Senin, 23 Maret 2037
Pasadena, California
7 hari sebelum peristiwa itu terjadiAku memandang Bryan yang tengah tertawa begitu renyah. Sedari tadi ia menceritakan tentang game konsol yang baru saja dirilis.
"Kau tahu, game itu sungguh menakjubkan. Ah, kau harus mencobanya lagi lain kali," ujarnya lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Kau harus jauhi benda itu, Bryan. Mungkin saja benda itu dapat merusak psikis dan mentalmu." Yang ku tahu, game konsol itu memanfaatkan sistem saraf pada otak. Membuat saraf seolah mendapatkan sinyal agar disalurkan langsung ke dalam otak lalu dicerna di sana.
"Aku belum mencobanya," katanya lagi.
Beberapa minggu lalu Jepang merilis game konsol terbaru. Resident Evil 9 4D. Game konsol yang menurutku dapat merusak sistem saraf jika terus digunakan. Entahlah, itu hanya teoriku belaka.
Game itu berbentuk seperti kacamata. Terdapat 2 buah cip di kanan dan kirinya yang langsung mengarah pada bagian telinga yang terdapat saraf sensorik. Aku pernah mencobanya sekali. Saat ku tekan tombol berwarna hijau, seketika aku seolah berada di dunia yang bukan tempat tinggalku. Entahlah, yang aku ingat banyak sekali makhluk aneh yang berjalan ke arahku dengan tertatih.
Aku baru sadar, aku seolah menjadi tokoh utama di game itu. Alice atau siapapun itu, aku lupa namanya. Bahkan seingatku terdapat banyak senjata yang tergantung di tali pinggangku. Aku sedikit takjub dengan game konsol itu, namun beberapa detik kemudian wajahku pucat ketika melihat makhluk-makhluk itu semakin mendekat ke arahku. Syukur, tiba-tiba Bryan menarik kacamata sialan itu dari wajahku. Membuatku bernapas lega seketika.
"Kau belum mencobanya? Ku kira kau sudah berkali-kali memakai benda sialan itu," ujarku. Bryan menatap wajahku dan terkekeh pelan, lalu menyandarkan kembali sisi kepalanya di salah satu bahuku.
"Seandainya zombie itu benar-benar ada di dunia ini, mungkin aku tidak akan membutuhkan benda berteknologi canggih itu," katanya setelah tadi sunyi untuk beberapa saat.
"Ya, dan kupastikan kau menjadi salah satu dari mereka." Aku mendorong wajahnya agar sedikit menjauh dari pundakku. Rasanya pegal walau baru dijadikan sandaran untuk beberapa menit saja.
Bryan terkekeh lagi. Ia mengarahkan layar ponselnya ke arahku. "Lihatlah, ada berita terbaru yang menggemparkan dunia," katanya.
"Aku tidak peduli. Aku yakin itu hanya berita te--"
"Berdasarkan penelusuran dan penelitian hingga saat ini, para tahanan terkena Human immunodeficiency virus akibat makanan yang mereka dapatkan." Tiba-tiba suara pembawa berita itu memotong ucapanku. Aku memfokuskan pandanganku ke layar itu. Sedikit mulai tertarik dengan berita yang Bryan tunjukkan kali ini.
"Mereka mulai bertingkah aneh setelah beberapa hari kemudian. Berikut tayangan langsung dari rumah tahanan Internasional." Layar berubah menjadi suasana yang biasa aku lihat di tempat-tempat para tahanan berada. Namun bedanya kali ini para tahanan itu bertingkah aneh. Lebih tepatnya menggeliat seolah mereka tengah menahan sesuatu dalam tubuh mereka.
Layar ponsel berubah kembali. Menampilkan seorang pria berkisar 40'an dengan jas lab putih yang ia kenakan.
"Sepertinya terjadi perubahan sifat pada virus HIV. Entah mengapa virus-virus itu menyerang bagian pusat sel saraf otak. Mungkin dampak dari evolusi atau kemungkinan lain dampak dari obat-obatan kimia yang merubah sifat virus tersebut. Saya akan menelusuri lebih lanjut lagi," jelas Professor Delga yang kutahu namanya dari clip text yang ada di bawah layar.
Aku mendorong ponsel itu menjauh dari wajahku. Bryan menatapku dengan senyumannya. "Kurasa ini tanda bahwa ucapanku yang tadi akan benar terjadi," katanya.
Aku menggeleng tidak peduli, lalu bangkit dan meraih tas selempang yang tersimpan di atas meja kantin lalu menyampirkannya di bahu kananku.
"Terserah. Aku harus pulang, kepalaku tiba-tiba berdenyut nyeri." Aku membereskan beberapa buku yang berserakan di atas meja tadi.
Bryan menatapku khawatir. "Kau membawa obatmu, bukan?"
Aku mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba tubuhku terasa begitu lemas. Bahkan hanya untuk berkata, "ya" sekalipun terasa enggan.
"Mau ku antar?" tawarnya.
Aku menggeleng. "Aku sudah membawa kendaraanku sendiri. Kau tidak perlu khawatir, Bryan, aku akan baik-baik saja." Berusaha menenangkan Bryan melalui senyumanku yang biasanya ampuh untuk meluluhkan dirinya.
Ia mengangguk. "Baiklah, hati-hati," katanya.
Aku mengangguk, lalu berjalan menuju parkiran dengan sedikit lambaian tangan yang kutujukan untuk Bryan. Itu sudah menjadi kebiasaan kami, jika tidak kulakukan mungkin Bryan akan langsung menyusulku. Benar-benar aneh.
Aku membuka pintu mobilku lalu masuk ke dalam sana. Sesegera mungkin menjauhi tempat ini yang tiba-tiba terasa menakutkan. Entahlah, tempat itu mendadak terasa mencekam setelah kulihat seorang pria tua yang berjalan tertatih dengan pandangan kosong melewatiku.
Aku menginjak pedal gas dan membawaku keluar dari pekarangan kampus. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di tempat tinggalku. Bukan karena jarak antara rumahku dengan kampus yang begitu jauh, tapi karena kemacetan kota metropolitan ini yang membuatku harus berlama-lama di dalam mobil. Tidak akan terlalu membosankan jika ada Bryan. Laki-laki itu akan terus membuat lelucon agar aku melupakan kekesalanku karena macet yang kuperkirakan mencapai 2 kilometer. Aku jadi menyesal karena tadi sempat menolak untuk diantar olehnya.
Berbicara soal Bryan, aku jadi teringat dengan berita yang tadi diperlihatkan olehnya. Seingatku, HIV hanya menyebar melalui cairan saja. Bagaimana bisa virus-virus itu tersebar melalui makanan yang ada di sana. Apa mungkin juru masak di sana mengidap HIV lalu air liurnya berjatuhan mengenai makanannya? Ugh, menjijikkan.
Aku menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran anehku. Biarkan para ahlinya saja yang menyelesaikan masalah itu. Seorang mahasiswa jurusan hukum sepertiku mana mampu memahami tentang makhluk-makhluk patogen itu.
Sesampainya di rumah, aku segera memarkirkan mobilku di dalam garasi.
"Ibu, Sara pulang ...," teriakku setelah membuka pintu lebar-lebar. Kepalaku tiba-tiba berdenyut kembali. Jauh lebih menyakitkan dari pada saat di kampus tadi.
Aku berbohong pada Bryan soal aku membawa obat sialan itu. Jika aku jujur, mungkin saja laki-laki itu akan menggendongku seperti karung beras lalu membawa diriku ke rumah sakit di sebelah kampusku. Ck, Bryan sangat berlebihan.
"Ibu ada di dapur ...," saut ibu balas berteriak.
Aku bergegas ke dapur. Melihat wanita yang telah melahirkanku 21 tahun yang lalu tengah memasak. Mungkin untuk makan malam, entahlah.
Aku memeluknya dari belakang dan menjatuhkan kepalaku di punggungnya. Ibu mengelus pelan tanganku dengan lembut.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya. Aku diam, tidak mengangguk maupun menggeleng.
Ibu tiba-tiba membalikkan tubuhnya hingga sekarang kami saling berhadapan.
"Apa penyakitmu kambuh lagi?" tanyanya lagi sirat akan kekhawatiran. Aku masih tetap diam. Ibu tahu jika aku berbohong. Namun jujurpun rasanya berat. Aku tidak mau membuat ibu semakin mengkhawatirkan diriku. Lagipula aku yakin pasti ibu tahu bagaimana keadaanku sekarang.
"Kau sudah minum obatnya?" Tebakanku benar, ibu tahu seperti apa aku luar dan dalam.
Aku menggeleng. "Obatnya sudah habis," ujarku pelan. Ibu mengelus ujung kepalaku lembut lalu membimbingku berjalan menuju kamarku.
"Kau istirahatlah, Ibu keluar sebentar membeli obat untukmu."
Aku mengangguk lalu memasuki ruangan yang biasa kujadikan tempat beristirahat. Memandang sebentar suasana kamarku yang terlihat lebih rapi. Aku tahu, pasti ibu yang sudah membereskannya.
Ibu menutup pintu kamarku lalu terdengar bunyi derap kaki yang semakin menjauh.
Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Mungkin terlelap sebentar tidak masalah untuk meredakan sedikit rasa nyeri di sekitar kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pursuers
Science FictionHighest rank : #68 Science Fiction 30 Maret 2018 #53 Science Fiction 1 April 2018 #47 Science Fiction 2 April 2018 Aku rasa Tuhan sudah lelah. Mengurusi kehidupan kami, mungkin benar, Dia sudah lelah. Dan ini hukuman untuk kami. Mati dicabik-cabik...