pagi. Temanku di sekolah berpikir itu hal yang aneh. Mereka bilang Ibu dan Ayah mereka tak akan meninggalkan mereka sendiri di rumah, terlebih saat malam."
"Kau ditinggal sendiri dirumah? Berapa usiamu?" cerita Harry menarik perhatianku dan aku menemukan diriku ingin mendengarkan kalimat selanjutnya dengan seksama.
"Sekitar 8 atau 9. Kami tak mampu untuk memakai pengurus-anak atau semacamnya." jawabnya. "Omong-omong, jadi setiap aku bertanya padanya, ia akan bilang bahwa ia harus bekerja keras agar tetap dapat menyekolahkanku. Dan Ayahku tak memeriksa keadaan kami sekalipun. Tapi Ibu tak pernah mengejeknya, ia hanya bilang bahwa Ayah memiliki hal yang harus ia kerjakan." aku penasaran untuk mengetahui akhir ceritanya.
"Jadi hidup kami terus berjalan namun pada suatu hari, seorang pria datang dengan menggedor pintu kami dan Ibu menyuruhku untuk masuk ke kamar. Aku berpura-pura masuk ke kamar namun sebenarnya aku bersembunyi di balik sofa. Aku ingin mengetahui apa yang terjadi. Lalu ia membuka pintu dan pria besar itu mulai meneriakkinya. Aku mengingat ia mengatakan kalimat seperti 'Aku membayar lebih dari ini' dan 'Aku tak puas'. Tapi Ibu mengakalinya dengan cara tinggal dengannya." ia berhenti dan aku duduk di kasur, memberinya tatapan bertanya-tanya.
"Ibumu..." aku berhenti.
Ia mengangguk. "Ibuku dulunya seorang Baby Doll, Lia."
"Tapi mereka dulu tidak dipanggil dengan sebutan Baby Doll atau diberi nama bodoh lainnya. Mereka hanya... seorang pelacur." wajahnya menampakkan tampang jijik akan perkataannya sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
ohya td w abis baca 'Meadow Lake' by whammystyles. ceritanya keren abis sumpah gaboong suka banget w biasanya gapernah w sesuka ini sama cerita jadi w saranin kalian buat baca itu hehe (;
padahal w mau bangeeet translatein ceritanya tapi authornya ga ijinin jd apa boleh buat haha
as always,
vote.comment.follow
bye x
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Doll (Indonesian Translation)
FanficDalam komunitas yang korup, gadis-gadis muda dijual kepada para pria untuk dijadikan sebagai objek pemuas belaka dan mereka disandra sesuai kehendak para pria. Namun semuanya berubah ketika anak lelaki manja dari seorang pengusaha kaya melintasi bat...