Chapter 4

23.9K 2.1K 83
                                    

Danu

Aku mengetuk kemudi sambil menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Sampai saat ini, entah kenapa tiap kali aku berhenti di lampu merah, aku selalu ingat kejadian itu. kejadian dimana Diara mencengkram kerahku dengan amarah yang meletup-letup. Kalau dipikir-pikir lagi, waktu itu aku yang salah. Tapi ya sudah lah, sudah berlalu ini.

Aku langsung menginjak gas begitu lampu mulai menyala hijau. Namun belum ada dua menit setelahnya, aku kembali menepikan mobilku ketika melihat ada anak SMA duduk di trotoar dengan motor tergeletak di depannya.

" Kamu kenapa dek?" tanyaku begitu aku turun dan menghampiri anak itu. Anak itu mendongak sejenak dan tersenyum pias. Celana pramukanya robek dan terdapat bercak darah cukup banyak menetes di jalan. Suasana jalan sangat sepi mengingat hari sudah petang. Belum lagi, jalanan ini memang bukan jalanan yang biasanya ramai.

" Ini tadi ada nenek-nenek nyebrang jalan sembarangan. Niat menghindar, eh malah jatuh. Udah keburu ngebut, jadi ngerem-pun udah nggak bisa." Jawab anak itu pelan. Aku dapat melihat anak itu menahan sakit.

" Jam segini kok masih di jalan?" tanyaku kemudian sambil menegakkan motornya.

" Habis les mas."

" Motor kamu rusak parah. Harus dibawa ke bengkel."

" Iya mas, nanti." Jawab anak itu sambil berusaha berdiri namun gagal.

" Ayo aku antar ke rumah sakit." tawarku sambil jongkok di depan anak itu.

" Nggak usah mas. Saya nggak papa."

" Celana sekolahmu robek. Darah kamu keluar banyak. Sudah menelfon orang rumah?"

" Hape saya mati mas."

Untuk beberapa saat lamanya, aku mengamati anak itu. Wajahnya pucat dan tampak lelah.

" Arghhh..." anak itu mengaduh sambil memeriksan kakinya. Dia menyingkap celana sekolahnya yang robek. Aku meringis begitu melihat betisnya ternyata juga robek. Eh apa sih bahasanya?

" Ayo aku antar ke rumah sakit. Tenang aja, aku bukan orang jahat." Kali ini tanpa menunggu lama, anak itu akhirnya mau aku bawa ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, anak itu tampak kesakitan. Aku meringis membayangkan betapa perihnya luka itu.

" Nama kamu siapa dek?"

" Apa mas?"

" Nama kamu siapa?"

" Zidan mas." jawabnya dengan suara lemah nyaris seperti bisikan.

Setelah melihat kondisi anak itu yang semakin melemah, aku mempercepat laju mobilku. Entah kenapa aku merasa aku harus tanggung jawab dengan anak ini.

***

Rara

Aku melirik jam dinding entah untuk kesekian kalinya. Zidan kemana sih, jam segini belum pulang? Apa dia main ke rumah temen? Tapi kenapa hapenya mati?

" Ma, Zidan kok belum pulang ya?" tanyaku pada mama yang saat ini sedang menonton Tv.

" Tadi sih pamitnya mau les, Ra."

" Tapi udah jam delapan loh ma. Masak iya selama itu? Bisanya maghrib juga udah sampai rumah."

" Main sama temennya kali." Jawab mama santai.

" Mama nih. Anak belum pulang kok santai banget. Nggak khawatir apa?"

" Bukannya nggak khawatir, Ra. Zidan kan udah gede. Lagian ini malem minggu. Bisa aja dia langsung main sama temen-temennya. Terus hape mati. Lagian selama ini adikmu itu anaknya nggak neko-neko."

Love Match (Sequel) [END DI DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang