Chapter 2

82 12 4
                                    

Kamis, 26 Maret 2037
Pasadena, California
4 hari sebelum peristiwa itu terjadi

Siang ini seperti biasa, tidak ada yang istimewa menurutku. Dan kurasa hanya aku yang berpikir seperti itu. Pasalnya beberapa— tidak, bahkan banyak orang pergi ke halaman kampus entah untuk apa, membuat kantin yang tadinya ramai berubah menjadi senggang. Bahkan hanya ada aku di sini. Tidak, Bryan juga ada di sini, maksudku sekarang dia tengah berlari ke arahku dengan sangat tergesa-gesa.

"Sara!" Dia duduk di sebelahku. Wajahnya nampak begitu merah dengan napas yang masih tersengal-sengal.

"Di sana ... hah ... ada ... hah ... kau harus melihatnya," ujarnya dengan tersendat-sendat.

"Ada apa denganmu?" Kurasa ada hal yang begitu penting hingga Bryan berlari dengan panik ke sini. Lihatlah wajahnya, terlihat seolah baru saja berlari berkilo-kilo meter.

"Zombie ... halaman kampus ... hah ...," katanya terdengar tidak jelas. Ah, aku paham sekarang.

"Sudah berapa kali kau memainkan game konsol itu hari ini, hm?" tanyaku yang hanya dibalas decakan pelan olehnya.

"Aku serius! Kau harus melihatnya." Bryan bangkit lalu menarik pergelangan tanganku membuatku mau tak mau harus mengikuti langkah lebarnya.

Dan sekarang bukan hanya kami yang berlari. Samping, depan, belakang, bahkan di sekelilingku hampir semua orang ikut berlari ke arah yang sama dengan yang kami-- aku dan Bryan tuju. Apa benar di sana ada zombie? tanyaku dalam hati.

Tidak terlalu lama kami berlari karena jarak antara kantin dengan halaman kampus yang tidak terlalu jauh. Benar saja, kulihat begitu banyak orang berkumpul di sana. Tunggu sebentar, bukankah jika benar itu adalah zombie seharusnya mereka semua berlari dengan panik? Bukannya malah mengerubuni makhluk itu seolah meminta untuk disantap satu persatu.

Bryan menarikku kembali, menyentakku dari lamunan anehku. Bryan terus menarikku menerobos kerumunan yang semakin memadat. Hingga sekarang aku dapat melihat orang yang dimaksud "zombie" oleh Bryan tadi.

"Lihat, zombie itu memakan bangkai kucing," kata Bryan. Tangannya menunjuk ke arah pria yang tengah menunduk dengan bangkai kucing di hadapannya.

Aku tahu, bahkan dapat kulihat tangannya dilumuri oleh darah pekat. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu karena ia sedang menunduk. Entahlah, mungkin zombie itu malu karena dilihat oleh banyak orang.

Otakku tiba-tiba merespon, seolah tengah mengingat sesuatu. Walaupun aku tidak bisa melihat wajah pria itu, kurasa dia pria yang kutemui beberapa hari yang lalu di parkiran kampus. Bahkan pakaiannya masih menggunakan pakaian yang sama seperti saat waktu itu aku melihatnya.

Aku menatap bangkai kucing itu dengan teliti. Tidak terlihat seperti habis dicabik-cabik, justru terlihat seperti habis ditusuk-tusuk dengan benda tajam. Walaupun tidak terlihat begitu jelas namun lubang di perut bangkai itu memanjang. Tidak terlihat seperti terkoyak.

Aku menatap kembali pria yang dimaksud "zombie" oleh Bryan tadi. Ia masih menundukkan wajahnya. Kulihat tangan yang penuh dengan lumuran darah itu sedikit bergetar.

Aku mendekatkan wajahku ke daun telinga Bryan. "Bukankah jika benar pria itu zombie seharusnya kita berlari karena takut dijadikan santapan oleh zombie itu?" tanyaku berbisik dengan pelan.

Bryan mengerjap. "Benar juga," balasnya lalu wajahnya terlihat seperti tengah berpikir. Sepertinya rasa penasaran jauh lebih menguasai orang-orang di sini daripada rasa takut dijadikan santapan atau menjadi sebangsanya dengan mereka.

Tiba-tiba 2 orang pria yang kutahu penjaga keamanan kampus ini mengangkat pria yang dimaksud "zombie" oleh Bryan tadi lalu membawanya pergi. Bangkai kucing itu dimasukkan ke dalam kantung plastik besar oleh office boy yang ke mari bersama 2 orang penjaga keamanan tadi.

Sedikit demi sedikit kerumunan itu semakin menipis. Menyisakan beberapa orang yang menatap genangan darah bekas bangkai kucing tergeletak tadi. Termasuk aku.

Bryan menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunanku. "Kita harus segera pergi dari sini, sebelum tukang bersih-bersih kampus ini meminta bantuan kita untuk membersihkan darah menjijikkan itu," ujarnya. Aku mengangguk lalu berjalan beriringan bersama Bryan.

Pikiranku kembali kepada pria yang dimaksud "zombie" oleh Bryan tadi. Jika pria itu benar zombie, seharusnya dia menyerang kerumunan orang-orang yang mengelilinginya. Bukan malah menunduk dengan sedikit gemetar ketakutan.

"Menurutmu apa pria tadi benar-benar zombie?" Bryan tiba-tiba bertanya, melirikku sebentar lalu kembali menatap ke depan.

Aku menggeleng. "Entahlah."

Bryan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kami sudah sampai di kantin. Aku duduk di salah satu kursi di sudut kantin lalu mengambil ponsel yang tersimpan di tas selempangku. Hanya untuk sekedar membuka akun sosial mediaku yang sudah lama tidak aku buka. Mengingat begitu sibuknya diriku akhir-akhir ini oleh pengumpulan data-data sebagai bahan penelitian.

Bryan ikut duduk di sampingku. "Kau sudah lihat kabar terbaru soal rumah tahanan internasional itu?" tanyanya.

Aku menggeleng. Kabar terakhir yang aku dapatkan, para tahanan itu semakin bertingkah aneh. Bahkan mereka meminta daging mentah untuk dijadikan santapan ketimbang steak dengan saos tomat.

"Para tahanan itu memberontak." Bryan tiba-tiba berujar. "Mereka mengobrak-abrik seisi dapur hanya untuk mencari daging mentah yang mereka inginkan," lanjutnya.

"Bukan itu saja, kau tahu desa kecil arah Utara hutan Nasional Angelas?" tanyanya. Aku berpikir sebentar.

"Acton?" kataku tidak yakin. Bukankah di sana ada banyak desa kecil? Jadi kurasa tidak salah jika aku menjawabnya sedikit ragu.

Bryan mengangguk. "Desa kecil Acton, seluruh warga di sana sudah terkena virus yang sama seperti para tahanan itu dapatkan sejak satu bulan yang lalu."

Aku tersentak. "Satu bulan yang lalu?" Selama itu dan kabarnya baru diketahui baru-baru ini?

"Lalu bagaimana kabar orang-orang di sana?" tanyaku.

"Menurutmu? Para tahanan itu saja yang baru menderita selama 3 hari sudah seperti itu, lalu bagaimana dengan yang sudah menderita selama satu bulan?" Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Itu artinya mereka sudah jauh lebih parah dari pada berkeinginan untuk menyantap daging mentah. Tapi mungkin saja penduduk di sana sudah tewas secara masal. Bukankah virus itu sangat berbahaya sedangkan obatnya saja belum ditemukan bukan? Apalagi selama satu bulan itu mereka tidak mendapatkan pengobatan apapun untuk mencegah virus-virus itu semakin berkembang biak . Dan kurasa desa Acton yang ku kenal sebagai desa ramah sekarang telah berubah menjadi desa mati dengan penyakit mematikan yang berada di dalamnya.

"Seharusnya kabar itu jauh lebih menggemparkan dunia daripada kabar tentang para tahanan itu yang semakin menggila, tapi mengapa aku tak melihatnya di televisi?" gumamku pelan. Bryan melirikku sebentar, kurasa ia mendengar dengan jelas gumamanku.

"Karena itu rahasia negara. Itu sebabnya tidak dipublikasikan."

Aku menatap Bryan dengan curiga. "Lalu bagaimana bisa kau mengetahuinya?"

Bryan berkedip beberapa kali. "Meretasnya." Ia terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak terasa gatal.

Aku memutar bola mataku. "Kau bisa menjadi salah satu makhluk aneh itu di rumah tahanan internasional jika pemerintah berhasil menemukanmu, Bry."

Bryan terkekeh lagi. "Tidak akan."

PursuersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang