Minggu, 29 Maret 2037
Pasadena, California
Sehari sebelum peristiwa itu terjadiAku tersentak dari tidur siangku karena mendengar suara gebrakan pintu yang terdengar dari arah ruang tamu. Aku bangkit dari posisi berbaringku lalu bergegas ke luar kamar untuk mengecek asal suara gebrakan tadi.
Kulihat Bryan berdiri di sana, berusaha mengunci pintu dengan wajah pucat pasinya. Aku tahu, Bryan tengah ketakutan sekarang.
"Bryan, ada apa?" tanyaku seraya melangkah mendekatinya.
Bryan menatapku. Matanya penuh dengan kegelisahan. "Sara, bahaya! Terjadi migrasi besar-besaran sekarang," katanya dengan panik, namun terdengar aneh di telingaku.
"Apa?" tanyaku. Kulihat Bryan berhasil mengunci pintunya. Ia melangkah mendekatiku lalu mencengkram bahuku erat.
"Penduduk Acton, mereka semua berdatangan ke mari." Aku melihat kegelisahan yang besar di mata Bryan.
"Bukankah mereka semua sudah tewas?" kataku.
Bryan menggeleng kencang. "Tidak. Justru karena virus-virus itu membuat kekebalan tubuh mereka meningkat drastis."
Aku terdiam sebentar lalu melangkahkan kakiku mendekati jendela dan mengintip dari sela-sela tirai yang terbuka. Tidak ada apapun. Jalanan yang biasanya terlihat ramai oleh orang-orang berlalu lalang kini terlihat sepi. Bahkan tidak ada siapapun di sana.
"Kau bilang penduduk Acton bermigrasi ke sini, lalu mengapa jalanan justru terlihat sepi?"
Bryan bergerak semakin gelisah. Matanya terlihat berkaca-kaca. Aku mendekat ke arahnya lalu mengelus lengannya lembut.
"Tenanglah, kau bisa menceritakannya perlahan," kataku, berusaha menenangkannya.
"Berlari ... mereka mengejar orang-orang ... lalu memakannya ... aku ... aku ...." Aku memeluknya. Mengelus punggung lebarnya dengan lembut.
Setelah kurasa Bryan kembali tenang, aku melepas pelukanku padanya lalu melangkahkan kakiku kembali ke arah jendela. Membuka tirainya lebar-lebar lalu memandang setiap sisi di sana dengan teliti.
Tubuhku tercekat. Terasa kaku, sulit untuk digerakkan. Darahku seolah-olah berhenti mengalir dengan jantungku yang justru berdegup begitu kencang.
Di sana, tepat di depan gerbang rumahku, kulihat seorang wanita tengah berjongkok. Bukan itu yang membuatku kaget, aku ...
Tirai jendela tiba-tiba tertutup. Kulihat Bryan berdiri di sebelahku dengan tangannya masih memegang tirai berusaha menutupnya secara sempurna. Ia lalu memandangku dengan khawatir.
"Bryan, di sana ... di sana ... wanita itu memakan, hiks ... Bryan, aku takut, hiks." Bryan memelukku dengan erat. Membenamkan wajahku di dada bidangnya.
"Ssshhhh ... Tenanglah, kita aman di sini," ujarnya. Kini giliran dia yang berusaha menenangkanku. Mengelus puncak kepalaku seraya terus mengoceh tentang aku yang akan aman jika bersamanya.
"Ibu, di mana ibu?" Aku mengedarkan pandanganku dengan panik. Melepas rengkuhan Bryan dan berlari ke arah kamar ibu. Membukanya dan tidak mendapati ibu di sana. Aku berlari ke arah dapur dan lagi-lagi tidak mendapati ibu di sana. Aku berlari ke arah pintu dan berusaha membukanya agar bisa keluar dan menjemput ibu yang kupikir tengah membereskan barang-barang bekas di gudang belakang rumah.
Sebuah tangan besar mencekal tanganku, membuatku terhenti untuk berusaha membuka pintu rumah.
"Apa yang kau lakukan?" Bryan menatapku tajam.
"Ibu ... aku harus mencari ibuku," kataku. Mataku terasa sedikit basah.
"Apa kau gila?! Kau bisa mati jika satu langkah saja keluar dari sini!" Bryan membentakku. Membuatku semakin terisak keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pursuers
Science FictionHighest rank : #68 Science Fiction 30 Maret 2018 #53 Science Fiction 1 April 2018 #47 Science Fiction 2 April 2018 Aku rasa Tuhan sudah lelah. Mengurusi kehidupan kami, mungkin benar, Dia sudah lelah. Dan ini hukuman untuk kami. Mati dicabik-cabik...