"Dafa.."
Yang dipanggil berhenti dan menoleh kepada papa nya.
"Apa?"
"Mau pergi kemana?"
"Bukan urusan papa!"
Prabu membanting keras buku yang ditengah dibacanya. Membuat dafa berhenti dan harus melihat ulah papa nya lagi kali ini
"Apa begini sekarang sikapmu pada papa ha?"
"Dafa mau nyari vian pa, apa papa gak kasian sama vian?"
"Mending sekarang kamu ikut papa kerumah sakit"
Dafa tertawa mendengar tawaran papanya itu
"Untuk apa pa? Menjenguk sekretaris papa itu? Dia hanya sekretaris pa.. dafa gak perduli. Dafa hanya akan perduli pada vian"
"Apa kamu mau nyalahin papa?"
"Lalu dafa harus gimana? Cukup cuman mama yang papa tinggalkan. Jangan vian pa. Disini papa yang nyakitin vian"
"Kamu gak tahu masalahnya daf.. dia juga selingkuh dibelakang papa!"
Lagi, dafa ingin tertawa melihat sikap papanya ini
"Dafa gak nyangka kalau papa ternyata sekekanakan ini"
"Yak! Kembali dafa.."
Dafa tak ingin mendengarkannya dan masuk kedalam mobil yang sudah disiapkan pak amir. Ia ingin mencari vian, semalam dafa sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan vian. Dafa yakin vian tidak seperti apa yang dikatakan papa nya.
Dafa meraih handphonenya dan mendial kembali nomor vian. Namun lagi-lagi hanya ada operator yang berbicara. Nomor vian tidak aktiv sekarang. Padahal semalam masih aktif hanya saja vian tidak mengangkatnya
"Kira-kira dimana vian? Atau apa aku ke kantor saja dulu?"
.
.
.
.
.
"Sudah merasa baikan?" Dimas membawakan sarapan dan teh hangat untuk vian yang baru bangun. Benar-benar seperti zombie"Tidurmu nyenyak?"
"Bagaimana bisa aku tidur dengan nyenyak" jawab vian dengan suara yang lesu
"Badanmu panas semalam. Minum ini, dan sarapan. Kau tidak boleh sakit saat ada masalah"
"Apa kau akan bekerja?"
"Aku tidak tega meninggalkanmu sendirian"
Vian tak bicara lagi. Ia meminum teh hangat yang dibuatkan dimas lalu melihat kearah jendela dimana sinar matahari itu mengenai wajahnya
"Sepertinya akan cerah"
"Hmm, sebentar. Aku ingin ketoilet dulu"
Mata vian mengikuti punggung dimas sebelum orang itu benar-benar masuk kebilik kamar mandinya. Vian bangkit dan mencari handphonenya.
"Dimana handphoneku?"
Vian menyibakkan selimut dan bantal namun handphonenya tidak ada. Dibawah kasur juga tidak ada. Dinakas tidak ada.
Tangan vian terulur pada laci. Namun handphone nya juga tak ada disana, saat ingin menutup kembali laci itu. Mata vian tertuju pada foto dua orang memakai seragam SMA yang tengah saling merangkul tersenyum kearah kamera.
"Robi...di..mas kenal robi?"
Clek~
Vian buru-buru menutup laci itu saat dimas kembali dari kamar mandi
"Hand..phoneku dimana?" Tanya vian pada dimas
"Handphone? Oh, handphonemu sedang aku charger di ruang tengah"
.
.
.
.
Aku ini laki-laki, tapi apa salah jika laki-laki menangis? Dulu aku selalu mendapat sindiran seperti ini. Kenapa lelaki menangis? Kenapa lelaki lemah? Dan yah, pada kenyataannya seperti itulah aku. Tak ada yang salah bukan jika lelaki memiliki hati yang sedikit rapuh. Mungkin tuhan menciptakannya berbeda-beda.
Seperti pagi ini, aku sibuk melihat foto-fotoku dengan mas prabu yang aku ambil di handphoneku. Sudah lama sekali tidak berfoto bersama. Terakhir adalah ketika berlibur dan itu sekitar dua bulan yang lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
WANTED
De TodoBagaimana jadinya jika ayahmu menikah dengan seorang pria? Marah! Benci! Itulah yang dirasakan remaja 18thn, Dafa Saputra. FOLLOW ME TO READ THE PRIVATE CHAP IN THIS STORY Rank #3 hurtcomfort 170618 s.d 080718