Terkadang, kau hanya perlu tempat berlabuh saat penat.
Namun Jimin seolah-olah mengabaikan pepatah itu. Ia memang butuh tempat berlabuh, tempat berteduh. Mungkin, penyakit yang lebih meradang pada diri Jimin bukanlah Anorexia. Namun, ego. Jimin dengan semua egonya.
Ia tidak ingin membagi masalahnya, sekalipun ia selalu memaksa anggota lain untuk saling berbagi masalah. Merepotkan, katanya. Ia lebih baik menjadi tempat bersandar yang kokoh, ketimbang bersandar. Sampai mungkin Jimin lupa bahwa pijakannya kini sudah tidak kokoh lagi dan terperosok. Sehingga, ia butuh seseorang untuk membantunya keluar dari lubang hitam, mengerikan.
Ia tidak ingin merepotkan dan menjadi lebih berguna. Namun sia-sia, kondisi fisiknya tidak bisa menutupi kebohongannya. Park Jimin berubah menjadi seorang pelanggar perjanjian di Bangtan. Bahwa setiap orang disini harus membagi masalahnya agar tidak hanya satu orang saja yang merasakan sakit.
Bahwa Bangtan adalah keluarga dan tidak boleh ada rahasia seputar masalahnya. Karena mereka pasti membantu, tidak peduli bagaimana sulitnya.
Hari ini, Jimin nampak lebih diam dengan mata yang bengkak. Taehyung sebenarnya ingin bertanya, namun ia menahan diri sampai Jimin menceritakannya sendiri.
"Untuk apa sih diet?"
Yoongi sepertinya sudah jengah. Usai perform, Jimin kembali muntah dan keseimbanganya mulai tidak stabil. Padahal, ia hanya meminum air dan tidak memakan apapun. Jimin hanya memuntahkan air yang ia minum dan darah, selalu begitu. Semua anggota kini melingkar, memutari Jimin yang duduk dengan lehernya yang masih di kompres.
"Aku bertanya padamu, Park Jimin."
Jimin masih menunduk, sekalipun tidak berani mengangkat wajahnya. Semua anggota masih sibuk menyeka keringatnya namun tetap tidak mengalihkan atensinya.
"Sudah, Yoon. Jimin tidak akan menjawab. Beri dia waktu." Seokjin menengahi mencoba menenangkan Yoongi yang tengah mencoba menahan amarahnya. Semuanya masih berkeringat dan hawa panas masih menyelimuti.
"Jimin sudah membaca semua komentar itu, hyung." Taehyung bersuara, membuka apa yang selama ini ia perhatikan dari Jimin. Jimin meremas tangannya, masih tidak mengubah posisinya.
"Lemah."
"Kau pikir kami suka saat melihatmu terus-terusan sakit begini?" Ujar Yoongi. Taehyung terdiam, Jimin pun begitu selama beberapa saat."Hyung pikir aku suka saat dokter mengatakan aku mengidap anorexia?" Jimin kini mengangkat kepalanya, menatap semua yang berdiri melingkarinya. Matanya sudah berkaca-kaca dan wajahnya memerah.
"Karena kau sendiri yang menyebabkan itu, Jimin." Yoongi sedikit memberi penekanan pada nama Jimin. Taehyung terdiam, semuanya terdiam. Suasana sedikit mencekam dan rasanya sangat tidak nyaman. Padahal masih banyak staff yang lalu lalang, namun mereka masih tetap bersikukuh menyelesaikan masalah yang sepertinya mulai meradang.
"Kau sendiri yang berusaha lari dari kenyataan, Jimin." Ucap Taehyung. Jimin menoleh pada Taehyung yang mulai membuka suara. Taehyung menatapnya sendu, seakan tidak ingin temannya itu terluka.
"Tahu apa kau?"
Bam. Taehyung baru saja melihat sisi lain dari Jimin hari ini. Taehyung diam, seolah ia dihujami berbagai anak panah. Dadanya berdenyut nyeri, ia kehabisan kata-kata untuk menjawa Jimin yang berkata setajam itu.
"Tahu apa kau tentangku, Kim Taehyung?"
Taehyung terkekeh pelan, menggangguk mengerti. Jungkook tiba-tiba menggenggam tangan Taehyung. Jimin dan Taehyung saling bertukar tatap muka. Ia dan Jimin memang kerap kali bertengkar, namun Jimin tidak pernah berkata semenyakitkan itu pada Taehyung. Seiring hatinya yang berdenyut nyeri, kepala Taehyung perlahan mulai terimbas efeknya. Ia mendadak pusing, dengan sakit yang dua kali lipat lebih hebat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
There For You ✔
FanfictionKita bertujuh, dan selamanya pun akan terus seperti itu. Sudah terbit.