Tepar Sampai Opname

62.7K 5.5K 52
                                    


Bab 5: Tepar Sampai Opname

Dan yang paling menyebalkan adalah, waktu yang bersekongkol dengan takdir, untuk membuatmu bertemu dengannya.

**

Aku mengabaikan Mbak Lena dan Mbak Nana yang terus memanggil namaku. Aku sudah tidak peduli dengan sopan santun dan harga diri. Manusia selalu mengagungkan fisik tetapi tidak pernah bisa meraba hati dengan baik. Dan aku beruntung, tidak jatuh pada visual dokter yang katanya paling tampan seantero Nirwana itu! Memang apa bagusnya jika tampan, tetapi nol dalam attitude?

Rasanya aku benar-benar ingin melangkah cepat kembali ke Instalasi Farmasi. Aku tidak suka jika lemah seperti ini. Obat yang disuntikan tadi bahkan tidak bereaksi. Aku merasakan keringat dingin membanjiri seluruh tubuhku. Dan perutku rasanya benar-benar perih.

Ketika memegang handle pintu untuk keluar, rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Segalanya terasa berputar, kemudian, gelap.

***

"Ra... Ara?"

Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Rasanya pusing sekali. Mataku juga rasanya sangat perih. Aku terkesiap ketika aku melihat Mbak Nana, Mbak Lena, dan dokter arogan itu mengelilingi bed-ku. Aku tersadar, bahwa aku masih di Poli Umum.

"Kapan terakhir kali kamu makan?" tanya dokter Erlangga sambil menatapku nyalang.

"Kemarin. Siang?" aku menjawab dengan ragu. Seingatku sepulang dari Grand Mall, aku sama sekali tidak makan apapun. Begitupun tadi pagi, aku kesiangan, tidak sempat makan.

"Sekarang cek lab*. Supaya saya yakin dengan diagnosa saya, dan saya tahu kamu di rujuk* ke dokter siapa nanti."

"Disuntik lagi?" aku bergumam lirih.

"Bisa jadi."

"Nggak mau!" aku langsung menolak keras, suntikan yang tadi saja sakitnya masih terasa.

Tiga orang di ruangan itu menatapku lekat. Seakan menginterogasiku dalam diamnya.

"Nurut aja Ra, daripada kenapa-napa." sahut Mbak Lena.

Aku masih diam, sedang badanku rasanya masih panas dingin. Mataku perih, dan aku masih ingin menangis. Sedang Mbak Nana mengusap pelan kepalaku. Membuatku semakin ingin menangis. "Kamu masih kuat jalan nggak? Kalau enggak, Mbak mau minta tolong sama security, biar dicarikan kursi dorong. Kita cek lab sekarang."

Entah sejak kapan, air mataku kembali luruh. Rasanya kondisi tubuhku semakin melemah.

Sedangkan dokter yang kubenci itu masih saja mengomel dengan kata-kata yang membuatku membencinya. "Ini buat kebaikan kamu, kalau kamu seorang tenaga medis, kamu pasti tahu, apa yang harus kamu lakukan."

Aku menangis semakin keras, jika aku dalam kondisi sehat, mungkin aku sudah menjambak rambutnya.

"Len, kamu cari kursi roda sekarang." Aku mendengar dia memerintah, dan dengan bodohnya, Mbak Lena mengangguk, seperti kerbau yang dicucuk.

"Jangan buat orang lain khawatir dengan tingkah kamu."

Dia masih memberikan seringai menyebalkan. "Saya nggak tahu, kalau kamu semanja ini." bisiknya tepat ditelinga kiri, membuatku menyikutnya, dengan spontan membuatnya mengaduh.

Tetapi, hal yang tidak kuduga kembali terjadi. Lengan Erlangga menyusup dibelakang punggung dan dibawah lipatan lututku. Mengangkatku dalam gendongannya, membuatku menendang udara dengan kekuatan tersisa. "Dokter mau ngapain saya?"

Dia berjalan menuju Mbak Lena yang membawa kursi roda entah dari mana. Sedang aku masih berontak dalam gendongannya. "Terlalu lama menunggu kamu berpikir. Bagaimana bisa menjaga orang lain, kalau jaga diri sendiri nggak bisa."

"Kamu, bawa dia ke Laboratorium, pastikan dia benar-benar cek lab. Saya tunggu hasilnya sore ini." katanya pada Mbak Nana. Kemudian mendudukanku pada kursi roda yang tadi Mbak Lena bawa.

Mbak Nana mengangguk, mendorong kursi roda yang aku duduki.

"Dokter Erlangga kalau serius ngeri juga ya. Eh tapi tadi dia panik banget waktu kamu pingsan. Refleknya Bagus lho Ra! Tadi kamu nggak jadi cium lantai gara-gara dia tangkap kamu tepat waktu! Padahal jarak meja dia sama pintu lumayan jauh."

Aku hanya memutar bola mata bosan ketika mendengar ocehan Mbak Nana.

"Mbak, berhenti deh ngomongin dokter pongah itu! Mending kita balik ke Instalasi Farmasi aja. Aku nggak mau diambil darah mbak, yang tadi masih terasa sakitnya. Tapi, badanku udah baikan kok, injeksinya sudah kerja." ucapku memelas.

"Nggak bisa Ra! Ini juga buat kebaikan kamu lho! Aku malah jadi penasaran, dokter Er sama orang lain kayak gitu nggak ya? Interaksi kalian tadi tuh, kayak orang pacaran tahu nggak! Mana pakai bisik-bisik lagi, aku kan jadi kangen yang di Jakarta."

Aku mendelik, "Pacaran dari mana Mbak? Yang ada aku hipertensi kalau lama-lama satu dimensi sama manusia arogan kayak dia! Benci pokoknya!"

Mbak Nana tertawa. "Hati-hati, jadi benar-benar cinta loh!"

Aku mengabaikan kata-kata Mbak Nana, laki-laki di dunia ini bukan hanya dia saja. Kalaupun hanya ada dia aku juga belum tentu mau!

Sekarang aku sudah benar-benar pasrah, kalau lari juga sudah tidak bisa. Aku kembali berakhir dengan satu tusukan baru di lipatan siku. Kembali menangis dan menjerit keras-keras berharap sedikit menghilangkan rasa sakitku. Hasil lab akan keluar dua jam lagi. Dan aku lebih memilih menunggu di instalasi daripada kembali ke poli umum dan bertemu dokter arogan itu.

"Ra, udah, kamu nggak usah bantu. Duduk diam aja. Pegang kapsul aja kamu gemetar." Tsania memperingatkanku.

"Ya makan gaji buta dong aku!" aku masih ngeles, sambil mencoba memasukan pulveres ke cangkang kapsul dan berakhir berceceran karena aku gemetar.

"Kan udah dapet cuti dari Bu Eina. Mending kamu makan aja. Daripada tambah drop." kata Dinda.

Akhirnya aku menyerah. Memilih diam dan melihat mereka bekerja. Tetapi suara toa Tsania membuat kami menoleh padanya.

"Dokter Erlangga telpon nih barusan, curiga ada hubungan terselubung sama Ara. Tahu nggak dokter Er bilang apa? Tolong ya Mbak, pastikan Aranea teman dari divisi anda benar-benar cek lab, saya tunggu hasilnya secepatnya. Dan pastikan dia tidak pulang sebelum saya ketemu lagi sama dia."

Telingaku terasa kebas ketika setiap sudut ruang riuh dengan kata "CIYEEE... " bersamaan. Memang apa yang aneh? Bukankah itu salah satu cara dokter mengupayakan kondisi pasiennya?

Gebrakan pintu dari Mbak Nana membuat semua kembali diam dan melakukan aktivitas. "Ra, hasil lab udah jadi. Balik poli yuk?"

Aku hanya pasrah ketika Mbak Nana kembali mendorong kursi rodaku. Mau tidak mau tetap harus ketemu sama dokter pongah itu 'kan?

Benar saja, saat kembali ke Poli Umum, aku disuguh seringai menyebalkan miliknya. "Sudah makan?" dia bertanya. Dan aku balas dengan gelengan pelan.

Dia berdecak. "Baring lagi, saya mau periksa kamu sekali lagi."

Aku menolak. "Kan tadi sudah, tinggal baca hasil lab. Saya pasti cuma kurang istirahat aja kan dok? Nggak perlu opname?"

Netra tajam itu mengunci pandanganku sekali lagi. "Sebelum saya rujuk kamu ke dokter Rendy, saya perlu pastikan keadaan kamu sekali lagi. Hasil lab kamu sesuai prediksi saya. Kabari orang tua kamu. Siang ini opname."

Aku balas menatap nyalang. "Yasudah, kalau gitu langsung diperiksa saja sama dokter Rendy nanti! Dokter nggak usah periksa saya lagi, yang ada saya malah hipertensi!"

Alis laki-laki itu bertaut. "Apa sebegitu bencinya kamu sama saya? Memang, segelas Chat Time seberharga itu untuk kamu? Jika tidak ingat dengan sumpah profesi saya, saya nggak akan repot-repot bertatap muka dengan kamu sehari ini."


Bersambung...

*Serangkaian tes yang dilakukan untuk mengtahui kondisi pasien.

Acc Dok? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang