"Vel kamu harus dengerin aku dulu!," Casie menarik tanganku dan aku benar-benar malas menanggapinya.
Yang ia lakukan sedari tadi hanyalah membicarakan Fiko dan menyuruhku untuk bertemu dengannya. Apa pikiran Casie sebenarnya? Ia terus saja mengkhawatirkanku dengan Fiko.
"Aku gamau Cas!," jawabku sedikit berteriak kesal. "Aku butuh kebahagiaan bukan terus ngomongin masalah lagi dan lagi."
"Lagi? Bahkan kamu belum denger apapun Vel."
Aku sedikit menudukkan kepalaku.
"Aku cape Cas," suaraku sedikit memelan.
"DANIEL BISA BAHAGIAIN AKU!."
"ALATAN DATENG KE BANDUNG!."
Aku dan Casie berteriak bersamaan yang membuat seisi kelas menoleh. Berbarengan dengan teriakanku aku mendengar perkataan Casie, jelas sekali.
"Kamu bohong kan.. Cas?," aku berkata terbata-bata.
Kini Casie yang menundukkan kepalanya dan ia menggeleng.
"Aku ga bohong Vel. Dan kemarin dia baru aja pulang."
"Pulaang? Ngapain dia ke Bandung? Kenapa ga nemuin aku?," air mataku mulai mengalir. "Kenapa dia ga bilang ke aku? Kenapa dia gamau nemenin aku? Kenapaa?."
Casie memegang tanganku berusaha menenangkanku. "Aku ga berhak jelasin ini Vel, jadi kamu harus ketemu Fiko pulang sekolah ini."
"Terus Daniel..?," aku menoleh ke arah bangkunya. Entah kenapa aku merasa bersalah mengatakan hal itu dengan teriakan di kelas.
Ia tersenyum dan melihat ke arahku. "Gapapa Vel toh ga semua orang tau," Daniel menghampiriku.
"Tapi Dan..."
Aku tak tau pasti apa yang sebenarnya aku rasakan kali ini. Menghabiskan waktu bersama Daniel semakin membuatku merasa bersalah jika aku meninggalkannya. Kenyataan ini entah kenapa tak ingin aku korek semakin dalam. Aku tak ingin memperjelas kenyataan bahwa Alatan datang kesini tanpa menghampiriku. Aku tak ingin menumbuhinya dengan semua pikiran-pikiran negatif tentang Alatan, tapi aku kalah. Rasanya aku masih ingin menghirup udara kebahagiaan tanpa mengetahui apa-apa.
Ternyata benar apa kata orang, terkadang tidak tahu itu lebih baik.
***
Alatan POV
"Gimana keadaan ayahmu kemarin Kak?," tanya ibu yang terlihat berusaha tersenyum.
Aku menghampirinya, berusaha menunjukkan senyum lebar agar ia bisa merasakan kebahagiaan di balik semua ini. Ikut duduk di sampingnya mencoba untuk tak terlihat khawatir.
"Ayah udah bisa pulang dan aku ga perlu bolak-balik ke sana lagi bu."
"Ibu tau ayah kamu boleh pulang kaak, tapi boleh pulang itu apa artinya baik-baik aja?."
Melihat matanya mengatakan itu semua aku mengerti, betapa besar ibu menyayangi ayah. Aku tak ingin mengecewakannya, tapi aku tak bisa menolak rasa sakit atas pahitnya kenyataan ini.
Velany? Apa kamu bisa muncul sebentar di hadapanku kali ini?
Aku sangat membutuhkanmu, ketenangan dari senyumanmu.
![](https://img.wattpad.com/cover/134367766-288-k178333.jpg)
YOU ARE READING
7 Hours for 717 Days
Teen FictionHarapanku satu tahun lalu, terwujud. Impianku mengukir kisah bersamanya dalam hari-hari yang sederhana. Kini, Ia bukan angan lagi untuk kudapatkan. Namun Ia masihlah harapan untuk sebuah pertemuan. Ribuan masalah memanglah tantangan. Bahwa hanya sat...