Sisi Lain.

113K 11.3K 450
                                    

"Dari dulu saya memang baik. Kamu saja yang nggak pernah sadar." -Erlangga. [Dan sikap arogan yang hakiki]

Acc dok?
Bab 10

**
Aku masih saja menangis sesegukan, sedang Erlangga hanya menatapku prihatin, mungkin sekarang dimatanya sekarang aku tak lebih dari perempuan lemah yang nggak bisa jaga diri.

"Ke Rumah saya dulu ya?"

Aku menatapnya ragu, lagipula sejak kejadian tadi, aku menjadi was-was pada semua laki-laki. Meski Erlangga menyelamatkanku, tetapi bukankah setan tetap ada dimana-mana? Siapa yang menjamin kalau di rumahnya aku tetap aman dan utuh?

Dia menghela napas, kembali menatapku lekat. "Saya nggak mungkin langsung antar kamu pulang dengan kondisi ini. Saya... Nggak bisa membayangkan reaksi orang tua kamu. Jika di rumah saya, dan yang kamu takutkan adalah saya yang berdua dengan kamu, kamu salah, rumah saya lumayan rame, ada keponakan, bapak, dan juga kakak saya." ucapnya panjang lebar.

Mataku masih berkaca-kaca, sesak dan luka itu masih ada, ketika bayangan kelam itu terus mengusik pikiranku. Hingga setetes lagi jatuh, dan Erlangga dengan cepat menghapusnya.

Kok aku... Merinding ya?

"Ra? Mau ya? Sekalian saya obati luka kamu." dia bertanya lagi.

Dengan ragu, aku mengangguk. Hingga aku mendapat senyum lega darinya.

Aku terpaku, ketika pemuda itu meraih helm-ku yang terjatuh akibat aku memberontak tadi, lantas ia memakaikannya dikepalaku, membuatku ragu, yang didepanku ini... Erlangga bukan sih?

"Feeling saya nggak enak, waktu jalan kaki mau beli nasi goreng dekat sini. Ternyata benar ada kamu." katanya lagi. Kemudian memungut kunci motorku yang aku lempar asal-asalan agar terhindar dari preman tadi.

Tangan Erlangga terulur, satu isyarat membuatku berdiri. "Kuat berdiri dan jalan sampai motor kamu kan?"

Aku mengangguk, tidak mau terlihat sangat manja dan lemah dihadapannya.

Aku memegang ujung kemeja Erlangga, ketika motorku mulai berjalan meninggalkan gang sepi itu. Entahlah, kejadian tadi membuatku paranoid bahkan untuk hal sekecil apapun.

"Dok, kenapa dokter jalan disekitar sini?" aku bertanya satu hal yang masih mengganjal dalam benakku.

"Harusnya, saya yang tanya kamu, kenapa kamu ada di daerah itu. Saya yakin kamu sama sekali nggak tahu daerah ini." jawabnya yang masih fokus pada jalanan.

"Saya anter simbah-simbah yang habis jualan jamu. Kasian, kalau jalan dari Nirwana bisa lebih lima kilo, saya nggak tega, udah malam." kataku, tepat ketika Erlangga menghentikan laju motorku didepan rumah mungil yang sederhana.

Ia kembali menghela napas berat. "Turun, kita sudah sampai, ini rumah saya."

Aku hanya mengekor dibelakangnya, sambil mengeratkan jaket Erlangga yang tadi dia pinjamkan padaku.

"Harusnya, kamu mikir dulu kalau antar orang itu medannya gimana! Kalau begini malah membahayakan diri kamu sendiri! Coba kalau nggak ada saya, masih ada jaminan kamu masih selamat dan utuh?"

Acc Dok? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang